Halo, semuanya. Senang sekali akhirnya aku bisa mendapatkan
waktu yang tepat untuk menulis hal yang lebih serius di sini. Cuaca sedang
begitu mendukung karena hujan rintik-rintik turun dan malam mulai menguasai
hari. Aku menyukai suasana semacam ini karena selalu membuatku lebih banyak
memikirkan sesuatu dan ujung-ujungnya aku mendapat ide untuk menulis.
Hujan baru saja berhenti dan aroma tanah basah yang berasal dari
bakteri actinomycetes benar-benar
menyegarkan. Dengan suhu yang lebih sejuk dari malam-malam kemarin, aku
memutuskan untuk meringkuk di sudut kamar dan mulai mengetik.
Topik yang akan kubahas dalam tulisan ini sebenarnya sudah sejak
lama ingin kutuliskan. Tapi seperti biasa aku selalu menunggu momen-momen
sakral dimana tidak hanya jemariku yang gatal ingin segera mengetik dan otakku
yang mulai menggerakkan gir-girnya untuk menyusun kata-kata, tapi lebih dari
itu, aku harus mempersiapkan hati.
Yes. Aku menulis tidak hanya dengan otak, tangan, dan mataku.
Tetapi juga hati. Aku selalu menulis dalam suasana yang sesuai dengan topik
yang ingin kutuliskan. Hal ini membantuku untuk menyusun kalimat lebih
ekspresif dan segala perasaanku benar-benar kucurahkan, tumpah ruah, dalam
tulisanku ini.
Aku tidak akan menunda lebih lama lagi. Jadi, tulisanku kali ini
adalah seputar pengalamanku menjadi tutor Bahasa Inggris untuk anak-anak dari
kelas 2 SD sampai 5 SD.
Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang begitu penyayang pada
anak-anak karena kenyataannya aku mudah kesal jika melihat anak-anak yang
terlalu rewel dan menangis tak berhenti-henti. Aku cukup terganggu dengan
suara-suara dan suasana yang terlalu ramai. Tapi, aku cukup tertarik dengan
hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak anak-anak dan beberapa isu atau peristiwa
yang berkaitan dengan anak-anak. Entah itu tentang pendidikan, kesehatan,
keamanan, atau yang lainnya.
Cerita ini bermula dari pengalamanku ketika kursus Bahasa
Inggris sejak aku kelas 1 SD hingga 1 SMA. Awalnya, aku tidak tertarik dengan kursus
ini dan aku kerap sekali mendapat nilai di bawah rata-rata. Sungguh. Aku tidak
berbohong. Waktu itu aku bodoh sekali dalam urusan mempelajari bahasa asing.
Beberapa hal yang menyebabkanku tidak tertarik adalah karena aku berada di
dalam kelas yang aku sendiri tidak nyaman dengan anak-anak lain. Namun, seiring
berjalannya waktu, aku mulai memahami materi sedikit demi sedikit karena aku
mulai menyadari bahwa metode pengajaran yang digunakan guruku sangat
membantuku. Lebih dari itu, aku mudah memahami materi tidak hanya karena aku
menyukai cara mengajar guruku tersebut, tapi karena aku merasa bahwa sebagai
guru ia begitu mempedulikan setiap anak didiknya.
Ketika aku mencapai akhir semester kelas 1 SMA, guruku
mengumumkan bahwa kursus akan diliburkan sampai waktu yang belum bisa
ditentukan. Awalnya, aku cukup heran karena seharusnya kami belum mencapai hari
libur. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa memang sudah tidak ada lagi yang perlu
kami pelajari di tempat kursus ini karena semua materi sudah disampaikan.
Semua materi. Bayangkan berapa banyak materi yang diberikan pada
kami, termasuk aku, setelah aku kursus selama 10 tahun.
Ketika aku kelas 2 SMA, guruku itu memintaku untuk membantunya
meng-handle kelas. Maksudku, menjadi
tutor untuk adik-adik kelasku. Aku segera mengiyakan semata-mata karena aku
merasa berhutang budi pada guruku tersebut. Di sisi lain aku ragu apakah aku mampu
menjadi seorang guru yang baik.
