Kamis, 09 Juni 2016

Do the Best & Let God Do the Rest

Selamat datang kembali di diary blog-ku. Untuk catatan kali ini aku sedang tidak ada ide untuk membahas beberapa opiniku. Suasana juga sedang tidak begitu gloomy, hujan juga tidak turun malam ini, jadi aku sedang tidak ingin menuliskan hal-hal yang galau.

Tapi, tunggu dulu. Biar kupikir-pikir lagi. Aku tidak yakin bahwa apa yang akan kutuliskan kali ini bukan sebuah kegalauan.

Well, actually aku sedang tidak galau. Aku hanya sedang ingin menulis dan kebetulan memang ada sesuatu yang ingin kutulis. Meski barangkali kalian tidak ingin tahu, tetapi siapa tahu jika apa yang kutulisan di sini pernah atau sedang kalian rasakan juga.

Tetapi sebelumnya kalian perlu tahu bahwa aku akan butuh waktu untuk memposting catatan ini. Bukan hanya karena jaringan internet untuk meng-upload file tidak begitu mendukung. Lebih karena aku agak sedikit ragu untuk mem-posting tulisan yang sedikit membahas tentang  Jodoh.

Yap. Catatanku malam ini akan menyinggung tentang jodoh.

So, bagi kalian para jomblo silahkan pasang wajah serius, baca catatan ini baik-baik, coba resapi apa yang sedang kalian baca, dan jika bersedia silahkan tinggalkan komentar di kolom di bawah catatan ini. Lebih baik lagi jika kalian membaca dengan ditemani segelas cokelat hangat dan sedang meringkuk di atas sofa empuk dengan kaki tergantung di lengan sofa.

Sudah berada dalam posisi yang nyaman untuk membaca? Baiklah. Mari kita mulai.

Aku akan mulai masuk ke inti catatan dengan memberitahu kalian bahwa sebenarnya catatan ini menetas dari hasil beberapa kali aku mendapat nasehat, pancingan obrolan, dan pertanyaan seputar calon pendamping masa depan.

Firstly, I would like to say Oh my gosh Im still 20!

(Baru saja typo mengetik 20 menjadi 33 -_- )

Believe me Im still 20 years old like I ever said on my previous notes.

Sebenarnya, obrolan colongan dan celetukan-celetukan iseng mengenai calon pendamping masa depan ini sudah berlangsung sejak lama. Awalnya memang hanya celetukan-celetukan iseng seperti ketika sedang menonton televisi dengan Ibu, kemudian ada aktor ganteng yang berkarisma, celetukan iseng itu muncul. Jodoh kamu tuh harusnya ganteng kayak gitu! kata Ibu. Atau Menantu ideal bukan, Bu? tanyaku dengan senyum jahil dan melirik Ibuku.

Tapi sejauh itu kami hanya bercanda. Tidak benar-benar serius memikirkan tentang calon pendampingku atau calon menantu ibuku. Memang benar sesekali ibuku bercanda minta menantu bule lah apa lah tapi itu hanya sebatas bercandaan. Karena menurutku umurku baru 20 tahun dan ada hal lain yang lebih penting untuk kupikirkan selain mengenai calon pendamping.

Hhh Dari tadi ngomongin calon pendamping terlalu aneh nggak, sih? Bagaimana kalau kita sebut, secara frontal, calon suami? Tapi, kok, rasanya geli ya sudah ngomongin calon suami di umur segini? Hahaha.

Pikiran-pikiran tidak serius mengenai calon suami tadi itu kemudian mulai menggelitikku ketika kemarin, ketika aku menemani Tante yang kupanggil Momi ke luar kota, Momi mengajakku membahas mengenai umur berapakah aku SEHARUSNYA sudah menikah?

Pembahasan mengenai umur menikah ini muncul setelah kami membahas tentang kehendak Tuhan dan tentang Jodoh mah emang nggak bisa dikira-kira. Tahu-tahu klik gitu aja. Aku sendiri lupa bagaimana ceritanya sampai kami membahas tentang jodoh waktu itu. Yang jelas, obrolan pertama kali topiknya bukan itu. Obrolan kami mengalir begitu saja dengan topik yang berganti-ganti hanya untuk membunuh kesunyian di perjalanan.

Jadi, kurang lebih pembicaraan kami kemarin semacam ini:

Momi: Makanya, Mbak, mulai sekarang itu semuanya harus ditata.

Aku: Semuanya? Apanya, Mom?

Momi: Ya, masa depanmu. Seenggaknya kamu umur 25 itu harus sudah menikah. Yah, 23 tahun juga sudah boleh, sih. Idealnya segitu.

Aku: (Tersedak es teh sisa takjil buka puasa) 25 tahun? Mom, aku umur segitu sudah jadi apa? 23 tahun apa lagi. Baru setahun lulus kuliah itu mah. Syukur-syukur kalau lulus kuliah langsung dapat kerjaan.

Momi: Lha, terus kamu mau menikah umur berapa?

Aku: Ya  27 tahun lah maksimal. Kan aku juga banyak tanggungan buat sekolah lagi, karir, biayain adek-adek.

Momi: 27?! Heh, itu terlalu tua! 25 tahun aja bagi Momi udah terlalu tua. Kalau kamu umur 27 baru menikah kamu mau punya anak umur berapa?

Aku: Hahaha  Mom, kok jadi ngomongi pernikahan sekarang, sih? Pacar juga lagi belum ada.

Momi: Ngomongnya jangan gitu, Mbak. Ya kamu berdoa dong mulai sekarang biar dikasih jodoh yang sesuai, dilancarkan semua usahanya, diberi kesuksesan. Gitu. Kalau kamu udah dapat jodoh sebelum umur 25 tahun ya nggak apa-apa, kan?

Obrolan itu berakhir ketika aku mengangguk mengiyakan ucapan Momi.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir nasehat Momi emang bener juga. Kita tidak bisa menetapkan semua hal dalam hidup termasuk mau umur berapa kita menikah, mau jodoh yang seperti apa, dan mau sukses yang seperti apa. Semuanya ketentuan Tuhan dan kita, sebagai manusia, hanya bisa merencanakan dan berdoa untuk mendapat yang terbaik. Terbaik versi Tuhan pasti lebih baik dari terbaik versinya kita.

Aku terbiasa memberi target dalam hidupku. Dan setiap targetku biasanya kupatok dengan usia. Seperti umur berapa aku harus lulus kuliah, umur berapa aku harus bekerja, umur berapa aku harus menikmati masa-masa menjadi seorang perempuan lajang yang sukses, umur berapa aku harus menikah, sampai umur berapa aku punya anak.

Tidak hanya target usia. Aku juga memiliki target tentang apa yang harus aku capai di masaku menjadi seorang perempuan lajang yang sukses. Misalnya, travelling ke Eropa. Atau target tentang apa yang harus aku lakukan setelah lulus kuliah, yaitu menjadi relawan pendidikan di daerah terpencil di Indonesia.

Dan semua itu hanya target. Hanya target.

Aku butuh target untuk menuntun diriku sendiri melangkah dari satu tahapan ke tahapan yang lain. Dan setiap targetku harus jelas. Tidak boleh samar-samar. Target yang jelas membantuku lebih mantab mengambil keputusan. Misalnya, targetku dalam waktu dekat ini adalah menjadi relawan. Maka secara mantab keputusan yang kuambil adalah berusaha sebaik mungkin agar menjadi lulusan yang mumpuni sehingga keinginanku tercapai.

Aku tidak suka berjalan tanpa rencana karena aku cenderung sedia payung sebelum hujan. Setiap target yang kumiliki merupakan sebuah rencana yang sudah kupikirkan matang-matang apa resikonya dan apa yang harus kupersiapkan untuk menghadapi resiko tersebut. Bagiku, berjalan tanpa rencana sama saja seperti menyeberang jalan raya tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memeriksa kendaraan yang akan lewat. Aku tidak bisa dan tidak terbiasa jatuh ke dalam resiko tanpa ada persiapan sama sekali.

Kembali ke masalah jodoh dan umur pernikahan tadi.

Aku memilih umur 25 tahun sebagai umur minimal pernikahan dan umur 27 tahun sebagai umur maksimal pun ada alasannya. Umur 25 tahun memang umur ideal untuk menikah baik secara biologis dan psikologis. Itu sebabnya aku memilihnya sebagai umur minimal. Selain itu karena dalam waktu 5 tahun mulai dari sekarang aku memiliki target lain yang menurutku sangat penting. Yaitu melanjutkan sekolah untuk gelar Master, mengejar karir, dan membiayai adik-adikku sekolah untuk membantu meringankan beban orang tua. Sedangkan alasanku memilih umur 27 tahun sebagai umur maksimal adalah karena aku berpikir bahwa di usiaku yang ke-27 tahun nanti aku berusaha mencapai dinamika hidup yang lebih stabil dimana karirku stabil, tanggungjawabku sebagi anak sulung sudah kulaksanakan setidaknya setengah jalan, dan aku sudah benar-benar puas merayakan masa-masa lajangku sebagai perempuan yang sukses.

Tapi sekali lagi, aku sebagai manusia hanya bisa merencanakan. Kehendak dan kendali tetap di tangan Tuhan. Bisa saja target-target yang kutata rapi dan rinci tadi ditukar oleh Tuhan dengan kehendaknya yang lebih baik. Dan kemungkinan semacam itulah yang kumaksud dengan sebuah resiko yang sudah kupersiapkan payungnya. Yaitu persiapan mental.

Sudah bukan waktunya lagi bagiku terlalu besar dalam memiliki ambisi yang ketika ambisi itu diubah Tuhan ke jalan lain aku akan merasa gagal dan menangisinya. Ini waktuku untuk membuka mata dan pemikiranku ke hal yang lebih luas lagi, seluas rahmat yang telah Tuhan persiapkan untukku.

Nasehat Momi sedikit banyak membuatku mempertimbangkan targetku mengenai usia. Barangkali menurutku umur 20 tahun terlalu muda untuk memikirkan tentang seorang calon pendamping. Tapi, aku menangkap inti dari obrolanku dengan Momi sebenarnya adalah di usiaku yang 20 tahun ini aku jangan hanya terfokus mengejar cita-cita dan karir, tapi juga harus fokus ke semua hal yang menyangkut masa depanku. Masa depanku tidak hanya seputar menjadi seorang relawan, wanita karir yang sukses, seorang kakak yang mampu menyekolahkan adik-adiknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, atau seorang anak yang berbakti pada orang tua. Tapi ada yang lebih penting dari itu yang akan kualami sekali seumur hidup dimana kebahagiaanku akan terasa semakin sempurna, yaitu ketika aku menemukan seseorang yang selalu mendukungku dan memahami segala cita-citaku. Seseorang yang akan menemaniku di sisa-sisa umurku. Seseorang yang akan melengkapi segala kebahagiaan yang kuperoleh selama ini. Dan seseorang semacam itu yang seharusnya juga kupikirkan mulai dari sekarang.

Hanya saja, aku tidak akan terlalu mati-matian mencari seseorang yang semacam itu tadi. Menurutku, untuk mendapatkan seseorang yang semacam itu aku harus lebih memantaskan diri. Menjadi pribadi yang baik dan menyenangkan. Aku yakin semakin baik dan menyenangkan kepribadian diri kita, akan semakin baik juga seseorang yang diberikan Tuhan pada kita.

Aku tidak akan terlalu mencari. Karena terkadang apa yang kita cari tidak bisa kita temukan, sedangkan apa yang kita diamkan dalam doa akan datang dengan sendirinya. Aku juga tidak akan terlalu memikirkan semua targetku karena semakin kupikirkan semakin membuatku pusing sendiri dengan berbagai kemungkinannya. Malah nantinya tidak akan menjadi kejutan yang manis. Biar saja semua diatur oleh Tuhan. Fokuslah untuk berusaha sebaik mungkin and let God do the rest (

Tidak ada komentar:

Posting Komentar