Jumat, 27 Mei 2016

Tentang Budaya



27 Mei 2016
20.00 WIB
Rumah Sakit Bhayangkara, Tulungagung

Aku sedang berada di sebuah kamar di rumah sakit untuk menjaga adikku dengan ditemani suara berisik AC dan lagu Once Again dari Mad Clown ft. Kim Na Young. Satu jam dari sekarang aku akan berganti shift dengan ibuku untuk menjaga adikku yang pertama yang terkena demam berdarah.

Baru saja AC di atasku mati dengan sendirinya. Sudah beberapa kali AC ini bertingkah semaunya dengan mati sendiri tanpa kusetel timer-nya.

Jadi, aku sedang mengisi waktu luangku yang terkadang memang terlalu banyak seperti ini dengan menulis. Ada beberapa draft cerita dan dua draft novel di laptop-ku yang belum juga kuselesaikan karena entah kenapa aku sedang lebih bersemangat menulis catatan-catatan semacam ini. Padahal jika kupikir-pikir lagi, tidak ada yang istimewa dari catatan-catatanku di blog ini karena … entahlah, mungkin aku belum menemukannya saja. Kalian juga pasti berpikir begitu.

Kali ini aku memiliki topik yang sebenarnya ingin kutuliskan sejak lama. Dan aku baru bisa menuliskannya sekarang. Di tengah-tengah keheningan rumah sakit, saluran televisi yang tidak ada yang menyenangkan sehingga aku memutuskan untuk mematikannya saja, suara AC yang menggerung, musik, dan adikku yang tertidur di atas tempat tidur di depanku.

Aduh, tanganku pegal karena mengetik dengan posisi yang tidak nyaman. Tunggu sebentar. Aku akan mencari posisi yang lebih nyaman.

Yap, sudah. Aku memutuskan untuk tidak menulis di atas meja dan meletakkan laptopku di pangkuan. Jangan sering-sering mengetik dengan posisi semacam ini, ya. Tidak baik.

Baiklah. Kembali ke topik yang ingin kubahas.

Pertama-tama, aku ingin bercerita singkat mengenai ayahku. Bagiku, Ayah adalah sosok yang memiliki cita-cita besar. Darinya aku belajar berani bercita-cita tinggi. Aku sering melihat Ayah bekerja begitu keras baik itu untuk memenuhi keinginannya atau untuk kebaikan orang lain. Dari Ayah juga aku belajar bagaimana menjadi tulus dan bekerja keras.

Ayahku seorang perawat di Rumah Sakit Bhayangkara. Tapi, aku tahu betul bahwa panggilan diri ayahku adalah dengan menyerahkan hidupnya untuk mengabdi pada lingkungan. Ya. Ayahku sudah 14 tahun lamanya menjadi seorang penggiat lingkungan dan kini cukup berhasil mengembangkan sebuah hutan gundul di gunung dekat rumahku menjadi sebuah tempat pendidikan alam dan eko-wisata baru yang banyak diminati. Tentu saja setelah bekerja keras dan berusaha bersama teman-temannya.

Ayahku juga penggemar hal-hal berbau sejarah. Dari Ayah juga aku mendapat sebuah ketertarikan yang sama dengan sejarah. Tidak hanya dari kakekku, aku juga tahu dari ayah bagaimana silsilah panjang keluarga kami yang hingga kini membuatku terkagum-kagum sendiri. Aku tahu bagaimana kemudian aku mendapat nama, siapa nenek moyangku, dan kisah-kisah apa di baliknya juga dari ayah serta kakekku. Dan juga ibu.

Beberapa hari yang lalu, ayah mengajakku untuk mengunjungi seseorang yang sepertinya sedang ingin membutuhkan bantuan ayah. Aku tidak akan menyebutkan namanya di sini, tapi sebut saja dia Kakek. Dia bukan kakekku. Tapi seorang sesepuh yang juga peduli pada peninggalan sejarah dan budaya.

Kami berangkat pada malam hari selepas Maghrib. Di tengah perjalanan, kami melewati sebuah kegiatan besar yang cukup ramai diikuti oleh orang-orang dari kalangan pesantren. Rupanya ada sebuah pengajian besar yang digelar di sebuah rumah. Di depan rumah tersebut kulihat ada sebuah spanduk besar bertuliskan sebuah kalimat bahwa mereka sebagai orang muslim yang tinggal di negara ini menjunjung tinggi NKRI. Tulisan itu membuatku berpikir cukup lama sepanjang perjalanan.

Kalian tentu tahu bahwa akhir-akhir ini negara kita sedang gencar memburu teroris yang berkedok agama. Tidak hanya itu, aku merasa bahwa ada hal-hal yang buruk yang dibawa orang-orang tak bertanggungjawab itu hingga membuat adanya sebuah citra yang negatif pada orang-orang muslim. Teroris-teroris itu kerap kali melakukan kekerasan dan seringkali kulihat di berita-berita di televisi yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang mengaku muslim.

