Senin, 06 Juni 2016

Dua Kata Singkat yang Mengartikan Segalanya



Halo, semuanya. Senang sekali akhirnya aku bisa mendapatkan waktu yang tepat untuk menulis hal yang lebih serius di sini. Cuaca sedang begitu mendukung karena hujan rintik-rintik turun dan malam mulai menguasai hari. Aku menyukai suasana semacam ini karena selalu membuatku lebih banyak memikirkan sesuatu dan ujung-ujungnya aku mendapat ide untuk menulis.

Hujan baru saja berhenti dan aroma tanah basah yang berasal dari bakteri actinomycetes benar-benar menyegarkan. Dengan suhu yang lebih sejuk dari malam-malam kemarin, aku memutuskan untuk meringkuk di sudut kamar dan mulai mengetik.

Topik yang akan kubahas dalam tulisan ini sebenarnya sudah sejak lama ingin kutuliskan. Tapi seperti biasa aku selalu menunggu momen-momen sakral dimana tidak hanya jemariku yang gatal ingin segera mengetik dan otakku yang mulai menggerakkan gir-girnya untuk menyusun kata-kata, tapi lebih dari itu, aku harus mempersiapkan hati.

Yes. Aku menulis tidak hanya dengan otak, tangan, dan mataku. Tetapi juga hati. Aku selalu menulis dalam suasana yang sesuai dengan topik yang ingin kutuliskan. Hal ini membantuku untuk menyusun kalimat lebih ekspresif dan segala perasaanku benar-benar kucurahkan, tumpah ruah, dalam tulisanku ini.

Aku tidak akan menunda lebih lama lagi. Jadi, tulisanku kali ini adalah seputar pengalamanku menjadi tutor Bahasa Inggris untuk anak-anak dari kelas 2 SD sampai 5 SD.

Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang begitu penyayang pada anak-anak karena kenyataannya aku mudah kesal jika melihat anak-anak yang terlalu rewel dan menangis tak berhenti-henti. Aku cukup terganggu dengan suara-suara dan suasana yang terlalu ramai. Tapi, aku cukup tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak anak-anak dan beberapa isu atau peristiwa yang berkaitan dengan anak-anak. Entah itu tentang pendidikan, kesehatan, keamanan, atau yang lainnya.

Cerita ini bermula dari pengalamanku ketika kursus Bahasa Inggris sejak aku kelas 1 SD hingga 1 SMA. Awalnya, aku tidak tertarik dengan kursus ini dan aku kerap sekali mendapat nilai di bawah rata-rata. Sungguh. Aku tidak berbohong. Waktu itu aku bodoh sekali dalam urusan mempelajari bahasa asing. Beberapa hal yang menyebabkanku tidak tertarik adalah karena aku berada di dalam kelas yang aku sendiri tidak nyaman dengan anak-anak lain. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami materi sedikit demi sedikit karena aku mulai menyadari bahwa metode pengajaran yang digunakan guruku sangat membantuku. Lebih dari itu, aku mudah memahami materi tidak hanya karena aku menyukai cara mengajar guruku tersebut, tapi karena aku merasa bahwa sebagai guru ia begitu mempedulikan setiap anak didiknya.

Ketika aku mencapai akhir semester kelas 1 SMA, guruku mengumumkan bahwa kursus akan diliburkan sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Awalnya, aku cukup heran karena seharusnya kami belum mencapai hari libur. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa memang sudah tidak ada lagi yang perlu kami pelajari di tempat kursus ini karena semua materi sudah disampaikan.

Semua materi. Bayangkan berapa banyak materi yang diberikan pada kami, termasuk aku, setelah aku kursus selama 10 tahun.

Ketika aku kelas 2 SMA, guruku itu memintaku untuk membantunya meng-handle kelas. Maksudku, menjadi tutor untuk adik-adik kelasku. Aku segera mengiyakan semata-mata karena aku merasa berhutang budi pada guruku tersebut. Di sisi lain aku ragu apakah aku mampu menjadi seorang guru yang baik.

Saat-saat ketika aku mendapat training mengajar adalah saat yang sangat berat untukku. Hal tersebut berlanjut setidaknya sampai beberapa bulan kemudian. Karena aku merasa waktuku sebagai seorang remaja tersita hanya untuk mengajar anak-anak kecil yang cukup susah kuatur. Saat itu, dalam seminggu aku harus mengajar dua kelas yang dibagi menjadi empat pertemuan. Belum lagi jika aku harus diminta untuk mengajar kelas-kelas tambahan. Terkadang dalam seminggu aku harus mengajar sampai enam hari penuh. Meskipun dari kegiatan tersebut aku mendapat penghasilan sendiri, rasanya aku lelah karena waktuku bersama teman-temanku benar-benar berkurang banyak.

Aku sempat menangis dan mengatakan aku tidak mau mengajar lagi. Aku bahkan sempat mangkir dari tanggungjawab sampai harus ditegur berkali-kali oleh guruku. Tapi, ibuku selalu mendukungku dan menyemangatiku bahwa aku harus bisa melewati rasa ketidaknyamananku. Bahwa hasil yang baik akan kuperoleh semata-mata bukan dalam bentuk materi tapi lebih dari itu: Pengalaman yang berharga.

Seiring berjalannya waktu, ketika aku mencoba menjadi lebih bertanggungjawab dan menerima segalanya dengan hati ikhlas, aku mulai terbiasa. Anak-anak yang kudidik tidak lagi kuanggap menyebalkan. Meskipun tingkah mereka terkadang keterlaluan. Bayangkan, anak-anak yang saat itu sedang kuajar ada yang berlarian mengelilingi ruangan sambil berteriak, melompat ke atas meja, dan menggoda temannya yang lain sampai menangis. Awalnya, aku sempat tidak bisa bertindak apa-apa. Akhirnya, aku hanya mencoba menjadi lebih tegas setidaknya sampai mereka memperhatikan penjelasan dariku beberapa menit.

Aku, yang semula berniat akan menjadi seorang guru yang penuh kelembutan, berubah menjadi seorang guru yang cukup tegas. Atau bisa dikatakan galak? Aku tidak pernah memukul dan meneriaki mereka. Aku hanya turun tangan dengan mendekati mereka, menarik mereka ke tempat duduk masing-masing, menurunkan mereka ketika mereka mulai melompat ke atas meja, atau hanya terdiam sambil memandang mereka dengan pandangan yang bisa membuat mereka terdiam sementara. Ya, sementara. Tidak jarang pula aku harus memukul-mukul papan tulis dengan penghapus untuk mendapatkan perhatian mereka. Jika mereka sudah tidak bisa diatur, satu ancaman yang paling ampuh adalah memanggil guru senior yang mereka takuti.

Aku sempat merasa bahwa aku gagal menjadi seorang guru panutan yang lemah lembut dan baik hati. Tapi ternyata anak-anak ini cukup menyayangiku. Aku tahu ketika suatu saat aku tidak bisa mengajar karena ada keperluan lain, anak-anak ini diajar oleh guru pengganti. Dan mereka tidak tertarik. Mereka mencariku dan hanya ingin belajar denganku.

Kurasa itu salah satu alasan yang membuatku lama kelamaan mencintai profesiku sebagai tutor dan aku mencintai mereka. Selain itu, aku merasa menjadi sangat berguna dan dibutuhkan tidak hanya ketika mereka mencariku, tetapi karena mereka adalah anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang meskipun tingkahnya macam gasing, mereka memahami setiap penjelasan materi dariku.

Sayangnya, aku harus mengakhiri pembelajaran dan pertemuan dengan mereka tepat ketika aku mulai jatuh cinta dengan kegiatan itu. Saat itu adalah saat-saat ketika aku harus fokus belajar untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Yang awalnya aku mengajar dua kelas, akhirnya aku hanya bisa mengajar satu kelas. Dan ketika aku akan mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri tanggal 16 Juni 2014 lalu, aku benar-benar mengucapkan perpisahan dengan mereka.

Tidak ada perpisahan yang spesial dengan rangkaian ucapan terima kasih dan selamat tinggal dari murid-muridku. Anak-anak bandel yang cerdas dan lucu itu. Aku tidak pernah menerima ucapan selamat tinggal dari mereka dan aku juga tidak mengucapkan hal itu pada mereka. Aku hanya mengatakan bahwa untuk selanjutnya aku tidak bisa mengajar mereka lagi karena aku harus melanjutkan sekolah ke luar kota.

Mereka serempak berujar, “Yaaah, Miss …” dengan ekspresi memelas yang hingga saat ini sesekali masih kuingat secara tidak sengaja.

Dua kata singkat yang mengartikan segalanya.

Benar kata Andrea Hirata bahwa mata lebih terang dari pada apa yang diucapkan mulut. Mata mereka berbicara dan aku serasa sesak. Satu tahun bersama mereka, mengomeli mereka ketika mereka bersikap bandel, memberi mereka tepuk tangan dan senyum ketika mereka berhasil, dan tertawa bersama mereka.

Aku banyak menjelaskan hal pada mereka salah satunya adalah akan ada guru pengganti. Satu hal yang kupesankan pada mereka untuk tetap menjadi anak-anak yang aktif dan cerdas dan menghormati guru pengganti. Aku juga berjanji untuk datang kembali menemui mereka jika ada kesempatan.

Dan kesempatan itu kini hanya kudapatkan setahun sekali.

Setiap libur panjang semester yang mencapai tiga bulan lamanya aku menjadi tutor di tempatku mengajar lagi. Tetapi, aku sudah tidak mengajar mereka karena mereka berada di kelas baru dan bersama guru yang lain. Terahir aku berpisah dengan mereka, mereka masih kelas 3 SD. Ketika aku kembali tahun lalu mereka terlihat lebih tinggi dan dewasa, apalagi sekarang.

Setelah perpisahan selama kurang lebih dua tahun ini seingatku aku hanya sekali bertemu mereka dalam satu kelas. