Jumat, 17 Juni 2016

Cita-cita Berratus Tahun



Tulungagung,
17 Juni 2016

Sebuah pagi yang normal sejak kehidupanku tumbuh di sini seumur hidup. Meski dalam dua tahun terakhir ini aku mulai merantau ke kota lain sebagai seorang pelajar. Teriakan-teriakan adik sepupuku, kebutuhan ibuku untuk banyak berbicara dengan suara tinggi, dan suara-suara ribut lain semacam suara televisi atau peralatan memasak yang beradu satu sama lain. Kehidupan di rumah ini praktis tak pernah sunyi, bahkan sebelum memasuki waktu-waktu tidur di malam hari.

Aku bukan termasuk tipe orang yang tenang dalam keramaian. Di tengah-tengah segala keruwetan semacam kesalahan memasukkan bumbu dalam masakan, atau air mendidih yang terlalu lama karena kompor lupa dimatikan, atau tangisan anak-anak kecil yang banyak maunya. Aku tidak menyukai keramaian dan keruwetan semacam itu.

Aku merasa bahwa hidupku yang ideal adalah di tengah-tengah sebuah padang rumput luas di atas tebing yang menghadap laut. Dengan jarak dari kota yang tidak terlalu jauh, tetapi juga tidak cukup dekat. Segerombolan domba atau kuda liar merumput di sudut-sudut padang yang luas, dengan punggung-punggung perbukitan menjadi latarnya. Suara yang kudengar hanyalah debur ombak puluhan meter di bawah tebing dan semilir angin dingin yang menepuk-nepuk pipiku. Dan di setiap sorenya aku akan duduk di teras rumahku, bercengkerama dengan seseorang, sambil menanti matahari terbenam melebarkan lari-larik cahaya oranye kemerahannya sepanjang horizon.

Tapi, meski rumah ini ributnya minta ampun, sampai terkadang aku ingin menikmati waktuku sejenak dengan diam-diam menyelinap keluar, tempat ini adalah satu-satunya hal yang membuatku rindu meski sejauh apa aku nantinya melancong. Tidak hanya tempat ini, tetapi juga orang-orangnya.

Sebenarnya, inti dari catatanku bukanlah tentang dimana aku lebih cocok untuk tinggal dan dalam suasana seperti apa. Paragraf-paragraf sebelumnya hanyalah suasana yang sedang kurasakan ketika aku mengetik catatan ini. Dan aku hanya sedang ingin menuliskannya.

Sesuai dengan judulnya, kali ini aku akan membahas tentang cita-cita.

Catatan ini adalah sequel dari catatan lamaku berjudul “Mimpi Berjuta Tahun” yang kuposting di Facebook dan Wattpad. Kalian bisa membacanya dengan meng-klik halaman ini https://www.wattpad.com/165286702-mimpi-berjuta-tahun.

Kali ini aku tidak menggunakan “Mimpi” sebagai awal judul. Aku sudah membuktikan bahwa itu hanyalah mimpi karena aku tak pernah terbangun dan mewujudkannya. Mimpi selamanya akan menjadi mimpi. Maka, aku menggunakan “Cita-cita” dalam judul ini. Karena menurutku untuk bercita-cita kita tidak perlu tertidur untuk menyusunnya. Sebuah tindakan yang terkadang kita lupa sudah tertidur beberapa jam, dan ketika bangun sudah banyak hal yang terlewat. Sebuah mimpi bahkan akan terhapus dari daya ingat otak kita beberapa menit setelah kita terbangun. Tapi, sebuah cita-cita tidak akan mudah terhapus dan terlewat begitu saja layaknya mimpi. Cita-cita itu lebih terasa … nyata. Sebuah angan-angan yang berbeda dengan mimpi yang seringkali abstrak dan acak.



Aku akan mulai masuk ke dalam inti catatan.

Pernahkah kalian memiliki sebuah keinginan, sebuah cita-cita besar, yang ketika kalian membayangkannya terwujud segala hal di sekitar kalian seolah menguap dan hanya menyisakan tubuh kalian, pikiran kalian, dan visual-visual khayalan kalian sendiri?

Pernahkah kalian memiliki sebuah cita-cita yang sebegitu besarnya hingga membuat diri kalian gentar dengan perasaan tak menentu karena bahkan cita-cita itu lebih besar dari nyali kalian untuk meraihnya?

Pernahkah kalian secara tidak sengaja menemui suatu hal yang mengingatkan kalian pada cita-cita besar kalian sehingga muncul perasaan tersentuh dan tekad kuat seolah cita-cita besar itu semakin mendorong kalian untuk mewujudkannya?

Perasaan semacam: “Ya Tuhan, aku sudah lama memiliki sebuah cita-cita besar yang semakin lama semakin membuatku sesak karena aku tak tahu apakah aku bisa mewujudkannya suatu saat nanti.”

Aku pernah merasakan ketiga-tiganya. Bahkan hingga sekarang.

Terkahir aku merasa merinding dan sesak adalah ketika aku melihat seorang temanku memasang foto sebuah tulisan “Fakultas Ilmu Budaya UGM” di DP BBM-nya. Ya, tulisan itu yang membuatku merinding dan sesak karena aku gagal mewujudkannya untuk menjadi bagian dari fakultas tersebut. Menurutku, itu adalah kehancuran pertamaku. Dan aku menuliskannya secara rinci di catatanku “Mimpi Berjuta Tahun”.

Tapi, percayalah, Kawan. Cita-citamu belum cukup tinggi jika belum membuatmu gentar.

Setelah mimpiku selama jutaan tahun itu hancur di hari pengumuman penerimaan mahasiswa baru, aku menata ulang kembali cita-citaku. Sebuah cita-cita ratusan tahun yang tak kusadari bersembunyi dalam diriku, menanti saat-saat yang tepat untuk muncul kembali dalam anganku. Cita-cita itu kemudian muncul lagi baru-baru ini ketika aku memasuki saat-saat menjadi mahasiswi S1 di universitas negeri lain selain UGM.

Mengapa aku menyebutnya sebagai “Cita-cita Berratus Tahun”? Karena cita-cita besar ini umurnya lebih muda daripada “Mimpi Berjuta Tahun”ku. Cita-cita ini muncul ketika aku memasuki masa-masa SMA, sedangkan mimpi itu muncul sejak aku duduk di bangku SD.

Cita-cita ini sempat tersembunyi ke celah paling dalam di ingatanku ketika aku memasuki masa-masa harus berusaha keras untuk mewujudkan “Mimpi Berjuta Tahun”ku. Bahkan ketika mimpi itu luruh, hancur berkeping-keping, meleleh bagai mentega, sempat ada perasaan takut dalam diriku untuk memunculkan kembali cita-cita yang diam-diam masih kusembunyikan dalam diriku. Karena saat itu kuberpikir bahwa mimpi yang seharusnya lebih mudah terwujud saja gagal kuwujudkan, apalagi cita-cita yang—bagiku—cukup gila ini.

Hanya saja, perkara mudah tidaknya sebuah cita-cita itu terwujud berasal dari tekad diri sendiri dan ridho Allah. Aku baru menyadarinya belakangan.

Cita-citaku ini cukup gila. Cukup gila untuk ukuran seseorang yang belum memahami sejauh mana kemampuanku untuk mewujudkannya, butuh seberapa besar upaya dan pengorbanan, serta butuh waktu seberapa lama.

“Cita-cita Berratus Tahun” yang muncul kembali setelah sekian lama kuendapkan dalam angan-anganku sendiri adalah untuk mendapatkan beasiswa S2 ke Eropa.

Bukankah itu cukup gila jika dibandingkan dengan “Mimpi Berjuta Tahun”ku melanjutkan sekolah S1 di UGM?

Cita-cita gila itu muncul ketika seorang dosen muda mengajar di kelasku untuk pertama kali di tahun lalu. Ia adalah lulusan salah satu universitas di Sunderland, UK. Dosen muda ini sangat cerdas dan menyenangkan. Dan karena latar belakang pendidikannyalah, secara diam-diam cita-citaku yang sengaja kusembunyikan itu muncul lagi perlahan-lahan.

Di sisi lain, munculnya cita-cita ini adalah hasil kegalauanku karena gagal mewujudkan mimpiku. Aku sempat merasa kesal karena mimpiku itu gagal kuwujudkan. Jadi, aku bertekad untuk memiliki cita-cita yang lebih tinggi dan akan mati-matian kukejar hingga dapat.

Apakah semudah itu?

Tidak. Sesekali perasaan ragu dan takut itu muncul dalam diriku. Terkadang aku mengingatkan diriku sendiri, “Kamu terlalu banyak omong kosong, Wara. Bercita-citalah sesuai kemampuanmu.” Dan bukankah aku pernah mengatakan di catatanku sebelumnya bahwa aku “Cukup belajar untuk tidak mengharapkan sesuatu yang tak bisa kuukur dengan kemampuanku sendiri?”

Tapi percayalah. Cita-citaku untuk bisa ke Eropa semakin hari semakin mendesakku. Aku sempat menepis desakan itu dan hanya bisa berangan-angan tentang keajaiban dari Tuhan yang entah bagaimana caranya akan mengantarku begitu saja ke sana.

Kemudian aku tersadar bahwa Tuhan tidak akan menurunkan keajaibannya padaku jika aku tidak berusaha sendiri. Bagaimana Tuhan akan menuntunku jika aku bahkan tak berani melangkah sedikitpun?

Aku pun memutuskan untuk tidak begitu muluk-muluk dalam berharap. Aku memang tidak mau mengharapkan sesuatu yang tak bisa kuukur dengan kemampuanku sendiri. Aku cukup belajar dari kesalahanku yang pernah terlalu berambisi dan idealis.

Namun bukan berarti aku mengubur cita-citaku itu dalam-dalam lagi.

Tak pernah aku berniat menghancurkan cita-citaku bahkan sebelum aku bertempur mengejarnya. Aku akan tetap membiarkannya menggantung sejengkal dari ujung hidungku agar aku tahu kemana aku harus mengejarnya. Cita-cita ini masih mengikutiku dimanapun dan kapanpun, dan perasaan bimbang itu juga masih menghantuiku.

Aku sedang mempersiapkan segala hal untuk mengejar cita-citaku ini. Tetapi, aku juga tidak terlalu tinggi mengharapkannya. Karena semakin tinggi kau berharap, kenyataan buruknya akan menghajarmu dan menginjakmu ke tanah. Persis seperti yang pernah kurasakan. Aku tak mau perasaan hancur itu hadir lagi dalam hidupku.

Aku hanya berpikir bahwa, jika cita-cita ini semakin mendesakku dan menghantuiku itu artinya aku memang ditakdirkan untuk mewujudkannya entah dengan cara apa dan bagaimana Tuhan nanti membantuku. Untuk itu aku percaya dengan cita-citaku. Yang kulakukan hanyalah berusaha mempertahankan kepercayaanku tersebut dengan berusaha dan berdoa. Sedikit saja keyakinanku goyah, cita-cita ini akan luruh bahkan sebelum aku mengecup hasil akhir upayaku.

https://www.wattpad.com/165286702-mimpi-berjuta-tahun


Sebagai penutup catatan ini aku ingin menyampaikan bahwa satu-satunya kekuatanku untuk mempertahankan keyakinanku pada cita-citaku adalah kedua orang tuaku. Orang tua yang membesarkanku sebagai seorang perempuan yang berani bercita-cita tinggi. Aku sekarang paham mengapa aku harus tetap menjadi seseorang yang berani mempertahankan cita-cita besar yang gila ini. Karena aku tidak mewujudkannya untuk diriku sendiri, tetapi lebih dari itu, untuk kedua orang tuaku yang telah meniupkan keberanian pada diriku untuk bercita-cita. Sebuah cita-cita besar yang melebihi nyaliku sendiri.

Dengan diiringi sebuah lagu lama yang kuputar berkali-kali, dan getaran audionya yang semakin menganggu, aku akhiri catatanku ini. Semoga catatan ini bisa membuat kalian lebih berani menata ulang cita-cita lama kalian dan mempercayai cita-cita besar kalian sendiri. Karena aku juga percaya bahwa dalam hidup, keberanian yang pertama kali perlu diajarkan adalah keberanian untuk memiliki cita-cita. Selamat pagi dan sampai jumpa di catatan-catatanku selanjutnya J

Kamis, 09 Juni 2016

Do the Best & Let God Do the Rest

Selamat datang kembali di diary blog-ku. Untuk catatan kali ini aku sedang tidak ada ide untuk membahas beberapa opiniku. Suasana juga sedang tidak begitu gloomy, hujan juga tidak turun malam ini, jadi aku sedang tidak ingin menuliskan hal-hal yang galau.

Tapi, tunggu dulu. Biar kupikir-pikir lagi. Aku tidak yakin bahwa apa yang akan kutuliskan kali ini bukan sebuah kegalauan.

Well, actually aku sedang tidak galau. Aku hanya sedang ingin menulis dan kebetulan memang ada sesuatu yang ingin kutulis. Meski barangkali kalian tidak ingin tahu, tetapi siapa tahu jika apa yang kutulisan di sini pernah atau sedang kalian rasakan juga.

Tetapi sebelumnya kalian perlu tahu bahwa aku akan butuh waktu untuk memposting catatan ini. Bukan hanya karena jaringan internet untuk meng-upload file tidak begitu mendukung. Lebih karena aku agak sedikit ragu untuk mem-posting tulisan yang sedikit membahas tentang  Jodoh.

Yap. Catatanku malam ini akan menyinggung tentang jodoh.

So, bagi kalian para jomblo silahkan pasang wajah serius, baca catatan ini baik-baik, coba resapi apa yang sedang kalian baca, dan jika bersedia silahkan tinggalkan komentar di kolom di bawah catatan ini. Lebih baik lagi jika kalian membaca dengan ditemani segelas cokelat hangat dan sedang meringkuk di atas sofa empuk dengan kaki tergantung di lengan sofa.

Sudah berada dalam posisi yang nyaman untuk membaca? Baiklah. Mari kita mulai.

Aku akan mulai masuk ke inti catatan dengan memberitahu kalian bahwa sebenarnya catatan ini menetas dari hasil beberapa kali aku mendapat nasehat, pancingan obrolan, dan pertanyaan seputar calon pendamping masa depan.

Firstly, I would like to say Oh my gosh Im still 20!

(Baru saja typo mengetik 20 menjadi 33 -_- )

Believe me Im still 20 years old like I ever said on my previous notes.

Sebenarnya, obrolan colongan dan celetukan-celetukan iseng mengenai calon pendamping masa depan ini sudah berlangsung sejak lama. Awalnya memang hanya celetukan-celetukan iseng seperti ketika sedang menonton televisi dengan Ibu, kemudian ada aktor ganteng yang berkarisma, celetukan iseng itu muncul. Jodoh kamu tuh harusnya ganteng kayak gitu! kata Ibu. Atau Menantu ideal bukan, Bu? tanyaku dengan senyum jahil dan melirik Ibuku.

Tapi sejauh itu kami hanya bercanda. Tidak benar-benar serius memikirkan tentang calon pendampingku atau calon menantu ibuku. Memang benar sesekali ibuku bercanda minta menantu bule lah apa lah tapi itu hanya sebatas bercandaan. Karena menurutku umurku baru 20 tahun dan ada hal lain yang lebih penting untuk kupikirkan selain mengenai calon pendamping.

Hhh Dari tadi ngomongin calon pendamping terlalu aneh nggak, sih? Bagaimana kalau kita sebut, secara frontal, calon suami? Tapi, kok, rasanya geli ya sudah ngomongin calon suami di umur segini? Hahaha.

Pikiran-pikiran tidak serius mengenai calon suami tadi itu kemudian mulai menggelitikku ketika kemarin, ketika aku menemani Tante yang kupanggil Momi ke luar kota, Momi mengajakku membahas mengenai umur berapakah aku SEHARUSNYA sudah menikah?

Pembahasan mengenai umur menikah ini muncul setelah kami membahas tentang kehendak Tuhan dan tentang Jodoh mah emang nggak bisa dikira-kira. Tahu-tahu klik gitu aja. Aku sendiri lupa bagaimana ceritanya sampai kami membahas tentang jodoh waktu itu. Yang jelas, obrolan pertama kali topiknya bukan itu. Obrolan kami mengalir begitu saja dengan topik yang berganti-ganti hanya untuk membunuh kesunyian di perjalanan.

Jadi, kurang lebih pembicaraan kami kemarin semacam ini:

Momi: Makanya, Mbak, mulai sekarang itu semuanya harus ditata.

Aku: Semuanya? Apanya, Mom?

Momi: Ya, masa depanmu. Seenggaknya kamu umur 25 itu harus sudah menikah. Yah, 23 tahun juga sudah boleh, sih. Idealnya segitu.

Aku: (Tersedak es teh sisa takjil buka puasa) 25 tahun? Mom, aku umur segitu sudah jadi apa? 23 tahun apa lagi. Baru setahun lulus kuliah itu mah. Syukur-syukur kalau lulus kuliah langsung dapat kerjaan.

Momi: Lha, terus kamu mau menikah umur berapa?

Aku: Ya  27 tahun lah maksimal. Kan aku juga banyak tanggungan buat sekolah lagi, karir, biayain adek-adek.

Momi: 27?! Heh, itu terlalu tua! 25 tahun aja bagi Momi udah terlalu tua. Kalau kamu umur 27 baru menikah kamu mau punya anak umur berapa?

Aku: Hahaha  Mom, kok jadi ngomongi pernikahan sekarang, sih? Pacar juga lagi belum ada.

Momi: Ngomongnya jangan gitu, Mbak. Ya kamu berdoa dong mulai sekarang biar dikasih jodoh yang sesuai, dilancarkan semua usahanya, diberi kesuksesan. Gitu. Kalau kamu udah dapat jodoh sebelum umur 25 tahun ya nggak apa-apa, kan?

Obrolan itu berakhir ketika aku mengangguk mengiyakan ucapan Momi.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir nasehat Momi emang bener juga. Kita tidak bisa menetapkan semua hal dalam hidup termasuk mau umur berapa kita menikah, mau jodoh yang seperti apa, dan mau sukses yang seperti apa. Semuanya ketentuan Tuhan dan kita, sebagai manusia, hanya bisa merencanakan dan berdoa untuk mendapat yang terbaik. Terbaik versi Tuhan pasti lebih baik dari terbaik versinya kita.

Aku terbiasa memberi target dalam hidupku. Dan setiap targetku biasanya kupatok dengan usia. Seperti umur berapa aku harus lulus kuliah, umur berapa aku harus bekerja, umur berapa aku harus menikmati masa-masa menjadi seorang perempuan lajang yang sukses, umur berapa aku harus menikah, sampai umur berapa aku punya anak.

Tidak hanya target usia. Aku juga memiliki target tentang apa yang harus aku capai di masaku menjadi seorang perempuan lajang yang sukses. Misalnya, travelling ke Eropa. Atau target tentang apa yang harus aku lakukan setelah lulus kuliah, yaitu menjadi relawan pendidikan di daerah terpencil di Indonesia.

Dan semua itu hanya target. Hanya target.

Aku butuh target untuk menuntun diriku sendiri melangkah dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Dan setiap targetku harus jelas. Tidak boleh samar-samar. Target yang jelas membantuku lebih mantab mengambil keputusan. Misalnya, targetku dalam waktu dekat ini adalah menjadi relawan. Maka secara mantab keputusan yang kuambil adalah berusaha sebaik mungkin agar menjadi lulusan yang mumpuni sehingga keinginanku tercapai.

Aku tidak suka berjalan tanpa rencana karena aku cenderung sedia payung sebelum hujan. Setiap target yang kumiliki merupakan sebuah rencana yang sudah kupikirkan matang-matang apa resikonya dan apa yang harus kupersiapkan untuk menghadapi resiko tersebut. Bagiku, berjalan tanpa rencana sama saja seperti menyeberang jalan raya tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memeriksa kendaraan yang akan lewat. Aku tidak bisa dan tidak terbiasa jatuh ke dalam resiko tanpa ada persiapan sama sekali.

Kembali ke masalah jodoh dan umur pernikahan tadi.

Aku memilih umur 25 tahun sebagai umur minimal pernikahan dan umur 27 tahun sebagai umur maksimal pun ada alasannya. Umur 25 tahun memang umur ideal untuk menikah baik secara biologis dan psikologis. Itu sebabnya aku memilihnya sebagai umur minimal. Selain itu karena dalam waktu 5 tahun mulai dari sekarang aku memiliki target lain yang menurutku sangat penting. Yaitu melanjutkan sekolah untuk gelar Master, mengejar karir, dan membiayai adik-adikku sekolah untuk membantu meringankan beban orang tua. Sedangkan alasanku memilih umur 27 tahun sebagai umur maksimal adalah karena aku berpikir bahwa di usiaku yang ke-27 tahun nanti aku berusaha mencapai dinamika hidup yang lebih stabil dimana karirku stabil, tanggungjawabku sebagi anak sulung sudah kulaksanakan setidaknya setengah jalan, dan aku sudah benar-benar puas merayakan masa-masa lajangku sebagai perempuan yang sukses.

Tapi sekali lagi, aku sebagai manusia hanya bisa merencanakan. Kehendak dan kendali tetap di tangan Tuhan. Bisa saja target-target yang kutata rapi dan rinci tadi ditukar oleh Tuhan dengan kehendaknya yang lebih baik. Dan kemungkinan semacam itulah yang kumaksud dengan sebuah resiko yang sudah kupersiapkan payungnya. Yaitu persiapan mental.

Sudah bukan waktunya lagi bagiku terlalu besar dalam memiliki ambisi yang ketika ambisi itu diubah Tuhan ke jalan lain aku akan merasa gagal dan menangisinya. Ini waktuku untuk membuka mata dan pemikiranku ke hal yang lebih luas lagi, seluas rahmat yang telah Tuhan persiapkan untukku.

Nasehat Momi sedikit banyak membuatku mempertimbangkan targetku mengenai usia. Barangkali menurutku umur 20 tahun terlalu muda untuk memikirkan tentang seorang calon pendamping. Tapi, aku menangkap inti dari obrolanku dengan Momi sebenarnya adalah di usiaku yang 20 tahun ini aku jangan hanya terfokus mengejar cita-cita dan karir, tapi juga harus fokus ke semua hal yang menyangkut masa depanku. Masa depanku tidak hanya seputar menjadi seorang relawan, wanita karir yang sukses, seorang kakak yang mampu menyekolahkan adik-adiknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, atau seorang anak yang berbakti pada orang tua. Tapi ada yang lebih penting dari itu yang akan kualami sekali seumur hidup dimana kebahagiaanku akan terasa semakin sempurna, yaitu ketika aku menemukan seseorang yang selalu mendukungku dan memahami segala cita-citaku. Seseorang yang akan menemaniku di sisa-sisa umurku. Seseorang yang akan melengkapi segala kebahagiaan yang kuperoleh selama ini. Dan seseorang semacam itu yang seharusnya juga kupikirkan mulai dari sekarang.

Hanya saja, aku tidak akan terlalu mati-matian mencari seseorang yang semacam itu tadi. Menurutku, untuk mendapatkan seseorang yang semacam itu aku harus lebih memantaskan diri. Menjadi pribadi yang baik dan menyenangkan. Aku yakin semakin baik dan menyenangkan kepribadian diri kita, akan semakin baik juga seseorang yang diberikan Tuhan pada kita.

Aku tidak akan terlalu mencari. Karena terkadang apa yang kita cari tidak bisa kita temukan, sedangkan apa yang kita diamkan dalam doa akan datang dengan sendirinya. Aku juga tidak akan terlalu memikirkan semua targetku karena semakin kupikirkan semakin membuatku pusing sendiri dengan berbagai kemungkinannya. Malah nantinya tidak akan menjadi kejutan yang manis. Biar saja semua diatur oleh Tuhan. Fokuslah untuk berusaha sebaik mungkin and let God do the rest (

Senin, 06 Juni 2016

Dua Kata Singkat yang Mengartikan Segalanya



Halo, semuanya. Senang sekali akhirnya aku bisa mendapatkan waktu yang tepat untuk menulis hal yang lebih serius di sini. Cuaca sedang begitu mendukung karena hujan rintik-rintik turun dan malam mulai menguasai hari. Aku menyukai suasana semacam ini karena selalu membuatku lebih banyak memikirkan sesuatu dan ujung-ujungnya aku mendapat ide untuk menulis.

Hujan baru saja berhenti dan aroma tanah basah yang berasal dari bakteri actinomycetes benar-benar menyegarkan. Dengan suhu yang lebih sejuk dari malam-malam kemarin, aku memutuskan untuk meringkuk di sudut kamar dan mulai mengetik.

Topik yang akan kubahas dalam tulisan ini sebenarnya sudah sejak lama ingin kutuliskan. Tapi seperti biasa aku selalu menunggu momen-momen sakral dimana tidak hanya jemariku yang gatal ingin segera mengetik dan otakku yang mulai menggerakkan gir-girnya untuk menyusun kata-kata, tapi lebih dari itu, aku harus mempersiapkan hati.

Yes. Aku menulis tidak hanya dengan otak, tangan, dan mataku. Tetapi juga hati. Aku selalu menulis dalam suasana yang sesuai dengan topik yang ingin kutuliskan. Hal ini membantuku untuk menyusun kalimat lebih ekspresif dan segala perasaanku benar-benar kucurahkan, tumpah ruah, dalam tulisanku ini.

Aku tidak akan menunda lebih lama lagi. Jadi, tulisanku kali ini adalah seputar pengalamanku menjadi tutor Bahasa Inggris untuk anak-anak dari kelas 2 SD sampai 5 SD.

Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang begitu penyayang pada anak-anak karena kenyataannya aku mudah kesal jika melihat anak-anak yang terlalu rewel dan menangis tak berhenti-henti. Aku cukup terganggu dengan suara-suara dan suasana yang terlalu ramai. Tapi, aku cukup tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak anak-anak dan beberapa isu atau peristiwa yang berkaitan dengan anak-anak. Entah itu tentang pendidikan, kesehatan, keamanan, atau yang lainnya.

Cerita ini bermula dari pengalamanku ketika kursus Bahasa Inggris sejak aku kelas 1 SD hingga 1 SMA. Awalnya, aku tidak tertarik dengan kursus ini dan aku kerap sekali mendapat nilai di bawah rata-rata. Sungguh. Aku tidak berbohong. Waktu itu aku bodoh sekali dalam urusan mempelajari bahasa asing. Beberapa hal yang menyebabkanku tidak tertarik adalah karena aku berada di dalam kelas yang aku sendiri tidak nyaman dengan anak-anak lain. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami materi sedikit demi sedikit karena aku mulai menyadari bahwa metode pengajaran yang digunakan guruku sangat membantuku. Lebih dari itu, aku mudah memahami materi tidak hanya karena aku menyukai cara mengajar guruku tersebut, tapi karena aku merasa bahwa sebagai guru ia begitu mempedulikan setiap anak didiknya.

Ketika aku mencapai akhir semester kelas 1 SMA, guruku mengumumkan bahwa kursus akan diliburkan sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Awalnya, aku cukup heran karena seharusnya kami belum mencapai hari libur. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa memang sudah tidak ada lagi yang perlu kami pelajari di tempat kursus ini karena semua materi sudah disampaikan.

Semua materi. Bayangkan berapa banyak materi yang diberikan pada kami, termasuk aku, setelah aku kursus selama 10 tahun.

Ketika aku kelas 2 SMA, guruku itu memintaku untuk membantunya meng-handle kelas. Maksudku, menjadi tutor untuk adik-adik kelasku. Aku segera mengiyakan semata-mata karena aku merasa berhutang budi pada guruku tersebut. Di sisi lain aku ragu apakah aku mampu menjadi seorang guru yang baik.

Saat-saat ketika aku mendapat training mengajar adalah saat yang sangat berat untukku. Hal tersebut berlanjut setidaknya sampai beberapa bulan kemudian. Karena aku merasa waktuku sebagai seorang remaja tersita hanya untuk mengajar anak-anak kecil yang cukup susah kuatur. Saat itu, dalam seminggu aku harus mengajar dua kelas yang dibagi menjadi empat pertemuan. Belum lagi jika aku harus diminta untuk mengajar kelas-kelas tambahan. Terkadang dalam seminggu aku harus mengajar sampai enam hari penuh. Meskipun dari kegiatan tersebut aku mendapat penghasilan sendiri, rasanya aku lelah karena waktuku bersama teman-temanku benar-benar berkurang banyak.

Aku sempat menangis dan mengatakan aku tidak mau mengajar lagi. Aku bahkan sempat mangkir dari tanggungjawab sampai harus ditegur berkali-kali oleh guruku. Tapi, ibuku selalu mendukungku dan menyemangatiku bahwa aku harus bisa melewati rasa ketidaknyamananku. Bahwa hasil yang baik akan kuperoleh semata-mata bukan dalam bentuk materi tapi lebih dari itu: Pengalaman yang berharga.

Seiring berjalannya waktu, ketika aku mencoba menjadi lebih bertanggungjawab dan menerima segalanya dengan hati ikhlas, aku mulai terbiasa. Anak-anak yang kudidik tidak lagi kuanggap menyebalkan. Meskipun tingkah mereka terkadang keterlaluan. Bayangkan, anak-anak yang saat itu sedang kuajar ada yang berlarian mengelilingi ruangan sambil berteriak, melompat ke atas meja, dan menggoda temannya yang lain sampai menangis. Awalnya, aku sempat tidak bisa bertindak apa-apa. Akhirnya, aku hanya mencoba menjadi lebih tegas setidaknya sampai mereka memperhatikan penjelasan dariku beberapa menit.

Aku, yang semula berniat akan menjadi seorang guru yang penuh kelembutan, berubah menjadi seorang guru yang cukup tegas. Atau bisa dikatakan galak? Aku tidak pernah memukul dan meneriaki mereka. Aku hanya turun tangan dengan mendekati mereka, menarik mereka ke tempat duduk masing-masing, menurunkan mereka ketika mereka mulai melompat ke atas meja, atau hanya terdiam sambil memandang mereka dengan pandangan yang bisa membuat mereka terdiam sementara. Ya, sementara. Tidak jarang pula aku harus memukul-mukul papan tulis dengan penghapus untuk mendapatkan perhatian mereka. Jika mereka sudah tidak bisa diatur, satu ancaman yang paling ampuh adalah memanggil guru senior yang mereka takuti.

Aku sempat merasa bahwa aku gagal menjadi seorang guru panutan yang lemah lembut dan baik hati. Tapi ternyata anak-anak ini cukup menyayangiku. Aku tahu ketika suatu saat aku tidak bisa mengajar karena ada keperluan lain, anak-anak ini diajar oleh guru pengganti. Dan mereka tidak tertarik. Mereka mencariku dan hanya ingin belajar denganku.

Kurasa itu salah satu alasan yang membuatku lama kelamaan mencintai profesiku sebagai tutor dan aku mencintai mereka. Selain itu, aku merasa menjadi sangat berguna dan dibutuhkan tidak hanya ketika mereka mencariku, tetapi karena mereka adalah anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang meskipun tingkahnya macam gasing, mereka memahami setiap penjelasan materi dariku.

Sayangnya, aku harus mengakhiri pembelajaran dan pertemuan dengan mereka tepat ketika aku mulai jatuh cinta dengan kegiatan itu. Saat itu adalah saat-saat ketika aku harus fokus belajar untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Yang awalnya aku mengajar dua kelas, akhirnya aku hanya bisa mengajar satu kelas. Dan ketika aku akan mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri tanggal 16 Juni 2014 lalu, aku benar-benar mengucapkan perpisahan dengan mereka.

Tidak ada perpisahan yang spesial dengan rangkaian ucapan terima kasih dan selamat tinggal dari murid-muridku. Anak-anak bandel yang cerdas dan lucu itu. Aku tidak pernah menerima ucapan selamat tinggal dari mereka dan aku juga tidak mengucapkan hal itu pada mereka. Aku hanya mengatakan bahwa untuk selanjutnya aku tidak bisa mengajar mereka lagi karena aku harus melanjutkan sekolah ke luar kota.

Mereka serempak berujar, “Yaaah, Miss …” dengan ekspresi memelas yang hingga saat ini sesekali masih kuingat secara tidak sengaja.

Dua kata singkat yang mengartikan segalanya.

Benar kata Andrea Hirata bahwa mata lebih terang dari pada apa yang diucapkan mulut. Mata mereka berbicara dan aku serasa sesak. Satu tahun bersama mereka, mengomeli mereka ketika mereka bersikap bandel, memberi mereka tepuk tangan dan senyum ketika mereka berhasil, dan tertawa bersama mereka.

Aku banyak menjelaskan hal pada mereka salah satunya adalah akan ada guru pengganti. Satu hal yang kupesankan pada mereka untuk tetap menjadi anak-anak yang aktif dan cerdas dan menghormati guru pengganti. Aku juga berjanji untuk datang kembali menemui mereka jika ada kesempatan.

Dan kesempatan itu kini hanya kudapatkan setahun sekali.

Setiap libur panjang semester yang mencapai tiga bulan lamanya aku menjadi tutor di tempatku mengajar lagi. Tetapi, aku sudah tidak mengajar mereka karena mereka berada di kelas baru dan bersama guru yang lain. Terahir aku berpisah dengan mereka, mereka masih kelas 3 SD. Ketika aku kembali tahun lalu mereka terlihat lebih tinggi dan dewasa, apalagi sekarang.

Setelah perpisahan selama kurang lebih dua tahun ini seingatku aku hanya sekali bertemu mereka dalam satu kelas. Itu pun bukan kelas yang kuajar. Senang sekali rasanya bisa bertemu mereka di kelas dan ketika mereka bersorak sambil melambaikan tangannya padaku dan meneriakkan namaku, “Miiiisssss ……!” dengan begitu kerasnya.

Sesekali aku masih bertemu salah satu dari mereka. Ada Khusnul yang cantik dan sedikit genit, ada Jessica yang cerewet dan genitnya minta ampun, ada Alif yang bandel tapi cerdas, ada Dino yang badannya mungil dan memiliki gigi seri semacam kelinci, ada Rendra yang sekecil Dino dan bandelnya juga minta ampun, ada Selly yang juga cerewet tapi ceria, ada Tasha yang bandelnya  sebelas dua belas dengan Jessica, ada Mayang yang begitu percaya diri.

Sayangnya, nama-nama lainnya aku sudah lupa. Tapi aku masih ingat betul wajah-wajah mereka dan karakter mereka masing-masing.

Ternyata, apa yang dikatakan ibuku benar. Aku mendapatkan hal yang lebih bernilai dari materi yaitu pengalaman yang berharga. Pengalamanku mengajar anak-anak selama kurang lebih setahun ini membantuku untuk menjadi lebih terbiasa berbicara di depan umum. Selain itu juga membantuku lebih lancar berbahasa Inggris.

Selain itu, aku menemukan satu hal lain. Bahwa aku mulai merasakan sebuah gairah aneh untuk ingin menjadi seorang pendidik. Yap. Aku merasakan bagaimana menjadi seorang guru yang bisa membaur dengan anak-anak didiknya dan betapa bangganya ketika anak-anak yang kudidik bisa berhasil. Sejauh aku merasakannya aku ternyata sangat menikmatinya. Ada perasaan sayang, bangga, dan puas yang bercampur dalam diriku ketika aku bersama anak-anak bandel yang cerdas dan lucu itu. Aku tidak lagi merasa ragu apakah aku mampu atau tidak menjadi seorang pendidik yang baik karena aku percaya bahwa sepanjang aku bahagia, murid-muridku bahagia, dan mereka berhasil aku merasa puas.





Untuk menutup catatan yang panjang ini, aku memiliki satu lagi kisah singkat mengenai pengalamanku mengajar seorang anak yang menderita autisme. Pengalaman ini terjadi sekitar minggu lalu ketika aku mengunjungi tempatku mengajar untuk just say hi ke guru-guruku. Meskipun niat aslinya adalah mengajukan diri untuk menjadi tutor lagi agar aku memiliki kegiatan sepanjang liburan.

Ketika aku sampai, guruku yang kupanggil Mam langsung menyodorkanku sebuah buku dan seorang murid. Ia memintaku untuk menggantikannya mengajar privat sore itu dan aku menyanggupi. Seorang murid itu bernama, sebut saja, Ruben. Nama aslinya aku sudah lupa (Benar. Aku memang payah menghapal nama orang). Pada saat aku mengatakan iya, Mam mewanti-wantiku, “He’s a smart and unique child,” dengan mata berbinar jahil. Awalnya aku tidak paham unique seperti apa yang ia maksud, tetapi tak lama kemudian aku paham.

Ruben menderita autisme. Ia memang cerdas dan berbahasa Inggris lebih baik dibandingkan anak-anak seusianya. Tetapi, ia juga seorang penderita disleksia dimana ia kesulitan menulis dan membaca. Aku memang tidak kerepotan untuk menanyakan beberapa hal dalam bahasa Inggris padanya, tetapi aku harus memberikan waktu ekstra untuk membantunya menulis dan membaca bahasa Inggris. Hingga waktu belajar yang satu jam tak terasa sudah hampir kelebihan 30 menit hanya untuk membahas 25 soal. Waktu sebanyak itu sebenarnya lebih kuhabiskan untuk membimbingnya menulis dan membaca.

Ketika pelajaran berakhir, aku sempat mengobrol dengan guruku yang lain yang kupanggil Sir. Sir bilang, “How was he? He’s smart and unique, isn’t he?” dengan cengirannya yang khas. Aku pun mengiyakan.

Cengiran Sir dengan cepat berubah menjadi binar keheranan. Ia mengatakan padaku bahwa Ruben tidak mudah berdekatan dengan orang lain. Sejauh ini, Ruben hanya mau berinteraksi dengan ibunya, saudaranya, Sir, dan Mam. Dan Sir heran bagaimana Ruben bisa mau kubimbing belajar bahasa Inggris. Aku pun juga tak tahu, sebenarnya.

Sir bercerita bahwa Ruben sangat menyukai segala hal tentang dinosaurus. Dan itu benar karena ia hapal semua jenis dinosaurus, makanannya, nama latinnya, dan beberapa bagian tubuhnya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari informasi tentang dinosaurus atau sekedar bermain dengan figure-figur dinosaurusnya.

Sayangnya, di sekolah, layaknya anak-anak penderita autisme yang kerap kali menarik diri dari lingkungan sosial dan teman-temannya, Ruben beberapa kali kena bully teman-temannya. Dan meskipun ia dibully, ia tidak pernah marah dan menangis. Ia hanya akan menyingkir dan menjauh dari teman-temannya kemudian bermain sendiri. Ia juga tidak suka mendapat tugas dari guru-gurunya. Satu-satunya orang yang bisa menyuruhnya mengerjakan tugas hanyalah Sir. Ia patuh sekali dengan Sir. Ia juga sangat rajin mengikuti kelas ketika waktu mata pelajaran bahasa Inggris. Tetapi untuk pelajaran lain, ia akan keluar kelas dan bermain sendiri.

Aku pun bertanya, “How could he move from first grade to second and the third grade like now if he never did his tasks?”

He helped by curriculum 2013,” jawab Sir.

Memang benar. Satu-satunya hal yang menolongnya hanyalah Kurikulum 2013 yang lebih menekankan karakter peserta didik dibandingkan kemampuan akademisnya.

Pengalamanku bertemu Ruben dan anak-anak cerdas lainnya benar-benar menyenangkan. Hingga saat ini aku selalu mencari kesempatan untuk bisa bersama anak-anak seperti mereka dan akan menguji diriku sendiri. Seberapa mampukah aku bersama mereka? Aku berharap kesempatan itu tidak akan berhenti sampai di sini saja, tetapi juga akan berkelanjutan.

Catatan ini benar-benar terlampau panjang. Terima kasih banyak untuk kalian yang bersedia membacanya sampai akhir. Sampai jumpa di catatan-catatanku selanjutnya J

Berjudi dengan Nasib



Pagi hari dengan cahaya matahari dan panasnya yang terik. Sebuah headset yang kupasang di telinga memperdengarkan lagu lama. Sebuah kipas angin dengan suara menggerungnya yang samar-samar. Lalat-lalat musim panas yang berterbangan di sekitar kaki. Dan suasana yang begitu membosankan.

Liburan yang terasa jauh dari kata normal.

Sudah ketigakalinya aku membuka Microsoft Word dan mengganti format margin, lalu menutup, dan membukanya lagi. Beberapa file tulisan di folder yang belum juga kuselesaikan kubuka dan kubaca tanpa ada niat untuk melanjutkannya.

Dan sekarang di sinilah aku. Sedang menulis sebuah catatan semacam diary.

Hari yang benar-benar membosankan dan sakit perut yang tak kunjung sembuh. Ugh, sepertinya aku harus ke kamar mandi lagi. Tunggu sebentar.


Sepuluh menit kemudian,

Aduh. Benar-benar bencana. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan di liburan ini. Selain mengunjungi taman hiburan sekitar dua minggu yang lalu, hiburanku saat liburan ini praktis tidak ada sama sekali. Mungkin hanya tayangan televisi, menonton film-film yang sudah kutonton sebelumnya, dan tidur.

Libur panjangku sudah berlangsung selama dua puluh hari dan aku tetap begini-begini saja. Segala hal menyenangkan yang ingin kulakukan untuk mengisi liburanku selalu berurusan dengan finansial. Jalan-jalan ke luar kota? Butuh finansial. Jalan-jalan ke luar negeri? Apa lagi. Aku benar-benar butuh suasana baru dan rasanya aku semacam terjangkit sebuah desakan besar untuk melihat dunia luar!

Sayangnya, sebagai seorang tutor Bahasa Inggris untuk anak-anak SD yang belum gajian begini aku benar-benar harus menghemat pengeluaran sampai ke titik darah penghabisan. Sebagai seorang penulis amatir yang tak berpenghasilan sama sekali apa lagi.

Sebenarnya aku tidak ingin mengeluh. Tapi kalian tahu kan bagaimana rasanya menghabiskan hari-hari liburmu tanpa melakukan apa pun yang membuat kalian bisa bersenang-senang sampai rasanya kalian begitu bahagia?

Dan sebenarnya lagi, aku bukannya tidak ada kegiatan sama sekali. Selain mengajar, aku juga harus mengasuh adik sepupuku yang aktifnya minta ampun. Tapi tetap saja rasanya aku ingin suasana yang berbeda.

Usiaku 20 tahun dan aku masih berada di tempat yang sama. Bertemu orang-orang yang sama. Dan belum mendapat pengalaman baru yang begitu menyenangkan.

Rasanya, aku ingin buru-buru menyelesaikan kuliahku dengan sebaik mungkin lalu segera keluar dari tempat ini. Dari pulau ini. Menuju ke tempat baru yang jauh dimana aku bisa bertemu orang-orang baru, budaya-budaya baru, dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang bisa kuceritakan di sini. Setidaknya, agar catatan-catatanku ini bisa lebih berkesan dan menghibur kalian.

Aku sudah beberapa kali berkata pada ibuku dan ayahku bahwa aku ingin mengunjungi banyak tempat sejauh apapun itu. Dan rasanya keinginan itu semakin mendesakku. Jika aku berada di sebuah ruangan, keinginan itu mendesakku dari berbagai arah dan aku semakin terjepit di pojok ruangan. Menunggu dinding yang menahan punggungku jebol lalu aku akan keluar.

Aku tahu hal tersebut memang butuh waktu dan masih banyak yang harus aku persiapkan. Dan bukannya aku tidak senang berada di tempat ini. Aku hanya merasa bosan dan butuh suasana baru.

Ayahku pernah berkata bahwa ia telah menyiapkan segala hal di sini untuk memberiku tempat mengembangkan diri. Tapi, aku bilang padanya bahwa aku ingin pergi ke tempat lain yang lebih jauh. Barangkali pengembangan diriku di sini dan di tempat lain itu akan berbeda. Dan ayahku mengizinkan.

Kerap kali kubayangkan bagaimana dunia luar itu. Bagaimana kehidupan masyarakat lain yang berbeda dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalku. Banyak pula rencana yang sudah kususun. Rasa ingin tahuku juga semakin besar seiring waktu. Segala jawaban memang tinggal menunggu waktu. Tapi rasanya aku benar-benar tidak sabar.

Aku juga kerap berpikir, barangkali jika aku menyisihkan tabunganku dan bermodal nekat aku akan benar-benar berangkat. Entah kemanapun tujuanku itu. Ke selatan, utara, barat, maupun timur. Tapi untuk melakukan persiapan itu modal nekat saja sama dengan bunuh diri. Setidaknya harus ada persiapan matang.

Satu hal yang sampai sekarang juga membuatku berpikir keras adalah bahwa perjalanan seperti apapun, meskipun itu hanya berjarak dekat, tetap membutuhkan biaya. Selain itu, aku juga belum tahu harus memulai dari mana.

Rencana A yang kumiliki sejauh ini adalah berusaha menyelesaikan studi dengan sebaik mungkin, mendaftarkan diri sebagai relawan untuk diletakkan di daerah terpencil, maka berangkatlah aku meninggalkan tempat lama. Menjadi relawan adalah rencana A-ku. Kemanapun nanti aku akan ditempatkan, selama aku keluar dari tempat lama dan mendapat kesempatan untuk bertemu orang-orang baru serta mendapat pengalaman baru, itu tidak masalah.

Hidup ini penuh perjudian. Aku menyadari bahwa seberapa banyak rencana yang kumiliki adalah perjudian dengan kesiapan mental adalah taruhannya. Jika rencana tersebut gagal maka aku kalah berjudi dengan nasib. Masalahnya aku tak pernah tahu seberapa besar taruhan yang harus kubayarkan untuk mengalahkan nasib yang menggagalkan rencanaku.

Kemudian secara tiba-tiba aku menyadari bahwa sejauh ini yang kumiliki hanyalah niat. Belum sedikitpun aku mengambil sebuah langkah karena ketakutan dengan perjudian tersebut. Bagaimana jika aku kalah? Bagaimana jika aku tidak sanggup menjalankan rencanaku? Bagaimana jika aku gugur di tengah usahaku sendiri? Seberapa kuat aku mampu melakukannya?

Tapi di samping itu aku tetap percaya bahwa aku akan keluar dari tempat ini. Entah tujuan pertama yang mana yang akan kukunjungi, aku mempercayakan bahwa bagaimanapun caranya dan bagaimana Tuhan mengarahkan nasibku, kelak aku akan berada di tempat yang baru. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain dan memenuhi keinginanku sendiri.

Barangkali yang kubutuhkan adalah menunggu waktu sedikit lebih lama lagi dan lebih bersabar. Dan yang paling penting dari itu semua, aku harus berani mengambil sebuah tindakan. Bukan begitu?

Baiklah. Mari kita lihat akan seberapa jauh aku mengambil tindakan sampai keinginanku benar-benar terkabul.