Hal itu membuatku miris.

Aku kerap kali melihat dan membaca banyak sekali orang-orang yang menderita dan tewas akibat kekerasan. Tidak hanya itu, kini perbedaan di antara sekian banyak orang juga bisa menjadi pemicu adanya konflik yang berujung pada kekerasan. Aku merasa bahwa ada sesuatu di luar sana yang ingin memecah belah kami. Dan kami berusaha untuk menguat-nguatkan diri, saling menggandeng tangan, untuk menghalau sesuatu tersebut. Untuk berusaha menjaga sebuah kerukunan.

Ketika melihat spanduk itulah aku merasa bahwa masih ada harapan yang ada di tengah-tengah perbedaan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai banyak budaya dan agama serta kepercayaan. Apa yang lebih kuat dari sebuah kesadaran diri akan cinta tanah air dan menghormati keberagaman?

Berbicara mengenai perbedaan aku mencoba untuk melihat dari banyak sisi. Tentu saja, banyak orang yang melihat perbedaan dengan pandangan yang berbeda-beda pula. Dari sisi seorang muslim aku melihat bahwa perbedaan adalah hal yang sudah digariskan Allah dari awal pembentukan manusia. Dari sisi seorang warga negara aku melihat perbedaan adalah suatu hal yang sudah semestinya aku hargai jika aku hidup di negara ini. Dari sisi seorang makhluk sosial aku melihat perbedaan adalah sebuah mimbran tipis yang seharusnya tidak akan menghalangi setiap orang bersosialisasi dan hidup secara rukun berdampingan. Ya. Sejauh ini aku melihat perbedaan dari sisi positif.

Aku dan ayahku sampai di rumah Kakek setelah beberapa kali bertanya pada penduduk sekitar. Sebenarnya, rumah Kakek tidak begitu terpencil. Hanya saja kami baru pertama kali bertandang ke rumahnya.

Ketika kami sampai di rumah Kakek, ayah dan Kakek tersebut memperbincangkan banyak hal. Aku menangkap inti pembicaraannya adalah seputar penghibahan beberapa benda bersejarah untuk disimpan ayahku di tempat wisata yang kini masih dibangunnya.

Kakek itu menjelaskan pula bahwa ia sudah membicarakan perihal penghibahan ini pada seorang tokoh sejarah dan beberapa tokoh lainnya. Beliau juga sempat menyinggung beberapa tokoh lainnya dan salah satunya adalah tentang seorang pemimpin suatu daerah besar. Kakek itu mengeluarkan sebuah dokumen tertulis dari tokoh pemimpin tersebut yang isinya seputar ajakan dan dukungan untuk menjaga serta melestarikan lingkungan.

Kakek ini adalah seorang tokoh agama Islam. Dan ia menyimpan beberapa benda bersejarah, yang barangkali, akan menarik perhatian orang lain yang mempercayai klenik. Kakek itu menekankan bahwa benda-benda bersejarah semacam miliknya, yang akan ia hibahkan pada ayahku, janganlah dianggap memiliki kekuatan tertentu. Baginya, adalah sebuah kewajiban untuk merawat dan menjaga benda-benda tersebut semata-mata karena mereka adalah hasil kebudayaan dan mengandung makna-makna sejarah.

Beliau mengucapkan hal tersebut dengan menatapku cukup lama. Seolah ingin menekankannya padaku. Dan aku mengangguk menyetujui hal tersebut. Begitu pula ayahku.

Sebagai seseorang yang terlahir dengan darah Jawa, dengan silsilah panjang ratusan tahun, aku memaham betul bagaimana budayaku. Aku paham mengenai kewajiban pelestarian budaya. Kakekku sendiri yang mengajariku bagaimana aku harus berlaku sebagaimana seorang berdarah Jawa. Dan seberapa banyaknya nilai-nilai budaya yang diajarkan Kakekku sejak kecil, satu hal yang paling ditekankan adalah untuk menjaga kelestarian budaya.

Kerap kulihat kini beberapa kebudayaan harus tergeser karena arus globalisasi. Bagaimana sebuah budaya kini, yang telah membentuk sebuah kepribadian masyarakatnya, mulai keropos sedikit demi sedikit. Dan bagaimana sebuah nilai-nilai budaya, jati diri yang ditanamkan ke setiap individu secara turun-temurun, digantikan oleh hal lain yang lebih modern.

Aku tidak mengatakan menentang adanya sebuah perubahan menuju modernitas. Perubahan adalah satu-satunya hal di dunia ini yang abadi. Bahwa perubahan akan terus bergerak ke berbagai arah. Tapi kini aku paham betul bagaimana keluargaku berusaha untuk mendidikku untuk senantiasa menghargai nilai-nilai budaya dan menjaganya agar terus lestari.

Sejak dulu, aku selalu tertarik dengan budaya negeriku sendiri. Aku bangga pada identitasku sebagai orang Jawa yang ingin melestarikan budaya. Aku yakin begitu pula orang-orang di luar sana yang membanggakan budaya mereka sendiri. Dan aku kagum bagaimana mereka, orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda itu, bisa dipersatukan oleh sebuah pemerintahan dalam suatu negara.

“Atas dasar persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah,” kata Bung Karno pada saat memperjuangkan kemerdekaan negara ini.

Kurasa, aku akan mengakhiri catatanku di sini. Ibuku sudah tiba dan aku harus segera pulang sebelum larut. Aku tidak tahu kapan akan memposting catatan ini. Tapi kuusahakan secepatnya. Terima kasih sudah membaca catatan ini dan sampai jumpa di catatan-catatan selanjutnya J

Selasa, 17 Mei 2016

The D-Day

18 Mei 2016
Jl. Jombang 1/8A
7.25 WIB


Kudengar bahwa orang-orang jaman sekarang memiliki satu tambahan hari dalam seminggu yang disebut D-Day. D-Day wajib diperingati untuk merayakan sebuah hari yang ditunggu-tunggu. Bagiku, D-Day ku adalah hari ini. Hari ketika aku akan memulai liburan dan pulang ke kampung halaman. 


Kemarin, adalah D-Day ku yang lain. Yaitu ketika hariku menghabiskan waktu bersama teman-teman dekat dengan bersenang-senang di taman hiburan sebelum kemudian kami harus kembali ke kampung halaman masing-masing dalam jangka waktu yang cukup lama.

Aku sudah mengatakan di catatanku sebelumnya bahwa aku tidak sabar menuliskan kegiatanku ketika bersenang-senang di Jatim Park 1 kemarin. Yes, kegiatan kemarin benar-benar menyenangkan. Aku dan lima temanku lainnya bergantian menaiki wahana.


By the way, aku sedang mengetik sambil mendengarkan lagu yang cukup menyentuh. Jika kalian tahu seperti apa lagu All For You yang merupakan original soundtrack drama Korea Reply 1997, kurasa kalian tahu apa yang kumaksud. Yap, baper. Hahaha ...

 Apa, ya? Sebenarnya aku sering kebingungan bagaimana aku harus menulai sebuah tulisan untuk kategori diary. Aku sudah lama tidak menulis pengalaman semacam ini karena terlalu sering menulis cerpen khususnya yang bergenre romance (Silahkan cek di akun wattpad-ku @warapam). Tapi, baiklah. Mari kita coba untuk membuka catatan ini dengan kata ....

THIS IS MY D-DAY!!

Nah, sekarang catatan ini baru resmi dibuka. Paragraf-paragraf sebelumnya hanyalah intermezo.

Jadi, selama hampir setengah hari kemarin aku dan lima temanku yang fotonya terpampang di atas benar-benar mengisi liburan dengan kegiatan menyenangkan yang bermanfaat untuk kesehatan otak, sekaligus memacu adrenalin dengan tingkat ekstrem yang .... lumayan membuat jantung berdentum jedug-jedug. Tidak. Kami tidak sedang clubbing. Tapi mencoba wahana-wahana yang ekstrem. Yah, meskipun wahana yang aku naiki tidak sebegitu ekstremnya.

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 10 pagi kemudian langsung mencoba wahana pertama: Sebuah bus sekolah warna merah yang dinaik-turunkan dengan cukup cepat dan membuat ulu hatiku naik hingga tenggorokan. But seriously it was so fun! Meski masih belum ada apa-apanya dibanding roaler coaster.

Setelah dari bus-busan itu tadi, kami lanjut ke wahana lain yaitu menaiki semacam coaster yang kecepatannya hanya mencapai 20 km/jam untuk berkeliling di ketinggian beberapa belas meter. Um, apa wahana ini bisa disebut sebagai coaster mengingat kecepatannya hanya segitu?

Tapi, bukan itu poin serunya. Serunya adalah ketika aku melihat kedua temanku yang lain, Dhita dan Tisna, mencoba menaiki wahana Pendulum 360. Yap, aku jelas tidak akan mempertaruhkan nyawa untuk mencoba menaiki wahana gila itu. Meskipun Presiden Amerika datang dan menawarkan uang tunai jutaan dollar, atau dibayar dengan keliling dunia gratis selama berbulan-bulan, demi apapun aku tidak akan pernah mau. Wahana ini gila. Seriously.

Jadi, ketika kalian menaiki wahana ini, awalnya kalian akan diputar ke samping 360 derajat secara perlahan. Satu menit kemudian, pendulum ini mulai bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan perlahan. Makin lama, pendulum ini bergerak memutar-mutar dengan sudut derajat yang lebih besar. Penumpangnya digoyang ke kiri dan ke kanan dengan presisi yang semakin tinggi, kemudian diputar, dan puncaknya adalah ketika pendulum ini memutar ke atas 360 derajat secara utuh berkali-kali. Aku dan ketiga temanku yang lain yang menyaksikan hanya bisa ternganga melihat sepuluh orang seperti diblender sekaligus diputar-putar di dalam black hole.

Begitu pendulum itu berhenti, seluruh penumpang yang awalnya berteriak-teriak sopran hanya bisa terdiam teler. Mereka benar-benar teler. Ya, menurut kalian bagaimana tidak teler jika tubuh kalian diputar-putar, kepala di bawah kaki di atas, digoyang-goyang seperti gantungan kunci yang tidak berdaya?

Aku yakin sekali mereka turun dari wahana dengan kaki seperti agar-agar. Kedua temanku yang memang menyukai wahana-wahana pemacu adrenalin super seperti tadi tertawa dan berteriak kegirangan begitu turun dan menghampiri kami yang lain. Dan satu-satunya respon kami saat itu adalah, "Kalian benar-benar sinting."

Kalian tahu apa yang terjadi setelahnya? Begitu kami menuju ke Rumah Hantu dan mengantri, kedua temanku yang menaiki pendulum tadi melompat keluar dari pagar antrian dan duduk tidak berdaya karena masih mual dan pusing. Jadi, akhirnya hanya ada aku dan ketiga temanku yang lain yang mengantri masuk ke rumah hantu. Kejadian memalukanku dimulai di sini.

Begitu antrian sudah di depan mata, dan ketiga temanku sudah siap masuk sedangkan tiketku sudah ditandai, aku melompat ke luar antrian dan memutuskan tidak bernyali memasuki ruangan gelap penuh demit-demitan itu tadi. Demi apapun nyaliku hilang begitu saja. Antrian tiketku yang begitu panjang hanya berakhir dengan melompati pagar antrian karena takut bertemu demit-demitan -__-

Kami lalu mengunjungi dan mencoba wahana-wahana lainnya. Tidak apa-apa aku tidak jadi memasuki Rumah Hantu, yang jelas begitu aku masuk ke sebuah wahana berisi badut-badut seram bernama Carnivalloween aku berada di barisan depan sendiri dan .... berteriak paling keras kemudian lari mencari jalan keluar lebih dulu -_-

Wahana favoritku adalah ketika aku menaiki coaster mini dengan kecepatan sekitar 160 km/jam sambil diputar kesamping 180 derajat dan ketika aku menaiki sebuah ... apa, ya, namanya?--Pokoknya semacam ayunan yang dinaikkan hingga 50 meter kemudian digerakkan berputar ke samping. 


Yah, begitulah. Kedua wahana ini bagiku keren. Sebenarnya ada keinginan untuk menaiki wahana roller coaster yang memiliki rel berputar ke atas tapi ... aku masih sayang dengan tenagaku. Lagi pula tidak ada yang memiliki tenaga untuk menaiki coaster itu ... *alasan*

Hah, pokoknya kurang lebih kegiatannya semacam itu. Kami kembali ke parkiran pukul setengah 4 sore dalam keadaan kaki kram dan tubuh terlalu lelah.

Sekarang sudah pukul 7.52 dan aku harus bersiap ke kampus untuk tandatangan penyerahan hadiah (hooray!) pukul 9.00. Jam 10.00 aku harus segera berangkat ke stasiun.

Aku tidak sabar lagi menuliskan beberapa kegiatanku, dan barangkali opini seputar kejadian sosial lagi, begitu sampai di rumah nanti sore. Terima kasih sudah membaca catatan ini. Sampai jumpa di catatan-catatanku selanjutnya :)

Senin, 16 Mei 2016

Catatan Kosong

16.35 WIB
Jl. Jombang, Gang 1/8A, Malang

Sebelum kalian beranjak untuk membaca paragaraf selanjutnya kuberitahukan bahwa catatan ini hanyalah catatan kosong. Aku tidak sedang memiliki topik untuk kutuliskan di catatan ini dan hanya karena aku ingin menulis saja maka kuposting catatan kosong ini di blog. Seperti yang kalian tahu bahwa catatan ini memang tidak benar-benar kosong. Yang kumaksud kosong adalah karena aku tidak sedang ingin membahas apapun kecuali hal-hal absurd yang memang ingin kutuliskan. Imajinasi menulisku sedang bagus. Jadi, sebelum kalian menyesal membaca catatan kosong ini lebih lanjut kusarankan berhenti saja.

...

Hhh~ Sudah kubilang berhenti dan kalian masih lanjut untuk membaca paragrafku selanjutnya? Ya, sudah. Baca saja. Aku hanya ingin menulis apapun yang ingin kutulis di sini.

Aku akan mulai dari hari pertama sampai ke-4 liburan. Sejauh ini aku hanya menghabiskan sebagian besar waktuku di dalam kos. Jika kupersempit lagi ruang gerakku hanya sebatas kamar kos. Tepatnya kamar kos orang lain. Aku dan teman sekamarku yang asli dari Flores menimbun kemalasan di kamar kos Lidya yang memang letaknya strategis: di dekat router wifi. Kubilang juga apa. Aku tidak ada kegiatan lain selain mengejar jaringan wifi yang kadang muncul kadang tidak. Maklum. Tempat kosku memang padat penduduk dan berada di dalam gang yang juga terletak di dalam gang. Begitulah. Silahkan pikir sendiri.

Lia, teman sekamarku dari Flores, baru saja bertanya apakah aku makan di sini (di kos sendiri) atau di kos-nya Dhita. Aku bilang padanya, "Di sini saja." Dhita sedang di Matos (Malang Townsquare) dan dia bilang akan menjemputku ke kosnya sepulang ia dari sana. Yap, aku akan menginap di kos Dhita malam ini dan besok kami akan ke Jatim Park 1. Hip hip hooray!

Universitas tempatku belajar sedang dalam masa-masa liburan ketika universitas-universitas yang lain masih aktif kuliah bahkan sedang ujian. Aku bahkan sudah libur sejak Jumat tiga hari yang lalu. Dan rencana pertama yang terlintas di kepala Dhita adalah bahwa kami harus mengadakan liburan. Awalnya, kami akan berangkat satu kelas untuk acara makan bersama. Tapi acara itu dibatalkan dan dengan orang yang lebih sedikit kami akan bersenang-senang di taman hiburan.

Aku juga baru saja berkemas untuk liburan 3 bulan di kampung halaman. Benar. TIGA BULAN. Bukan karena jangka waktu liburannya yang berkali-kali lipat dari jangka liburanku ketika SMA, tapi satu hal yang aku syukuri adalah karena liburan kali ini--dan tahun lalu juga--bertepatan dengan hari puasa dan lebaran. Jadi, aku bisa menghabiskan waktu dengan keluargaku di kampung halaman.

Awalnya, aku akan membawa beberapa buku yang jika kutotal beratnya bisa mencapai 5 kg. Tapi aku harus menguranginya menjadi hanya 1 kg ketika ransel Yoo Si Jin yang kubawa tidak muat menampung laptop lamaku yang sudah menemaniku selama 5 tahun ini.

Bicara mengenai ransel Yoo Si Jin, aku menamainya sesuai dengan peran aktor Korea Selatan bernama Song Joong Ki yang dramanya berhasil menghipnotis jutaan penonton (khususnya perempuan) di dunia. Yoo Si Jin sebagai kapten tim Alpha kulihat sering mengenakan seragam militer berwarna kecoklatan. Ransel tentara milikku seperti itu, jadi sekalian saja kunamai ransel Yoo Si Jin.

Aku selintas kepikiran ponselku yang untuk ketiga kalinya harus mengalami kerusakan batrai. Sekarang kondisinya mengenaskan dan sedang kusimpan di dalam ransel. Untungya aku tidak terlalu parah terjangkit nomophobia. Hanya saja aku kepikiran ibuku yang tidak bisa meneleponku gara-gara ponselku rusak. Tentu saja aku akan membeli yang baru jika uang tabunganku cair bulan depan.

Ingat tentang catatanku sebelumnya yang mengatakan bahwa kita tidak nyaman jika harus meminta uang ke orang tua di usia yang sudah mencapai 20 tahun hanya karena ingin membeli ponsel baru? Itu kisah nyata. Aku sedang ingin ponsel baru dan tidak ingin merepotkan orang tuaku. Satu-satunya modal yang bisa kumiliki adalah tabunganku sendiri yang entah cair kapan.

Kurasa aku akan melanjutkan catatanku nanti. Aku akan membeli makan dulu.


17.52 WIB
Jl. Jombang, Gang 1/8A, Malang

Aku baru saja selesai makan dan sholat Magrib. Sekarang sedang menunggu Dhita dan melanjutkan tulisan random ini di dalam kamar. Tepat di depan pintu Lia sedang menonton ulang drama Descendants of the Sun.

By the way, apa aku tadi mengatakan bahwa nomophobiaku tidak terlalu parah? Barangkali memang benar. Tapi sebagai anak rantau yang ponselnya rusak sekarang aku sedang merindukan ibuku. Ibuku tidak bisa meneleponku karena ponselku rusak dan entah kenapa ia tidak berinisiatif untuk menelepon ke ponselnya Lia saja. Padahal aku sudah memberitahunya untuk menghubungiku lewat ponsel Lia. Hah, mungkin nanti aku akan meminjam ponsel Dhita atau Putri.

Rasanya aku tidak sabar untuk memulai acara besok dan pulang ke kampung halaman besok lusanya. Aku jelas akan merindukan tempat ini. Merindukan teman-temanku. Dan merindukan suasana di kos serta di kampus yang menyenangkan. Aku jelas juga akan merindukan lalapan Ibu Jombang 2 yang sambal terasinya enak BANGET (Iya. Harus pake huruf kapital), atau lalapan bapak depan kampus yang gorengannya crispy banget, atau bapak imut penjual cilok yang ciloknya terenak seumur hidupku. Hahaha ....

Tahu cilok, kan? Itu, loh, versi mini dari bakso. Cuma kalau cilok biasanya lebih banyak tepungnya. Terus dikasih bumbu kacang. Enak beneran. Serius.

Dhita baru saja mengirimiku voice note. Jadi catatan ini akan kulanjutkan lagi nanti di kos-nya.

18.48 WIB
Jl. Klampok Kasri, Malang

Sedang berada di kos-nya Dhita. This is an awkward moment ketika tepat di depan kosnya lagi ada kondangan. Hahahaha ...

Barusan ibuku telepon ke ponselnya Putri, teman sekamarnya Dhita, dan rasanya pengen cepet-cepet pulang kampung.

Oke. Laptop-ku akan dipakai Dhita untuk download acara/drama Korea. Aku akan segera melanjutkan catatan ini dan mem-posting-nya.

19.21 WIB
Jl. Klampok Kasri, Malang

Acara kondangan di depan kos makin tidak jelas saja. Saat ini soundsystem sedang memperdengarkan lagu Asereje dengan penyanyi yang terlalu overacting -__-
By the way laptop ini masih digunakan untuk menonton acara Running Man. Dhita sedang turun ke bawah sebentar untuk menemui Nando dan Putri sedang melakukan perekatan ulang di sepatunya.

Kos Dhita dan Putri sebenarnya cukup menyenangkan. Perlu kuperjelas lagi faktor apa yang menyenangkan di sini. Yaitu jaringan wifi yang wuzz wuzz cepet banget dibanding di kosku. Tidak hanya itu. Kamarnya juga cukup luas untuk dua orang dengan masing-masng mendapat meja belajar dan lemari sendiri-sendiri.

Aku penasaran akan seperti apa acara besok. Aku juga tidak sabar untuk menuliskannya di blog lagi.

Dhita baru saja mengatakan pada Putri, "Wara mendapatkan inspirasi melihatmu sedang merekat ulang sol sepatumu, Put." Setelahnya ia sibuk menghubungi Roma untuk meminjam GoPro. Acara besok benar-benar perlu diabadikan.

"Kak Tit, tongsis aman?" tanya Dhita pada Tita yang besok juga akan bergabung dengan kami.

Aku, Dhita, dan Putri baru saja mengatakan keinginan untuk membuat Vlog. Tapi apa daya kami tidak memiliki kamera yang keren atau GoPro.

Semakin lama tulisan ini semakin nggak jelas saja. Hahaha ... Ya, sudah. Aku akan akhiri tulisan ini sampai di sini saja. Sampai jumpa di catatan-catatan absurd lainnya~~~

Rabu, 11 Mei 2016

Seorang Introvert di Dunia Remaja 20-Tahunan

TA-DA!!

Ya, ampun. Blog ini benar-benar serasa berdebu karena sudah terlalu lama kuabaikan. Maafkan aku yang tiba-tiba jadi malas menulis banyak-banyak ini. Niatnya jadi penulis dan aktif menulis terus tapi apa daya sebagai mahasiswa ternyata kehidupan di sekeliling tugas lebih menyita waktu. Di samping itu sebenarnya ... aku cenderung menunggu momen yang tepat untuk menulis (Oke. Abaikan upaya pembelaan diri barusan).

Jadi, begini. Aku akan mulai bercerita dari bagaimana aku sempat kerepotan hanya untuk membuat tulisan baru. Aku membuka akun blog ini dan sempat kebingungan karena semua postingan tulisanku hilang. Seolah aku harus mulai menulis dari awal lagi. Kupikir aku yang kudet atau apa sampai akhirnya aku harus searching di google to find how to make a new article as a new blogger. Payah sekali. Dan belakangan kusadari bahwa aku membuka akun blog dengan email yang salah. Aku tahu. Memang benar-benar payah.

Dan di sinilah aku sekarang! Sedang bersiap untuk membuat tulisan yang baru mengenai hari-hari sebagai seorang remaja akhir berusia 20 tahunan.

Yap. Aku akan menulis bagaimana rasanya menjadi seorang remaja akhir yang akan menuju gerbang kedewasaan, problem-problem yang mengisi hari-hari selama menjadi remaja usia 20 tahun, dan bagaimana aku menyikapi hal tersebut.

Barangkali memang agak aneh membuat sebuah tulisan motivasi untuk remaja berusia 20 tahun padahal aku sendiri juga sedang mencapai setengah tahun sebagai remaja umur 20 tahun. Tapi, aku merasa perlu membuat tulisan ini karena kupikir tulisan ini akan mewakili kalian wahai remaja-remaja berumur 20 tahunan yang sering dilanda galau.

Oke. Mari kita mulai.

Berusia 20 tahun bagiku memang tidak mudah. Seringkali aku merasa bahwa di usia yang seharusnya sudah disebut sebagai dewasa ini aku harus mampu bersikap layaknya orang dewasa yang sesungguhnya. Dan itu memang benar. Memang benar kita harus melatih diri kita untuk menjadi dewasa. Tapi, seringkali ada perasaan bahwa menjadi dewasa itu membosankan. Benar, kan? Kita harus membuat sebuah keputusan yang tepat, harus menyembunyikan segala emosi (sedih, kecewa, marah) agar terlihat lebih dewasa. Karena katanya orang dewasa adalah orang yang bisa mengendalikan emosinya. Asal tahu saja, menyembunyikan emosi itu terkadang susah.

Sering juga kurasakan bahwa menjadi remaja akhir berusia 20 tahun aku menghadapi berbagai permasalahan dalam diriku. Sebut saja ketika kita menginginkan sesuatu dimana kita tahu bahwa kita tak memiliki modal untuk memilikinya. Membeli hape baru, misalnya. Satu-satunya modal kita bersumber dari orang tua. Akan timbul persaingan dalam diri kita semacam "Duh, beli nggak, ya? Butuh hape baru, tapi kalau minta uang ke orang tua kok gak enak? Masa udah gede minta uang terus?"

Sadar atau tidak, perasaan semacam itu akan mendorong kita untuk memilih jalan yang lebih bijaksana. Bukankah menjadi dewasa artinya juga menjadi bijaksana? Sudah bagus ada perasaan bimbang mengenai haruskah minta uang ke orang tua atau tidak. Daripada tidak ada pertimbangan sama sekali. Bagiku, kebimbangan semacam itu membuatku ingin, entah bagaimana, harus punya modal sendiri untuk mendapatkan apa yang kita mau. Misalnya, kerja sampingan atau menabung. Untuk kalian yang pernah merasakan kebimbangan semacam itu, dan berusaha untuk mengambil pilihan yang lebih bijaksana, aku salut dengan kalian.

Permasalah kedua adalah soal 'baper'. Duh, jangan ditanya deh kalau sudah menyangkut tentang kebaperan. Kadang itu gini, ya, kalau semisal kita sedang menonton film sedih atau mendengarkan orang lain menceritakan masalahnya kemudian kita merasa terhanyut, merasa berempati, dan ketika kita berusaha menyampaikan rasa empati tiba-tiba ada yang menyeletuk "Dih, baper banget sih lo?". Rasanya kayak ya-ampun-manusia-macam-apa-sih-yang-ngatain-orang-empati-dengan-kata-baper?!! 

Iyap begitu. Khususnya bagi remaja-remaja perempuan berusia 20 tahun semacam saya ini yang sering dilanda baper.

Tak kasih tahu nih ya. Gak ada salahnya jadi baper! Gak ada sama sekali! Baper bukan berarti kalian lemah atau cengeng. Bukan begitu. Baper itu adalah emosi dari dalam diri kalian sendiri ketika kalian membayangkan berada di posisi yang mempermainkan perasaan kalian. Bahasa kerennya empati. Memangnya apa yang salah dengan memiliki empati? Empati itu bagus, kok. Gak bikin dosa juga.

Percaya, deh. Aku sering banget dikatain baper sama orang yang ... well, pernah menjadi masa lalu saya dimana saya masih sedang berusaha move on darinya. Hahaha. Nggak tahu, ya, kenapa ternyata dia nggak suka sama cewek yang baperan. Dan gara-gara itu aku pernah merasa seperti "Ya, ampun. Aku gak tahu kalau menjadi baper itu bisa sebegini dosanya." Tapi kemudian aku pikir-pikir lagi apa yang bikin aku bisa sebegitu bapernya ke dia. Oh, iya. Ternyata dia orangnya memang, ibaratnya, tidak bisa memahami perasaan perempuan. Yap. Dia dingin sekali. Dia memang tidak pernah paham bagaimana berada di posisi seorang perempuan dan tidak paham bagaimana perasaan perempuan itu. Di situ titik terangnya untuk kemudian aku mengubah pola pikirku bahwa, "Bukan salah saya kalau saya baper. Memang kebetulan saja dianya yang tidak bisa memahami perasaan perempuan."

Jadi, aku garis bawahi lagi bahwa menjadi baper alias empati itu TIDAK DILARANG. Jadilah orang yang penuh empati karena itu bagus buat kesehatanmu. Tapi ingat bahwa baper dan cengeng adalah dua hal yang berbeda. Karena baper berarti empati, sedangkan cengeng ya berarti kalian terlalu sering membuang-buang air mata yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

Problem terakhir yang paling pamungkas adalah tentang cinta. Duh, kalau ngomongin yang satu ini kayaknya nyangkutnya ke problem sebelumnya tentang baper, deh. Hahaha...

Aku tahu beberapa di antara kalian, wahai remaja-remaja berusia 20 tahun, pernah mengalami bagaimana sedihnya ketika cinta bertepuk sebelah tangan. Bagaimana sakitnya ketika gebetan lebih milih cowok/cewek lain dari pada kita. Dan bagaimana kita gagal bahkan sebelum menuju proses PDKT. Beneran itu galaunya ampun-ampunan.