Saat-saat ketika aku mendapat training mengajar adalah saat yang sangat berat untukku. Hal
tersebut berlanjut setidaknya sampai beberapa bulan kemudian. Karena aku merasa
waktuku sebagai seorang remaja tersita hanya untuk mengajar anak-anak kecil
yang cukup susah kuatur. Saat itu, dalam seminggu aku harus mengajar dua kelas
yang dibagi menjadi empat pertemuan. Belum lagi jika aku harus diminta untuk
mengajar kelas-kelas tambahan. Terkadang dalam seminggu aku harus mengajar
sampai enam hari penuh. Meskipun dari kegiatan tersebut aku mendapat
penghasilan sendiri, rasanya aku lelah karena waktuku bersama teman-temanku
benar-benar berkurang banyak.
Aku sempat menangis dan mengatakan aku tidak mau mengajar lagi. Aku
bahkan sempat mangkir dari tanggungjawab sampai harus ditegur berkali-kali oleh
guruku. Tapi, ibuku selalu mendukungku dan menyemangatiku bahwa aku harus bisa
melewati rasa ketidaknyamananku. Bahwa hasil yang baik akan kuperoleh
semata-mata bukan dalam bentuk materi tapi lebih dari itu: Pengalaman yang
berharga.
Seiring berjalannya waktu, ketika aku mencoba menjadi lebih
bertanggungjawab dan menerima segalanya dengan hati ikhlas, aku mulai terbiasa.
Anak-anak yang kudidik tidak lagi kuanggap menyebalkan. Meskipun tingkah mereka
terkadang keterlaluan. Bayangkan, anak-anak yang saat itu sedang kuajar ada
yang berlarian mengelilingi ruangan sambil berteriak, melompat ke atas meja,
dan menggoda temannya yang lain sampai menangis. Awalnya, aku sempat tidak bisa
bertindak apa-apa. Akhirnya, aku hanya mencoba menjadi lebih tegas setidaknya
sampai mereka memperhatikan penjelasan dariku beberapa menit.
Aku, yang semula berniat akan menjadi seorang guru yang penuh
kelembutan, berubah menjadi seorang guru yang cukup tegas. Atau bisa dikatakan
galak? Aku tidak pernah memukul dan meneriaki mereka. Aku hanya turun tangan
dengan mendekati mereka, menarik mereka ke tempat duduk masing-masing,
menurunkan mereka ketika mereka mulai melompat ke atas meja, atau hanya terdiam
sambil memandang mereka dengan pandangan yang bisa membuat mereka terdiam
sementara. Ya, sementara. Tidak jarang pula aku harus memukul-mukul papan tulis
dengan penghapus untuk mendapatkan perhatian mereka. Jika mereka sudah tidak
bisa diatur, satu ancaman yang paling ampuh adalah memanggil guru senior yang
mereka takuti.
Aku sempat merasa bahwa aku gagal menjadi seorang guru panutan
yang lemah lembut dan baik hati. Tapi ternyata anak-anak ini cukup
menyayangiku. Aku tahu ketika suatu saat aku tidak bisa mengajar karena ada
keperluan lain, anak-anak ini diajar oleh guru pengganti. Dan mereka tidak
tertarik. Mereka mencariku dan hanya ingin belajar denganku.
Kurasa itu salah satu alasan yang membuatku lama kelamaan
mencintai profesiku sebagai tutor dan aku mencintai mereka. Selain itu, aku merasa
menjadi sangat berguna dan dibutuhkan tidak hanya ketika mereka mencariku,
tetapi karena mereka adalah anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang meskipun
tingkahnya macam gasing, mereka memahami setiap penjelasan materi dariku.
Sayangnya, aku harus mengakhiri pembelajaran dan pertemuan
dengan mereka tepat ketika aku mulai jatuh cinta dengan kegiatan itu. Saat itu
adalah saat-saat ketika aku harus fokus belajar untuk mempersiapkan Ujian
Nasional. Yang awalnya aku mengajar dua kelas, akhirnya aku hanya bisa mengajar
satu kelas. Dan ketika aku akan mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri tanggal 16 Juni 2014 lalu, aku benar-benar mengucapkan perpisahan
dengan mereka.
Tidak ada perpisahan yang spesial dengan rangkaian ucapan terima
kasih dan selamat tinggal dari murid-muridku. Anak-anak bandel yang cerdas dan
lucu itu. Aku tidak pernah menerima ucapan selamat tinggal dari mereka dan aku
juga tidak mengucapkan hal itu pada mereka. Aku hanya mengatakan bahwa untuk
selanjutnya aku tidak bisa mengajar mereka lagi karena aku harus melanjutkan
sekolah ke luar kota.
Mereka serempak berujar, “Yaaah, Miss …” dengan ekspresi memelas
yang hingga saat ini sesekali masih kuingat secara tidak sengaja.
Dua kata singkat yang mengartikan segalanya.
Benar kata Andrea Hirata bahwa mata lebih terang dari pada apa
yang diucapkan mulut. Mata mereka berbicara dan aku serasa sesak. Satu tahun bersama
mereka, mengomeli mereka ketika mereka bersikap bandel, memberi mereka tepuk
tangan dan senyum ketika mereka berhasil, dan tertawa bersama mereka.
Aku banyak menjelaskan hal pada mereka salah satunya adalah akan
ada guru pengganti. Satu hal yang kupesankan pada mereka untuk tetap menjadi
anak-anak yang aktif dan cerdas dan menghormati guru pengganti. Aku juga
berjanji untuk datang kembali menemui mereka jika ada kesempatan.
Dan kesempatan itu kini hanya kudapatkan setahun sekali.
Setiap libur panjang semester yang mencapai tiga bulan lamanya
aku menjadi tutor di tempatku mengajar lagi. Tetapi, aku sudah tidak mengajar
mereka karena mereka berada di kelas baru dan bersama guru yang lain. Terahir
aku berpisah dengan mereka, mereka masih kelas 3 SD. Ketika aku kembali tahun
lalu mereka terlihat lebih tinggi dan dewasa, apalagi sekarang.
Setelah perpisahan selama kurang lebih dua tahun ini seingatku
aku hanya sekali bertemu mereka dalam satu kelas. Itu pun bukan kelas yang
kuajar. Senang sekali rasanya bisa bertemu mereka di kelas dan ketika mereka
bersorak sambil melambaikan tangannya padaku dan meneriakkan namaku, “Miiiisssss
……!” dengan begitu kerasnya.
Sesekali aku masih bertemu salah satu dari mereka. Ada Khusnul
yang cantik dan sedikit genit, ada Jessica yang cerewet dan genitnya minta
ampun, ada Alif yang bandel tapi cerdas, ada Dino yang badannya mungil dan
memiliki gigi seri semacam kelinci, ada Rendra yang sekecil Dino dan bandelnya
juga minta ampun, ada Selly yang juga cerewet tapi ceria, ada Tasha yang
bandelnya sebelas dua belas dengan
Jessica, ada Mayang yang begitu percaya diri.
Sayangnya, nama-nama lainnya aku sudah lupa. Tapi aku masih
ingat betul wajah-wajah mereka dan karakter mereka masing-masing.
Ternyata, apa yang dikatakan ibuku benar. Aku mendapatkan hal
yang lebih bernilai dari materi yaitu pengalaman yang berharga. Pengalamanku
mengajar anak-anak selama kurang lebih setahun ini membantuku untuk menjadi
lebih terbiasa berbicara di depan umum. Selain itu juga membantuku lebih lancar
berbahasa Inggris.
Selain itu, aku menemukan satu hal lain. Bahwa aku mulai
merasakan sebuah gairah aneh untuk ingin menjadi seorang pendidik. Yap. Aku
merasakan bagaimana menjadi seorang guru yang bisa membaur dengan anak-anak
didiknya dan betapa bangganya ketika anak-anak yang kudidik bisa berhasil.
Sejauh aku merasakannya aku ternyata sangat menikmatinya. Ada perasaan sayang,
bangga, dan puas yang bercampur dalam diriku ketika aku bersama anak-anak
bandel yang cerdas dan lucu itu. Aku tidak lagi merasa ragu apakah aku mampu
atau tidak menjadi seorang pendidik yang baik karena aku percaya bahwa
sepanjang aku bahagia, murid-muridku bahagia, dan mereka berhasil aku merasa
puas.
Untuk menutup catatan yang panjang ini, aku memiliki satu lagi
kisah singkat mengenai pengalamanku mengajar seorang anak yang menderita autisme.
Pengalaman ini terjadi sekitar minggu lalu ketika aku mengunjungi tempatku
mengajar untuk just say hi ke
guru-guruku. Meskipun niat aslinya adalah mengajukan diri untuk menjadi tutor
lagi agar aku memiliki kegiatan sepanjang liburan.
Ketika aku sampai, guruku yang kupanggil Mam langsung
menyodorkanku sebuah buku dan seorang murid. Ia memintaku untuk menggantikannya
mengajar privat sore itu dan aku menyanggupi. Seorang murid itu bernama, sebut
saja, Ruben. Nama aslinya aku sudah lupa (Benar. Aku memang payah menghapal
nama orang). Pada saat aku mengatakan iya, Mam mewanti-wantiku, “He’s a smart and unique child,” dengan
mata berbinar jahil. Awalnya aku tidak paham unique seperti apa yang ia maksud, tetapi tak lama kemudian aku
paham.
Ruben menderita autisme. Ia memang cerdas dan berbahasa Inggris lebih
baik dibandingkan anak-anak seusianya. Tetapi, ia juga seorang penderita
disleksia dimana ia kesulitan menulis dan membaca. Aku memang tidak kerepotan
untuk menanyakan beberapa hal dalam bahasa Inggris padanya, tetapi aku harus
memberikan waktu ekstra untuk membantunya menulis dan membaca bahasa Inggris.
Hingga waktu belajar yang satu jam tak terasa sudah hampir kelebihan 30 menit
hanya untuk membahas 25 soal. Waktu sebanyak itu sebenarnya lebih kuhabiskan
untuk membimbingnya menulis dan membaca.
Ketika pelajaran berakhir, aku sempat mengobrol dengan guruku
yang lain yang kupanggil Sir. Sir bilang, “How
was he? He’s smart and unique, isn’t he?” dengan cengirannya yang khas. Aku
pun mengiyakan.
Cengiran Sir dengan cepat berubah menjadi binar keheranan. Ia
mengatakan padaku bahwa Ruben tidak mudah berdekatan dengan orang lain. Sejauh ini,
Ruben hanya mau berinteraksi dengan ibunya, saudaranya, Sir, dan Mam. Dan Sir
heran bagaimana Ruben bisa mau kubimbing belajar bahasa Inggris. Aku pun juga
tak tahu, sebenarnya.
Sir bercerita bahwa Ruben sangat menyukai segala hal tentang dinosaurus.
Dan itu benar karena ia hapal semua jenis dinosaurus, makanannya, nama
latinnya, dan beberapa bagian tubuhnya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk
mencari informasi tentang dinosaurus atau sekedar bermain dengan figure-figur
dinosaurusnya.
Sayangnya, di sekolah, layaknya anak-anak penderita autisme yang
kerap kali menarik diri dari lingkungan sosial dan teman-temannya, Ruben
beberapa kali kena bully teman-temannya. Dan meskipun ia dibully, ia tidak
pernah marah dan menangis. Ia hanya akan menyingkir dan menjauh dari
teman-temannya kemudian bermain sendiri. Ia juga tidak suka mendapat tugas dari
guru-gurunya. Satu-satunya orang yang bisa menyuruhnya mengerjakan tugas
hanyalah Sir. Ia patuh sekali dengan Sir. Ia juga sangat rajin mengikuti kelas
ketika waktu mata pelajaran bahasa Inggris. Tetapi untuk pelajaran lain, ia
akan keluar kelas dan bermain sendiri.
Aku pun bertanya, “How
could he move from first grade to second and the third grade like now if he
never did his tasks?”
“He helped by curriculum
2013,” jawab Sir.
Memang benar. Satu-satunya hal yang menolongnya hanyalah
Kurikulum 2013 yang lebih menekankan karakter peserta didik dibandingkan
kemampuan akademisnya.
Pengalamanku bertemu Ruben dan anak-anak cerdas lainnya
benar-benar menyenangkan. Hingga saat ini aku selalu mencari kesempatan untuk
bisa bersama anak-anak seperti mereka dan akan menguji diriku sendiri. Seberapa
mampukah aku bersama mereka? Aku berharap kesempatan itu tidak akan berhenti
sampai di sini saja, tetapi juga akan berkelanjutan.
Catatan ini benar-benar terlampau panjang. Terima kasih banyak
untuk kalian yang bersedia membacanya sampai akhir. Sampai jumpa di
catatan-catatanku selanjutnya J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar