Tulungagung,
17
Juni 2016
Sebuah
pagi yang normal sejak kehidupanku tumbuh di sini seumur hidup. Meski dalam dua
tahun terakhir ini aku mulai merantau ke kota lain sebagai seorang pelajar.
Teriakan-teriakan adik sepupuku, kebutuhan ibuku untuk banyak berbicara dengan
suara tinggi, dan suara-suara ribut lain semacam suara televisi atau peralatan
memasak yang beradu satu sama lain. Kehidupan di rumah ini praktis tak pernah
sunyi, bahkan sebelum memasuki waktu-waktu tidur di malam hari.
Aku
bukan termasuk tipe orang yang tenang dalam keramaian. Di tengah-tengah segala
keruwetan semacam kesalahan memasukkan bumbu dalam masakan, atau air mendidih
yang terlalu lama karena kompor lupa dimatikan, atau tangisan anak-anak kecil
yang banyak maunya. Aku tidak menyukai keramaian dan keruwetan semacam itu.
Aku
merasa bahwa hidupku yang ideal adalah di tengah-tengah sebuah padang rumput
luas di atas tebing yang menghadap laut. Dengan jarak dari kota yang tidak
terlalu jauh, tetapi juga tidak cukup dekat. Segerombolan domba atau kuda liar
merumput di sudut-sudut padang yang luas, dengan punggung-punggung perbukitan
menjadi latarnya. Suara yang kudengar hanyalah debur ombak puluhan meter di
bawah tebing dan semilir angin dingin yang menepuk-nepuk pipiku. Dan di setiap
sorenya aku akan duduk di teras rumahku, bercengkerama dengan seseorang, sambil
menanti matahari terbenam melebarkan lari-larik cahaya oranye kemerahannya
sepanjang horizon.
Tapi,
meski rumah ini ributnya minta ampun, sampai terkadang aku ingin menikmati
waktuku sejenak dengan diam-diam menyelinap keluar, tempat ini adalah
satu-satunya hal yang membuatku rindu meski sejauh apa aku nantinya melancong.
Tidak hanya tempat ini, tetapi juga orang-orangnya.
Sebenarnya,
inti dari catatanku bukanlah tentang dimana aku lebih cocok untuk tinggal dan
dalam suasana seperti apa. Paragraf-paragraf sebelumnya hanyalah suasana yang
sedang kurasakan ketika aku mengetik catatan ini. Dan aku hanya sedang ingin
menuliskannya.
Sesuai
dengan judulnya, kali ini aku akan membahas tentang cita-cita.
Catatan
ini adalah sequel dari catatan lamaku berjudul “Mimpi Berjuta Tahun” yang
kuposting di Facebook dan Wattpad. Kalian bisa membacanya dengan meng-klik
halaman ini https://www.wattpad.com/165286702-mimpi-berjuta-tahun.
Kali
ini aku tidak menggunakan “Mimpi” sebagai awal judul. Aku sudah membuktikan
bahwa itu hanyalah mimpi karena aku tak pernah terbangun dan mewujudkannya.
Mimpi selamanya akan menjadi mimpi. Maka, aku menggunakan “Cita-cita” dalam
judul ini. Karena menurutku untuk bercita-cita kita tidak perlu tertidur untuk
menyusunnya. Sebuah tindakan yang terkadang kita lupa sudah tertidur beberapa
jam, dan ketika bangun sudah banyak hal yang terlewat. Sebuah mimpi bahkan akan
terhapus dari daya ingat otak kita beberapa menit setelah kita terbangun. Tapi,
sebuah cita-cita tidak akan mudah terhapus dan terlewat begitu saja layaknya
mimpi. Cita-cita itu lebih terasa … nyata. Sebuah angan-angan yang berbeda
dengan mimpi yang seringkali abstrak dan acak.
Aku
akan mulai masuk ke dalam inti catatan.
Pernahkah
kalian memiliki sebuah keinginan, sebuah cita-cita besar, yang ketika kalian
membayangkannya terwujud segala hal di sekitar kalian seolah menguap dan hanya
menyisakan tubuh kalian, pikiran kalian, dan visual-visual khayalan kalian
sendiri?
Pernahkah
kalian memiliki sebuah cita-cita yang sebegitu besarnya hingga membuat diri
kalian gentar dengan perasaan tak menentu karena bahkan cita-cita itu lebih
besar dari nyali kalian untuk meraihnya?
Pernahkah
kalian secara tidak sengaja menemui suatu hal yang mengingatkan kalian pada
cita-cita besar kalian sehingga muncul perasaan tersentuh dan tekad kuat seolah
cita-cita besar itu semakin mendorong kalian untuk mewujudkannya?
Perasaan
semacam: “Ya Tuhan, aku sudah lama memiliki sebuah cita-cita besar yang semakin
lama semakin membuatku sesak karena aku tak tahu apakah aku bisa mewujudkannya
suatu saat nanti.”
Aku
pernah merasakan ketiga-tiganya. Bahkan hingga sekarang.
Terkahir
aku merasa merinding dan sesak adalah ketika aku melihat seorang temanku
memasang foto sebuah tulisan “Fakultas Ilmu Budaya UGM” di DP BBM-nya. Ya,
tulisan itu yang membuatku merinding dan sesak karena aku gagal mewujudkannya untuk
menjadi bagian dari fakultas tersebut. Menurutku, itu adalah kehancuran
pertamaku. Dan aku menuliskannya secara rinci di catatanku “Mimpi Berjuta
Tahun”.
Tapi,
percayalah, Kawan. Cita-citamu belum cukup tinggi jika belum membuatmu gentar.
Setelah
mimpiku selama jutaan tahun itu hancur di hari pengumuman penerimaan mahasiswa
baru, aku menata ulang kembali cita-citaku. Sebuah cita-cita ratusan tahun yang
tak kusadari bersembunyi dalam diriku, menanti saat-saat yang tepat untuk
muncul kembali dalam anganku. Cita-cita itu kemudian muncul lagi baru-baru ini
ketika aku memasuki saat-saat menjadi mahasiswi S1 di universitas negeri lain
selain UGM.
Mengapa
aku menyebutnya sebagai “Cita-cita Berratus Tahun”? Karena cita-cita besar ini
umurnya lebih muda daripada “Mimpi Berjuta Tahun”ku. Cita-cita ini muncul
ketika aku memasuki masa-masa SMA, sedangkan mimpi itu muncul sejak aku duduk
di bangku SD.
Cita-cita
ini sempat tersembunyi ke celah paling dalam di ingatanku ketika aku memasuki
masa-masa harus berusaha keras untuk mewujudkan “Mimpi Berjuta Tahun”ku. Bahkan
ketika mimpi itu luruh, hancur berkeping-keping, meleleh bagai mentega, sempat ada
perasaan takut dalam diriku untuk memunculkan kembali cita-cita yang diam-diam
masih kusembunyikan dalam diriku. Karena saat itu kuberpikir bahwa mimpi yang
seharusnya lebih mudah terwujud saja gagal kuwujudkan, apalagi cita-cita
yang—bagiku—cukup gila ini.
Hanya
saja, perkara mudah tidaknya sebuah cita-cita itu terwujud berasal dari tekad diri
sendiri dan ridho Allah. Aku baru menyadarinya belakangan.
Cita-citaku
ini cukup gila. Cukup gila untuk ukuran seseorang yang belum memahami sejauh
mana kemampuanku untuk mewujudkannya, butuh seberapa besar upaya dan
pengorbanan, serta butuh waktu seberapa lama.
“Cita-cita
Berratus Tahun” yang muncul kembali setelah sekian lama kuendapkan dalam
angan-anganku sendiri adalah untuk mendapatkan beasiswa S2 ke Eropa.
Bukankah
itu cukup gila jika dibandingkan dengan “Mimpi Berjuta Tahun”ku melanjutkan
sekolah S1 di UGM?
Cita-cita
gila itu muncul ketika seorang dosen muda mengajar di kelasku untuk pertama
kali di tahun lalu. Ia adalah lulusan salah satu universitas di Sunderland, UK.
Dosen muda ini sangat cerdas dan menyenangkan. Dan karena latar belakang
pendidikannyalah, secara diam-diam cita-citaku yang sengaja kusembunyikan itu
muncul lagi perlahan-lahan.
Di
sisi lain, munculnya cita-cita ini adalah hasil kegalauanku karena gagal
mewujudkan mimpiku. Aku sempat merasa kesal karena mimpiku itu gagal
kuwujudkan. Jadi, aku bertekad untuk memiliki cita-cita yang lebih tinggi dan
akan mati-matian kukejar hingga dapat.
Apakah
semudah itu?
Tidak.
Sesekali perasaan ragu dan takut itu muncul dalam diriku. Terkadang aku
mengingatkan diriku sendiri, “Kamu terlalu banyak omong kosong, Wara.
Bercita-citalah sesuai kemampuanmu.” Dan bukankah aku pernah mengatakan di
catatanku sebelumnya bahwa aku “Cukup belajar untuk tidak mengharapkan sesuatu
yang tak bisa kuukur dengan kemampuanku sendiri?”
Tapi
percayalah. Cita-citaku untuk bisa ke Eropa semakin hari semakin mendesakku.
Aku sempat menepis desakan itu dan hanya bisa berangan-angan tentang keajaiban
dari Tuhan yang entah bagaimana caranya akan mengantarku begitu saja ke sana.
Kemudian
aku tersadar bahwa Tuhan tidak akan menurunkan keajaibannya padaku jika aku
tidak berusaha sendiri. Bagaimana Tuhan akan menuntunku jika aku bahkan tak
berani melangkah sedikitpun?
Aku
pun memutuskan untuk tidak begitu muluk-muluk dalam berharap. Aku memang tidak
mau mengharapkan sesuatu yang tak bisa kuukur dengan kemampuanku sendiri. Aku
cukup belajar dari kesalahanku yang pernah terlalu berambisi dan idealis.
Namun
bukan berarti aku mengubur cita-citaku itu dalam-dalam lagi.
Tak
pernah aku berniat menghancurkan cita-citaku bahkan sebelum aku bertempur
mengejarnya. Aku akan tetap membiarkannya menggantung sejengkal dari ujung
hidungku agar aku tahu kemana aku harus mengejarnya. Cita-cita ini masih
mengikutiku dimanapun dan kapanpun, dan perasaan bimbang itu juga masih
menghantuiku.
Aku
sedang mempersiapkan segala hal untuk mengejar cita-citaku ini. Tetapi, aku
juga tidak terlalu tinggi mengharapkannya. Karena semakin tinggi kau berharap,
kenyataan buruknya akan menghajarmu dan menginjakmu ke tanah. Persis seperti
yang pernah kurasakan. Aku tak mau perasaan hancur itu hadir lagi dalam
hidupku.
Aku
hanya berpikir bahwa, jika cita-cita ini semakin mendesakku dan menghantuiku
itu artinya aku memang ditakdirkan untuk mewujudkannya entah dengan cara apa
dan bagaimana Tuhan nanti membantuku. Untuk itu aku percaya dengan cita-citaku.
Yang kulakukan hanyalah berusaha mempertahankan kepercayaanku tersebut dengan
berusaha dan berdoa. Sedikit saja keyakinanku goyah, cita-cita ini akan luruh
bahkan sebelum aku mengecup hasil akhir upayaku.
Sebagai
penutup catatan ini aku ingin menyampaikan bahwa satu-satunya kekuatanku untuk
mempertahankan keyakinanku pada cita-citaku adalah kedua orang tuaku. Orang tua
yang membesarkanku sebagai seorang perempuan yang berani bercita-cita tinggi.
Aku sekarang paham mengapa aku harus tetap menjadi seseorang yang berani
mempertahankan cita-cita besar yang gila ini. Karena aku tidak mewujudkannya
untuk diriku sendiri, tetapi lebih dari itu, untuk kedua orang tuaku yang telah
meniupkan keberanian pada diriku untuk bercita-cita. Sebuah cita-cita besar
yang melebihi nyaliku sendiri.
Dengan
diiringi sebuah lagu lama yang kuputar berkali-kali, dan getaran audionya yang
semakin menganggu, aku akhiri catatanku ini. Semoga catatan ini bisa membuat
kalian lebih berani menata ulang cita-cita lama kalian dan mempercayai
cita-cita besar kalian sendiri. Karena aku juga percaya bahwa dalam hidup,
keberanian yang pertama kali perlu diajarkan adalah keberanian untuk memiliki cita-cita.
Selamat pagi dan sampai jumpa di catatan-catatanku selanjutnya J