Di sinilah aku. Di sudut
kamar, dengan sebuah laptop yang batrainya tinggal separuh, dan perasaan cemas
yang mendera sejak pagi-pagi buta tadi.
Hari belum cukup malam.
Tapi rasanya mataku sudah berat dan aku lelah. Kalau saja bukan karena aku
sedang gelisah dan ingin menulis di sini, aku tidak akan menghabiskan sisa-sisa
daya batrai laptopku untuk mengetik setidaknya satu atau dua halaman.
Ini tentang Ayahku.
Untuk mengetik tiga kata
itu rasanya aku sudah ingin menangis lagi. Padahal bengkak kelopak mataku belum
sembuh akibat menangis siang tadi.
Catatan ini kudedikasikan
untuk Ayah. Untuk seorang Superman keluarga. Sosok pemimpin yang penuh kasih,
penuh rasa ikhlas, dan pejuang yang tak pernah mengenal letih.
Melihat betapa aku
sering—secara diam-diam—membanggakan Ayah di belakangnya, kurasa sudah banyak
yang tahu bahwa aku begitu dekat dengannya. Ketika aku masih kecil aku begitu
dekat dengan Ayah. Bukan berarti sekarang sudah tidak dekat. Kedekatan kami
berbeda tergantung usia dan kedewasaan.
Aku ingin mengenalkan sosok
seorang Ayah bagiku.
Ayah adalah seorang
laki-laki yang penuh kasih. Rasa sayangnya untuk anak-anaknya begitu berlimpah.
Ketika aku masih kecil, aku masih ingat betul bahwa Ayah sering membacakan
dongeng untukku sebelum tidur. Dan ketika Ayah akan berangkat ke kantor Ayah
juga selalu bertanya padaku, “Mau dibelikan apa?”
Saat itu, sebagai seorang
anak permintaanku macam-macam. Dan hampir seluruhnya tentang makanan. Kalau
bukan es krim, cokelat, atau keju.
Ayah tidak pernah melanggar
janjinya. Ketika Ayah pulang dari kantor Ayah selalu membawakan pesananku. Ayah
juga sering membawakan aku buku cerita dan malamnya ia akan membacakan dongeng
dari buku itu untukku. Sesekali Ayah menggambarkan ilustrasi dongeng padaku.
Aku masih ingat betul bagaimana cara Ayah menggambar pohon untukku di selembar
kertas.
Terkadang Ayah juga
memanjakanku dengan berbagai kaset-kaset VCD tentang Tom & Jerry, Saras
008, atau Winnie The Pooh. Pokoknya, masa kecilku begitu sempurna bukan hanya
karena Ibu tetapi juga karena Ayah.
Begitu aku memiliki adik,
Ayah juga menyayangi adik-adikku sama sepertiku. Bedanya, Ayah mulai jarang
menanyakan pesanan kepada adik-adikku ketika akan berangkat ke kantor. Tapi
bukan berarti Ayah pilih kasih. Ayah menyayangi kami dengan caranya sendiri.
Ketika aku beranjak dewasa,
aku merasakan mulai jarang bercanda dengan Ayah. Kami jarang mengobrol dalam
waktu yang lama seperti saat kami menghabiskan waktu menjelang tidur dengan
sepenggal dongeng. Hingga sampai aku terkadang perlu memikirkan topik apa yang
ingin kubicarakan dengan Ayah ketika kami sedang duduk berdua. Bahkan meski
hanya duduk berdua dalam diam dengan Ayah, rasanya sudah begitu menenangkan.
Ketika aku dewasa, Ayah
menghabiskan waktu bercandanya dengan adikku yang laki-laki. Kemudian ketika
adik bungsuku yang perempuan lahir Ayah menghabiskan waktu bercanda dengannya.
Hingga sekarang di usia Ayah yang sudah tak muda lagi.
Saat-saat Ayah bercanda
dengan adik bungsuku adalah saat-saat yang aku dan adik laki-lakiku tunggu.
Karena suasana yang hidup, cair, dan menyenangkan tidak hanya Ayah bagi dengan
adik bungsuku saja. Tetapi juga dengan kami.
Ayah tidak pernah
sedikitpun mengurangi rasa sayangnya pada aku dan adik-adikku. Sebaliknya,
Ayah—sering kurasakan—menyayangi kami dengan bermacam cara.
Meskipun aku sudah bukan
Daddy’s Little Girl lagi dan sudah beranjak dewasa, aku tahu Ayah selalu
mendukung setiap cita-cita dan keinginanku. Meskipun Ayah, secara waktu harus
berbagi dengan pekerjaan yang semakin menumpuk, aku tahu Ayah telah
mempersiapkan segala hal untukku nanti di masa depan.
Ayah sendiri yang
mengatakan, “Kamu tenang saja. Ayah sudah mempersiapkan banyak hal untuk masa
depanmu nanti.”
Barangkali secara
finansial, Ayah sudah tidak seperti dulu lagi. Karena harus berbagi dengan
kebutuhan-kebutuhan lain yang semakin banyak. Tapi bagiku itu tidak masalah.
Ayah tidak pernah menyayangiku dengan memberikan materi yang berlimpah. Tapi
rasa sayangnya padaku kurasakan benar-benar luar biasa.
Dengan adik laki-lakiku,
Ayah juga sangat menyayanginya. Aku tahu ayah selalu membanggakan adik
laki-lakiku yang setangguh Ayahku. Ayah membawanya bertemu dengan
teman-temannya, mengenalkan adik laki-lakiku pada mereka, dan mengajak adikku
melakukan hobi yang sama.
Dengan adik perempuanku,
Ayah lebih sering menghabiskan waktu untuk menggodanya sampai adikku jengkel.
Terkadang Ayah juga masih menemaninya tidur ketika adik perempuanku tak bisa
tidur. Sering kulihat Ayah dan adik perempuanku bercanda dengan saling menggoda
satu sama lain. Melihat itu rasanya Ayahku tak pernah menua.
Ayah adalah orang yang
baik, Sangat baik. Ia tidak akan segan-segan membantu orang lain yang
membutuhkan. Ayah bisa mengusahakan banyak hal hanya untuk meringankan beban
orang lain. Dan karena itu pula banyak orang yang sangat menyegani dan
menyayangi Ayah.
Ayah juga sosok pekerja
keras. Darinya aku benar-benar tahu apa itu arti ‘maju terus pantang mundur’.
Jika Ayah menghendaki sesuatu, ia akan berusaha dan mengejarnya sampai dapat.
Selelah apapun Ayah, sesibuk apapun ia, Ayah selalu berusaha untuk
menyelesaikan pekerjaannnya sebaik mungkin. Dan tak jarang pula kerja kerasnya
selalu membuahkan hasil yang membanggakan.
Tetapi, semakin tinggi
pohon semakin kuat angin menggoyangkan dahannya.
Sebagai seseorang yang
telah mendapatkan kesuksesan satu per satu, tak sedikit juga yang iri pada
Ayah. Aku memang tidak pernah tahu atau mendengar secara langsung dari Ayah.
Tapi aku jelas melihat bahwa Ayah kerap gelisah karena ada beberapa masalah
yang menderanya. Aku tahu betul bahwa Ayah lelah, Ayah ingin sejenak
beristirahat, tapi Ayah belum ingin memulainya. Ayah masih ingin berjuang.
Meski perjuangannya kerap kali tak berjalan mulus.
Ada saja kendalanya. Ada
saja orang yang berusaha menghalangi upaya baiknya.
Sempat aku berpikir, kurang
menderita bagaimana Ayahku ini. Perjuangannya selalu kurasakan berdarah-darah,
meski hasilnya tak pernah mengecewakan, tapi rintangan yang Ayah hadapi
terlihat begitu besar. Begitu memberatkan langkahnya. Tiap langkah Ayah sepertinya
terdapat halangan.
Tapi Ayahku hebat. Ayahku
mampu bertahan dan berusaha melewati rintangan itu.
Aku bersyukur mempunyai
ayah seperti Ayah. Aku bersyukur, seberapa banyak orang yang tidak menyukai
Ayah, masih ada banyak orang yang menyayangi dan mendukungnya. Aku selalu
menyayangi Ayah meski aku tahu sebesar apapun rasa sayangku aku tak pernah
mengucapkannya secara langsung di depan Ayah. Aku memang pengecut. Hanya berani
mengungkapkan permintaan maaf, terima kasih, dan rasa sayang melalui tulisan
secara diam-diam.
Ayah, maaf jika aku masih
belum bisa membuat Ayah bangga. Maaf belum bisa menjadi orang yang sukses untuk
Ayah. Jaga kesehatan terus, ya, Ayah. Biar Ayah bisa memantau kerja keras
anak-anak Ayah menjadi orang yang sukses untuk Ayah.
Terima kasih atas rasa
sayang yang tak pernah luntur sedikitpun pada kami. Terima kasih atas kerja
keras Ayah demi kami. Terima kasih atas nasihat dan dukungan Ayah. Ayah adalah
seorang ayah yang berhasil di mata kami.
Tetap kuat, ya, Ayah.
Jangan pernah menyerah. Ada kami yang selalu mendukung ayah. Kami siap menjaga
Ayah karena kami semua sayang Ayah.
Tulungagung,
7 Juni 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar