Sabtu, 06 Mei 2017

Bahasa Petjuk: Bahasa Belanda khas Masyarakat Pribumi Indonesia pada Masa Kolonial


PENDAHULUAN   
Belanda adalah salah satu negara di sebuah benua Eropa yang juga dikenal dengan sebutan Netherland atau Holland. Negara penghasil susu dan keju ini memiliki ibukota di Amsterdam dan uniknya merupakan sebuah negara yang memiliki ketinggian di bawah permukaan air laut, sehingga Belanda perlu melakukan beberapa pengerukan untuk meninggikan tanahnya agar tidak sering terkena banjir. Negara yang juga menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer ini secara geografis berbatasan dengan Belgia di selatan, Laut Utara di utara dan barat, dan juga berbatasan laut dengan Jerman serta Inggris.

Dalam kaidah antropologi, bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari kesenian, religi, mata pencaharian, bahasa, teknologi, ilmu pengetahuan, dan organisasi sosial (Koentjaraningrat, 2009:164). Dikutip dari Republika.co.id (Puspaningtyas dan Nursalikah, 2016), diketahui bahwa di dunia ini terdapat kurang lebih 7.000 bahasa yang digunakan hampir oleh tujuh milyar orang yang berakar dari beberapa rumpun bahasa. Belum ada yang tahu pasti induk bahasa utama dari seluruh bahasa di dunia, namun terdapat beberapa rumpun bahasa yang menurunkan beberapa bahasa-bahasa yang hingga kini masih digunakan. Misalnya saja Austronesia, Indo-Eropa, Dravida, dan sebagainya.

Rumpun bahasa Indo-Eropa merupakan salah satu rumpun bahasa yang tersebar di hampir seluruh belahan dunia khususnya di daratan Eropa. Rumpun bahasa ini kemudian menurunkan beberapa bahasa salah satunya adalah Bahasa Belanda. Kemudian dalam pelayaran-pelayaran yang dilakukan oleh para pedagang Belanda untuk memperoleh rempah-rempah, bahasa ini ikut terbawa hingga ke kepulauan Hindia Belanda.

Pada masa kolonialisme, penggunaan bahasa Belanda mulai meluas bahkan hingga ke kalangan pribumi. Adanya dominasi dari orang-orang Belanda dalam mendirikan kekuasaan di Hindia Belanda mendorong masyarakat pribumi mau tidak mau untuk turut memahami penggunaan Bahasa Belanda. Pada masyarakat pribumi, golongan pertama yang mampu memahami bahkan menggunakan bahasa Belanda adalah golongan para bangsawan. Hal ini dikarenakan golongan bangsawan merupakan golongan yang lebih sering berinteraksi dengan orang-orang Belanda dibandingkan dengan golongan dari kelas menengah ke bawah. Kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa Belanda juga turut didorong dengan adanya pendidikan formal (sekolah) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Penggunaan bahasa Belanda pada masa kolonial di Indonesia kemudian turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pribumi sekaligus dengan gaya hidup mereka. Dalam kehidupan sosial, bahasa Belanda juga turut digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa pengantar di sekolah, bahkan bahasa ini mulai dipahami oleh kalangan bawah.

Kini jumlah masyarakat Indonesia yang memahami bahasa Belanda dan menggunakannya secara fasih mulai berkurang. Tidak seperti pada masa kolonial atau pergerakan dimana hampir seluruh tokoh intelektual dan beberapa masyarakat pribumi mampu menguasai bahasa ini secara fasih untuk melakukan diplomasi atau berhubungan dengan orang-orang Belanda. 
PEMBAHASAN
Sejarah, Perkembangan, dan Struktur Bahasa Belanda
Telah disebutkan sebelumnya bahwa di dunia ini terdapat beberapa rumpun bahasa yang kemudian menurunkan beberapa cabang bahasa dan dialek yang digunakan oleh seluruh manusia di dunia. Beberapa di antaranya adalah rumpun bahasa terbesar, salah satunya yaitu rumpun bahasa Indo-Eropa yang digunakan di hampir seluruh pelosok dunia, khususnya di benua Eropa. 


Sumber: Wikipedia, 2016.
Gambar 2.1.1. Peta Persebaran Rumpun Bahasa Indo-Eropa (area yang berwarna hijau tosca)

Sama seperti sebuah pohon silsilah dalam suatu keluarga, rumpun bahasa Indo-Eropa kemudian menurunkan beberapa anak bahasa dan dialek, dimana salah satu di antaranya adalah bahasa Belanda (Lihat bagan 2.1.1). Rumpun bahasa Indo-Eropa sendiri menurunkan beberapa cabang bahasa. Berikut ini adalah cabang bahasa dari Indo-Eropa yang tersebar di beberapa wilayah berdasarkan penemuan teks-teks dalam bahasa tersebut menurut Beekes (2011:17-30), Indo-Iranian yang digunakan oleh mayoritas ras Arya; Tocharian (China); Armenian (Yunani); bahasa-bahasa Anatolian seperti Hitite, Palaic, dan Luwic; Greek (Yunani), Illyrian (Kosovo, Makedonia sebelah barat, Italia sebelah selatan); Venetic (Italia); Italic; Celtic (Eropa sebelah tengah); Lucitanian (Portugal dan Spanyol sebelah barat); Germanic (Norwegia dan Swedia sebelah selatan, Denmark, pesisir Jerman).


Bagan 2.1.1. Penurunan Bahasa Belanda dari Rumpun Bahasa Indo-Eropa
 
Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa bahasa Belanda berkerabat dengan bahasa Jerman. Itulah sebabnya pengucapan dan struktur kedua bahasa ini memiliki kemiripan. Biasanya pengucapan kata dalam kedua bahasa ini bisa sama, tetapi penulisannya berbeda, misalnya ‘kursi’ dalam bahasa Belanda disebut stoel dan dalam bahasa Jerman disebut stool, ‘buku’ dalam bahasa Belanda disebut boek dan dalam bahasa Jerman disebut book, atau ‘minum’ dalam bahasa Belanda disebut drinken dan dalam bahasa Jerman disebut trinken. Pada perkembangannya di masa kini, bahasa Belanda kemudian digunakan sebagai kata serapan dalam bahasa Indonesia yang masih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Ada banyak sekali kata serapan dalam bahasa Belanda. Menurut kamus praktis Belanda-Indonesia karya Albert van Honthorst dan Windy Novia beberapa kata serapan di antaranya adalah pilot, ambulance, antenne, kraan, kraag, boontjes, dansen, zadel, schakelaar, soup, doker, oom, strijken, saucijs, netjes, gang, stopfles, gordijn, zuster, tante, dan masih banyak lagi.

Menurut Chapman (1992:14), Indo-Eropa lebih umum disebut dengan Indo-Germanic dalam studi yang dilakukan di Jerman. Teori mengenai Indo-Eropa atau Indo-Germanic juga menyatakan bahwa rumpun bahasa ini adalah nenek moyang dari hampir seluruh bahasa modern saat ini. Hampir sama dengan pendapat Beekse, Champ kemudian membagi rumpun bahasa Indo-Germanic menjadi nenek moyang kelompok bahasa yang lebih modern seperti Common Germanic, Common Slavonic, Common Celtic, Common Italic, Common Hellenic, Common Indo-Iranian, dan sebagainya. Cabang bahasa-bahasa ini kemudian menurunkan bahasa-bahasa yang dikenal saat ini, misalnya cabang bahasa Common Germanic menghasilkan bahasa Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, dan Inggris. Berikut ini adalah bagan penurunan bahasa Belanda dari rumpun bahasa Indo-Eropa menurut Chapman:


Bagan 2.1.2. Cabang-cabang Rumpun Bahasa Indo-Eropa atau Indo-Germanic Menurut Chapman

Sedangkan Willems, Dkk. (2016:8), memiliki versi lain dari percabangan bahasa Proto-Germanic hingga ke bahasa Belanda. Salah satu hasil dalam jurnal penelitiannya disebutan bahwa cabang bahasa Proto-Germanic memiliki dua dialek yaitu West Germanic dan Old Norse. Pada dialek jenis West Germanic muncullah beberapa dialek bahasa salah satunya adalah dialek bahasa Belanda mengikuti dialek bahasa yang lain seperti dialek Inggris, Sranan (di wilayah Suriname), Penn Dutch (Pennsylvanian Deutsch), Jerman, Frisian (di wilayah Belanda, Jerman, Denmark), Flemish (di wilayah Belgia), dan Afrikaans (di wilayah Afrika Selatan, Namibia, Botswana, dan Zimbabwe).

Tentunya bahasa Belanda yang digunakan pada masa kini berbeda dengan masa lampau. Pada abad ke-5, perkembangan bahasa Belanda baru pada tahap Old Dutch (bahasa Belanda lama). Bahasa Belanda lama ini dituturkan oleh penduduk yang menempati daerah di Belanda bagian selatan, Belgia bagian utara, Prancis bagian utara, hulu Sungai Rhine, dan Westphalian di wilayah Jerman. Penduduk Belanda bagian timur seperti Achterhoek, Overijssel, dan Drenthe menggunakan bahasa Saxon Lama yang juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Belanda Lama (Wikipedia, 2016).
 
Pada perkembangannya, di abad ke-9 bahasa Belanda lama (Old Dutch) berubah menjadi bahasa Belanda pertengahan (Middle Dutch) sebelum kemudian menjadi bahasa Belanda yang digunakan hingga kini. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan huruf vokal yang berada di akhir suku kata (Lihat tabel 2.1.1.).

Tabel 2.1.1. Perbedaan Bahasa Belanda Lama dan Bahasa Belanda Pertengahan

Perbedaan lain yang menunjukkan adanya evolusi dalam bahasa Belanda diambil dari kitab Mazmur Wachtendonck 55:18. Dalam ayat ini bahasa Belanda Lama memiliki campuran dengan bahasa Latin (Lihat tabel 2.1.2.).
 

Tabel 2.1.2. Evolusi Bahasa Belanda
Dalam suatu bahasa, biasanya terdapat dialek. Namun perlu dipahami bahwa bahasa dan dialek adalah dua hal yang berbeda tetapi saling memengaruhi. Adanya suatu perbedaan dialek dalam sebuah bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu letak geografis dan wilayah kelompok penuturnya, sehingga ada dua jenis dialek yaitu dialek geografis dan dialek regional.

Tidak menutup kemungkinan bahwa percakapan dengan bahasa yang dituturkan oleh dua orang berdialek berbeda masih bisa saling dimengerti. Hal ini disebabkan karena dialek merupakan bagian dari bahasa kemudian muncul pemahaman bahwa pemakai suatu dialek dapat mengerti dialek lain. Misalnya, penggunaan bahasa yang hampir sama dengan dialek berbeda antara Belanda dan Jerman. Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan Belanda-Jerman terbiasa menjalin hubungan dengan masyarakat yang berbeda suku bangsa. Ketika seorang suku bangsa Jerman menggunakan bahasa Jerman dalam berkomunikasi dengan suku bangsa Belanda, suku bangsa Belanda tersebut dapat mengerti apa yang diucapkan dan membalasnya dengan bahasa ibu mereka. Begitupun sebaliknya (Sumarsono, 2014: 21 dan 23).

Heeringa dan Nerbonne dari Groningen University menggunakan dua puluh tujuh dialek atau perbedaan pengucapan suatu kata di dua puluh tujuh area berbeda di Belanda dalam risetnya. Data yang digunakan kedua tokoh ini untuk membandingkan dialek adalah Reeks Nederlands(ch)e Dialectatlasen (RND) oleh Blancquaert dan Peé (1925-1982). Jika dua puluh tujuh daerah di Belanda dengan dialek yang berbeda disebutkan dari ujung utara hingga ke selatan Belanda, maka dialek-dialek yang berbeda tersebut terletak di Scheema, Veendam, Eext, Beilen, Ruinen, Koekange, Staphorst, Hasselt, Zalk, Oldebroek, Nunspeet, Putten, Amersfoort, Driebergen, Vianen, Hardinxveld, Zevenbergen, Oudenbosch, Roosendaal, Ossendrecht, Clinge, Moerbeke, Lochristi, Nazareth, Waregem, Zwevegem, dan Bellegem (Heeringa dan Nerbonne, 2002:378). Berikut ini adalah peta persebaran dialek di dua puluh tujuh wilayah di Belanda,


Gambar 2.1.2. Titik Persebaran Dialek Bahasa Belanda di Belanda

Bahasa Petjuk sebagai Bahasa Belanda versi Masyarakat Pribumi Indonesia pada Masa Kolonial
Bahasa Belanda awalnya dibawa oleh para pedagang dari Belanda yang berlayar di kepulauan Indonesia untuk melakukan transaksi dengan penduduk pribumi. Para pedagang Belanda sudah mulai melakukan perdagangan sejak tahun 1595 di Banten dan Sunda Kelapa (Poesponegoro, Dkk., 2009:29), maka dapat dipastikan pula bahwa pada tahun tersebut para pedagang Belanda telah melakukan interaksi dengan penduduk pribumi khususnya tokoh masyarakatnya.

Penggunaan bahasa Belanda di kalangan pribumi meluas ketika dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dalam melakukan kegiatan belajar. Pendidikan di Indonesia sudah dibuka sejak abad ke-18 dimana pada abad tersebut kegiatan pendidikan baru bersifat individu atau perseorangan. Pada abad ke-19 sistem pendidikan diubah menjadi klasikal atau berkelompok. Namun, pendidikan menggunakan bahasa Belanda baru dimulai di abad ke-20 setelah ditetapkannya politik etis (Agung dan Suparman, 2012:22).

Politik etis adalah  salah satu upaya untuk menyejahterakan rakyat Indonesia sebagai salah satu bentuk kritik terhadap perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia secara semena-mena dan merugikan rakyat Indonesia baik secara ekonomi maupun sosial. Politik ini bertujuan untuk mengadakan desentralisasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat salah satunya melalui pendidikan (Poesponegoro, Dkk., 2009:22).

Pendidikan yang dikembangkan di Indonesia berjenjang. Namun, hanya anak-anak dari golongan bangsawan saja yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak dari golongan bangsawan memiliki hak istimewa untuk bersekolah di Sekolah Belanda untuk kemudian dapat melanjutkannya ke Sekolah Dokter Java atau Sekolah Pamong Praja. Tentunya, dalam jenis sekolah semacam itu bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda.

Meluasnya penggunaan bahasa Belanda ke kalangan masyarakat yang lebih rendah muncul ketika masyarakat tersebut meminta untuk diberikan kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial menerapkan rencana untuk memasukkan bahasa Belanda dalam pembelajaran di Sekolah Kelas 1 untuk masyarakat dari golongan bawah pada tahun 1907. Pelajaran bahasa Belanda diberikan kepada siswa di kelas III hingga kelas VI oleh seorang guru dari bangsa Belanda (Agung dan Suparman, 2012:24).

Pada interaksi sosial antara kaum-kaum remaja yang mengenyam pendidikan Belanda, mereka lebih terbiasa terbuka dan menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan bahasa daerah dianggap tidak relevan dalam kegiatan-kegiatan formal seperti dalam forum pembelajaran. Bahkan penggunaan bahasa Belanda pun juga dilakukan pada kegiatan-kegiatan informal sebagai lambang intelektualitas mereka (Soekiman, 2011:37).

Pendidikan penggunaan bahasa Belanda kemudian meluas pada kehidupan sosial masyarakat pribumi. Bahkan untuk golongan masyarakat yang bekerja sebagai seorang pelayan atau pesuruh dengan seorang Belanda sebagai majikan mereka, mereka pun pada akhirnya memahami penggunaan bahasa Belanda. Meski secara dialek atau pengucapan, bahasa Belanda yang dituturkan oleh mereka tidak sama persis dengan dialek atau pengucapan orang Belanda asli. Penggunaan bahasa Belanda di kalangan pribumi mencapai 5.000 orang dan 75% di antaranya merupakan orang Jawa. Suratno (2013:29 dan 102) mengatakan,
Orientasi pribumi terhadap bahasa Belanda dapat dibedakan dalam beberapa kategori. Pertama, dilihat dari wujud bahasa Belanda, pribumi (a) meniru dengan menggunakan kosa kata bahasa Belanda secara utuh, termasuk peniruan bahasa yang tidak sempurna, dan (b) melakukan penyesuaian dengan sistem bahasa Jawa. Kedua, dilihat dari corak pemakaian bahasa Belanda oleh pribumi, penggunaan bahasa Belanda pada orang Jawa dapat dibedakan atas (a) pemakaian kosa kata yang bersifat praktis (lazim) oleh pribumi pengajaran atau priyayi modern, (b) pemakaian kata sapaan Belanda, (c) pemakaian bahasa Belanda dalam komunikasi keseharian, dan (d) pemakaian bahasa Belanda dalam komunikasi tidak langsung.

Dalam melakukan percakapan sehari-hari antara masyarakat pribumi pun terkadang juga menggunakan bahasa Belanda yang sudah bercampur dengan bahasa lokal. Soekiman (2011:22-24) menyebutkan bahwa sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20 sudah ada pembauran antara bahasa Melayu dengan bahasa Belanda. Pembauran bahasa ini dimulai dari bahasa yang digunakan oleh keluarga dari golongan pegawai-pegawai pemerintah Belanda dalam komunikasi sehari-hari kemudian turut digunakan pula oleh golongan masyarakat Indo-Belanda. Awalnya, bahasa ini berkembang di Batavia kemudian menyebar hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses pembauran ini kemudian memunculkan istilah bahasa Pijin atau bahasa campuran yang biasanya digunakan oleh orang-orang Belanda yang memiliki ibu dari suku Jawa, atau orang-orang turunan China, dan Timur Asing.

Percampuran bahasa di  Jawa disebut dengan bahasa Pecuk (Petjoek) yang umum digunakan di daerah Semarang dan sekitarnya sebelum masa Perang Dunia II. Namun, terdapat perbedaan penggunaan bahasa Pecuk di daerah-daerah di pulau Jawa. Misalnya, di Batavia penggunaan bahasa Pecuk mengandung unsur bahasa Melayu dan Cina, di Bandung mengandung unsur bahasa Sunda, di Surabaya mengandung unsur bahasa Jawa dan Madura.

Bahasa Pecuk umumnya digunakan oleh golongan dari kelas bawah atau golongan masyarakat berdarah campuran Indo-Belanda atau bahkan oleh masyarakat Belanda yang terbuang dari golongannya. Meski bahasa ini terkenal sebagai bahasa untuk kaum kelas bawah, bahasa ini juga populer di kalangan kaum kelas atas. Namun, ada larangan keras bagi golongan kelas atas untuk menggunakan bahasa Pecuk dalam komunikasi di dalam rumah karena dianggap tidak sopan atau hina. Ketidaksesuaian penggunaan bahasa Pecuk di lingkungan keluarga golongan atas didasarkan pada sebuah anggapan bahwa bahasa Pecuk adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat dari kulit berwarna dimana masyarakat tersebut dalam stratifikasi sosialnya berada di kalangan lebih rendah dari golongan masyarakat kulit putih (Eropa). Berikut ini adalah contoh percakapan dalam bahasa Pecuk yang dikutip dari Het Javindo, De Verboden Taal karya De Gruiter (dalam Soekiman, 2011:25).


KESIMPULAN
            Bahasa Belanda adalah salah satu anak bahasa yang berasal dari salah satu induk bahasa yang terbesar di dunia yaitu Indo-Eropa yang tersebar di hampir seluruh benua Eropa. Sebagai anak bahasa yang serumpun dengan bahasa yang lain seperti bahasa Jerman dan bahasa Inggris, bahasa Belanda memiliki kemiripan karakter dengan keduanya khususnya bahasa Jerman. Di beberapa daerah di Belanda, bahasa Belanda pun memiliki dialek-dialek yang berbeda. Tidak hanya itu, dalam sejarahnya bahasa Belanda mengalami beberapa perkembangan antara lain Old Dutch, Middle Dutch, dan Dutch yang digunakan pada masa kini. Perkembangan selanjutnya di Indonesia adalah penggunaan kata serapan bahasa Belanda yang begitu banyak dan masih digunakan dalam percakapan sehari-hari di Indonesia. Pada masa penjelajahan samudera untuk mendapatkan rempah-rempah, bangsa-bangsa Belanda kemudian berlayar hingga ke kepulauan Nusantara. Mereka membawa serta pengaruh bahasa mereka yang kemudian diajarkan secara luas kepada golongan bangsawan di bangku pendidika. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa kaum pribumi dari kalangan bawah pun dapat berbahasa Belanda, hanya saja diucapkan sesuai pelafalan bahasa daerah. Percampuran bahasa Belanda dan bahasa daerah, khususnya Jawa, kemudian disebut sebagai Bahasa Petjuk. Pengaruh bahasa Belanda dalam kehidupan sosial masyarakat pribumi pada masa kolonial pun cukup besar.

DAFTAR RUJUKAN
Agung, Leo. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Beekes, Robert, S. P. 2011. Comparative Indo-European Lingusitic An Introduction. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.
Chapman, Malcolm. 1992. The Celts: The Construction of a Myth. Great Brittain: The Macmillan Press LTD. Dari LinkSpringer, (Online) http://link.springer.com/chapter/10.1057/9780230378650_2#page-1, diakses pada 20 September 2016.
Heeringa, Wilbert. Nerbonne, John. 2002. Dialect Areas and Dialect Continua. Cambridge University Press, (Online), 13(2001): 375-400 (http://search.proquest.com/results/588F53A04BD74ADFPQ/1?accountid=38628) diakses pada 25 September 2016.
Honthorst, Albert van. Novia, Windy. 2010. Kamus Praktis Belanda-Indonesia Indonesia-Belanda. Surabaya: Kashiko Publisher.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Dkk., 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
___________. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Puspaningtyas, Lida. Nursalikah, Ani. 2015. Terpetakan! Jumlah Populasi Bahasa di Seluruh Dunia, Dimana Posisi Indonesia? (Online) http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/12/29/o02mbk366-terpetakan-jumlah-bahasa-di-seluruh-dunia-dimana-posisi-indonesia diakses pada 20 September 2016.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suratno, Pardi. 2013. Masyarakat Jawa & Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Penerbit Adi Wacana.
Wikipedia. 2016. Rumpun Bahasa, (Online) https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:IndoEuropeanTree.svg diakses pada 20 September 2016.
_________. 2016. Old Dutch, (Online) https://en.wikipedia.org/wiki/Old_Dutch#Relation_to_Middle_Dutch diakses pada 20 September 2016.
Willems, Matthieu., Dkk., 2016. Using Hybridization Networks to Refrace the Evolution of Indo-European Languages. BMC Evolutionary Biology. Dari Bookmetrix, (Online) http://www.bookmetrix.com/detail/chapter/3e5226bc-686e-4b0e-81c9-1ff165e49ada#citations, diakses pada 20 September 2016.

6 komentar:

  1. Terimakasih telah berbagi, Wara.
    Ini sangat berguna!

    BalasHapus
  2. ini bagus banget dan berguna. sayangnya tidak ada bentuk word/pdf nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bentuk word/pdf tidak untuk saya bagikan. Terima kasih sudah meluangkan waktu unt membaca catatan saya :)

      Hapus
  3. bagaimana dengan bahasa javindo? seperti apa contoh kosa katanya? apakah berbeda dgn bhs petjok?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya baru dengar ada istilah bahasa Javindo, coba saya cari-cari infonya lagi. Jika anda punya informasi lebih, boleh dibagi di sini.. terima kasih 😊

      Hapus