Tapi, Guys. Galau tidak bisa menjadi penghalangmu untuk menghentikan semua kegiatan positif yang bisa kalian lakukan. Di sinilah gunanya punya banyak teman. Aku, sebagai seorang remaja berusia 20 tahun, rasanya bersyukur sekali bisa dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Ada teman-temanku, orang tuaku, dan keluargaku. Yap, bersama mereka rasanya semua kegalauan itu hilang. Kuncinya hanyalah tertawa. Buat diri kalian merasa begitu nyaman ketika berada di sekeliling orang-orang yang menyayangi kalian. Di sekeliling teman-teman kalian. Jangan biarkan diri kalian larut dalam dunia diri kalian sendiri. Kita ini hidup di dunia yang masyarakatnya sampai bermilyar-milyar, Man. Planet lain aja baru diuji apa masih bisa ditempati manusia, nah kamu jangan berani-beraninya buat bikin dan hidup di planetmu sendiri!!

Pengalamanku memiliki teman memang beragam. Dari SD aku hanya berteman dengan itu-itu saja. Sempat juga dimusuhi satu kelas padahal aku nggak tahu salahku itu apa. Punya satu musuh dari jaman SD yang aku benci sampe ke urat nadi pembuluh vena neutron apalah itu. Tapi tahu tidak? Musuh jaman SD itu sekarang jadi sahabatku yang tahu semua ceritaku. Hahahaha... 




Jaman SMP aku jadi cewek cupu yang temenan juga cuma sama itu-itu saja dan sama sekali nggak berminat ikut kegiatan ekskul sekedar buat nambah-nambahin temen. Sebenarnya ada ekskul sih tapi nggak tahu ya kenapa waktu itu mau masuk ekskul kok rasanya males banget. Males aja gitu ketemu orang-orang. Introvert sih ya.



Jaman SMA sudah nggak terlalu cupu tapi temen juga cuma itu-itu saja. Sudah ikut klub Bahasa Inggris dan sudah bikin event olimpiade sekabupaten pula. Selain itu juga sempet jadi pengurus Kopsis meskipun ikut itu juga karena diminta sama guru ekonomi (secara agak memaksa). Sempet juga ketiban durian jatuh pas, entah kenapa, iseng-iseng ikut olimpiade Geografi ternyata juara 3 sekabupaten terus lanjut ke Provinsi. Meski harus berhenti sampai di tingkat Provinsi tapi lumayanlah minimal pernah ikut olimpiade. Hahaha. Dan di SMA juga, meskipun teman cuma itu-itu aja, alhamdulillah masih cukup berkesan. Karena pacar pertama datangnya juga dari jaman SMA (Uhuk). Sekarang mah udah putus (Dhar!!).




Nah, setelah masuk kuliah ini nih aku pengen sesuatu yang beda. Bosan rasanya punya pengalaman pertemanan yang cuma itu-itu saja. Tidak bisa berbaur dengan banyak orang karena aku secara sengaja membatasi diriku sendiri. Ketika menjadi mahasiswa baru, bertemu teman-teman baru, aku memutuskan untuk mengembangkan diriku lagi. Bagiku, kesan pertama begitu penting. Aku pun segera membentuk diriku sendiri untuk bisa berbaur dengan mereka, hadir di setiap canda tawa mereka, menjalin komunikasi dengan mereka. Dan hasilnya aku merasa begitu nyaman dengan mereka. Mereka semua menerimaku, baik padaku, dan sebagai teman sekelas kami sering menghabiskan waktu bercanda bersama, dimarahi dosen sama-sama, dan nugas juga sama-sama. Pokoknya serasa lengkap. Belum lagi dengan mengikuti sebuah organisasi yang sesuai hobi, bertemu teman-teman baru lagi yang menyenangkan, menurutku adalah hal yang kusesali karena kenapa tidak sedari dulu kulakukan saja? 




Sejauh ini, di umurku yang mencapai 20 tahun, aku merasa begitu bersyukur. Karena ketika aku melepaskan panggar pembatas dari diriku sendiri aku menemukan bagaimana ajaib rasanya bisa hadir secara nyata di antara orang-orang yang selama ini mau menyambutku. Aku bisa tahu dengan jelas bahwa mereka juga selalu membantu dan menerimaku. Mereka semua sayang padaku. Nggak usah lah punya pikiran apakah mereka akan menerimaku atau tidak. Karena menurutku yang membuat kita merasa tidak diterima adalah pandangan dari diri kita sendiri dan dari batasan diri yang tanpa sadar sengaja kita buat.

Jadi, begitulah teman-teman. Kurasa di umur 20 tahun kita ini sudah waktunya kita membongkar pembatas pada diri kita yang membuat kita tidak bisa menemukan hal-hal baru. Masalah-masalah yang kusebutkan tadi memang pasti ada. Tapi mereka adalah harga yang pantas kita bayar apabila kita serius ingin berubah menjadi sosok yang lebih dewasa.

Untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu membaca tulisan ini kuucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini bermakna bagi kita semua. Sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya :)