27 Mei
2016
20.00 WIB
Rumah
Sakit Bhayangkara, Tulungagung
Aku sedang
berada di sebuah kamar di rumah sakit untuk menjaga adikku dengan ditemani
suara berisik AC dan lagu Once Again dari Mad Clown ft. Kim Na Young. Satu jam
dari sekarang aku akan berganti shift dengan ibuku untuk menjaga adikku yang
pertama yang terkena demam berdarah.
Baru saja
AC di atasku mati dengan sendirinya. Sudah beberapa kali AC ini bertingkah
semaunya dengan mati sendiri tanpa kusetel timer-nya.
Jadi, aku
sedang mengisi waktu luangku yang terkadang memang terlalu banyak seperti ini
dengan menulis. Ada beberapa draft cerita dan dua draft novel di laptop-ku yang
belum juga kuselesaikan karena entah kenapa aku sedang lebih bersemangat
menulis catatan-catatan semacam ini. Padahal jika kupikir-pikir lagi, tidak ada
yang istimewa dari catatan-catatanku di blog ini karena … entahlah, mungkin aku
belum menemukannya saja. Kalian juga pasti berpikir begitu.
Kali ini
aku memiliki topik yang sebenarnya ingin kutuliskan sejak lama. Dan aku baru
bisa menuliskannya sekarang. Di tengah-tengah keheningan rumah sakit, saluran
televisi yang tidak ada yang menyenangkan sehingga aku memutuskan untuk
mematikannya saja, suara AC yang menggerung, musik, dan adikku yang tertidur di
atas tempat tidur di depanku.
Aduh,
tanganku pegal karena mengetik dengan posisi yang tidak nyaman. Tunggu
sebentar. Aku akan mencari posisi yang lebih nyaman.
Yap,
sudah. Aku memutuskan untuk tidak menulis di atas meja dan meletakkan laptopku
di pangkuan. Jangan sering-sering mengetik dengan posisi semacam ini, ya. Tidak
baik.
Baiklah.
Kembali ke topik yang ingin kubahas.
Pertama-tama,
aku ingin bercerita singkat mengenai ayahku. Bagiku, Ayah adalah sosok yang
memiliki cita-cita besar. Darinya aku belajar berani bercita-cita tinggi. Aku
sering melihat Ayah bekerja begitu keras baik itu untuk memenuhi keinginannya
atau untuk kebaikan orang lain. Dari Ayah juga aku belajar bagaimana menjadi
tulus dan bekerja keras.
Ayahku
seorang perawat di Rumah Sakit Bhayangkara. Tapi, aku tahu betul bahwa
panggilan diri ayahku adalah dengan menyerahkan hidupnya untuk mengabdi pada
lingkungan. Ya. Ayahku sudah 14 tahun lamanya menjadi seorang penggiat
lingkungan dan kini cukup berhasil mengembangkan sebuah hutan gundul di gunung
dekat rumahku menjadi sebuah tempat pendidikan alam dan eko-wisata baru yang
banyak diminati. Tentu saja setelah bekerja keras dan berusaha bersama
teman-temannya.
Ayahku
juga penggemar hal-hal berbau sejarah. Dari Ayah juga aku mendapat sebuah
ketertarikan yang sama dengan sejarah. Tidak hanya dari kakekku, aku juga tahu
dari ayah bagaimana silsilah panjang keluarga kami yang hingga kini membuatku
terkagum-kagum sendiri. Aku tahu bagaimana kemudian aku mendapat nama, siapa
nenek moyangku, dan kisah-kisah apa di baliknya juga dari ayah serta kakekku.
Dan juga ibu.
Beberapa
hari yang lalu, ayah mengajakku untuk mengunjungi seseorang yang sepertinya
sedang ingin membutuhkan bantuan ayah. Aku tidak akan menyebutkan namanya di
sini, tapi sebut saja dia Kakek. Dia bukan kakekku. Tapi seorang sesepuh yang
juga peduli pada peninggalan sejarah dan budaya.
Kami
berangkat pada malam hari selepas Maghrib. Di tengah perjalanan, kami melewati
sebuah kegiatan besar yang cukup ramai diikuti oleh orang-orang dari kalangan
pesantren. Rupanya ada sebuah pengajian besar yang digelar di sebuah rumah. Di
depan rumah tersebut kulihat ada sebuah spanduk besar bertuliskan sebuah
kalimat bahwa mereka sebagai orang muslim yang tinggal di negara ini menjunjung
tinggi NKRI. Tulisan itu membuatku berpikir cukup lama sepanjang perjalanan.
Kalian
tentu tahu bahwa akhir-akhir ini negara kita sedang gencar memburu teroris yang
berkedok agama. Tidak hanya itu, aku merasa bahwa ada hal-hal yang buruk yang
dibawa orang-orang tak bertanggungjawab itu hingga membuat adanya sebuah citra
yang negatif pada orang-orang muslim. Teroris-teroris itu kerap kali melakukan
kekerasan dan seringkali kulihat di berita-berita di televisi yang menunjukkan
bahwa mereka adalah orang yang mengaku muslim.
Hal itu
membuatku miris.
Aku kerap
kali melihat dan membaca banyak sekali orang-orang yang menderita dan tewas
akibat kekerasan. Tidak hanya itu, kini perbedaan di antara sekian banyak orang
juga bisa menjadi pemicu adanya konflik yang berujung pada kekerasan. Aku
merasa bahwa ada sesuatu di luar sana yang ingin memecah belah kami. Dan kami
berusaha untuk menguat-nguatkan diri, saling menggandeng tangan, untuk
menghalau sesuatu tersebut. Untuk berusaha menjaga sebuah kerukunan.
Ketika
melihat spanduk itulah aku merasa bahwa masih ada harapan yang ada di
tengah-tengah perbedaan.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai banyak budaya dan agama serta
kepercayaan. Apa yang lebih kuat dari sebuah kesadaran diri akan cinta tanah
air dan menghormati keberagaman?
Berbicara
mengenai perbedaan aku mencoba untuk melihat dari banyak sisi. Tentu saja,
banyak orang yang melihat perbedaan dengan pandangan yang berbeda-beda pula.
Dari sisi seorang muslim aku melihat bahwa perbedaan adalah hal yang sudah
digariskan Allah dari awal pembentukan manusia. Dari sisi seorang warga negara
aku melihat perbedaan adalah suatu hal yang sudah semestinya aku hargai jika
aku hidup di negara ini. Dari sisi seorang makhluk sosial aku melihat perbedaan
adalah sebuah mimbran tipis yang seharusnya tidak akan menghalangi setiap orang
bersosialisasi dan hidup secara rukun berdampingan. Ya. Sejauh ini aku melihat
perbedaan dari sisi positif.
Aku dan
ayahku sampai di rumah Kakek setelah beberapa kali bertanya pada penduduk
sekitar. Sebenarnya, rumah Kakek tidak begitu terpencil. Hanya saja kami baru
pertama kali bertandang ke rumahnya.
Ketika
kami sampai di rumah Kakek, ayah dan Kakek tersebut memperbincangkan banyak
hal. Aku menangkap inti pembicaraannya adalah seputar penghibahan beberapa
benda bersejarah untuk disimpan ayahku di tempat wisata yang kini masih
dibangunnya.
Kakek itu
menjelaskan pula bahwa ia sudah membicarakan perihal penghibahan ini pada
seorang tokoh sejarah dan beberapa tokoh lainnya. Beliau juga sempat
menyinggung beberapa tokoh lainnya dan salah satunya adalah tentang seorang
pemimpin suatu daerah besar. Kakek itu mengeluarkan sebuah dokumen tertulis
dari tokoh pemimpin tersebut yang isinya seputar ajakan dan dukungan untuk
menjaga serta melestarikan lingkungan.
Kakek ini
adalah seorang tokoh agama Islam. Dan ia menyimpan beberapa benda bersejarah,
yang barangkali, akan menarik perhatian orang lain yang mempercayai klenik.
Kakek itu menekankan bahwa benda-benda bersejarah semacam miliknya, yang akan
ia hibahkan pada ayahku, janganlah dianggap memiliki kekuatan tertentu.
Baginya, adalah sebuah kewajiban untuk merawat dan menjaga benda-benda tersebut
semata-mata karena mereka adalah hasil kebudayaan dan mengandung makna-makna
sejarah.
Beliau
mengucapkan hal tersebut dengan menatapku cukup lama. Seolah ingin
menekankannya padaku. Dan aku mengangguk menyetujui hal tersebut. Begitu pula
ayahku.
Sebagai
seseorang yang terlahir dengan darah Jawa, dengan silsilah panjang ratusan
tahun, aku memaham betul bagaimana budayaku. Aku paham mengenai kewajiban
pelestarian budaya. Kakekku sendiri yang mengajariku bagaimana aku harus
berlaku sebagaimana seorang berdarah Jawa. Dan seberapa banyaknya nilai-nilai
budaya yang diajarkan Kakekku sejak kecil, satu hal yang paling ditekankan
adalah untuk menjaga kelestarian budaya.
Kerap
kulihat kini beberapa kebudayaan harus tergeser karena arus globalisasi.
Bagaimana sebuah budaya kini, yang telah membentuk sebuah kepribadian
masyarakatnya, mulai keropos sedikit demi sedikit. Dan bagaimana sebuah
nilai-nilai budaya, jati diri yang ditanamkan ke setiap individu secara
turun-temurun, digantikan oleh hal lain yang lebih modern.
Aku tidak
mengatakan menentang adanya sebuah perubahan menuju modernitas. Perubahan
adalah satu-satunya hal di dunia ini yang abadi. Bahwa perubahan akan terus
bergerak ke berbagai arah. Tapi kini aku paham betul bagaimana keluargaku
berusaha untuk mendidikku untuk senantiasa menghargai nilai-nilai budaya dan
menjaganya agar terus lestari.
Sejak
dulu, aku selalu tertarik dengan budaya negeriku sendiri. Aku bangga pada
identitasku sebagai orang Jawa yang ingin melestarikan budaya. Aku yakin begitu
pula orang-orang di luar sana yang membanggakan budaya mereka sendiri. Dan aku
kagum bagaimana mereka, orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda
itu, bisa dipersatukan oleh sebuah pemerintahan dalam suatu negara.
“Atas
dasar persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah,” kata Bung Karno pada saat
memperjuangkan kemerdekaan negara ini.
Kurasa,
aku akan mengakhiri catatanku di sini. Ibuku sudah tiba dan aku harus segera
pulang sebelum larut. Aku tidak tahu kapan akan memposting catatan ini. Tapi
kuusahakan secepatnya. Terima kasih sudah membaca catatan ini dan sampai jumpa
di catatan-catatan selanjutnya J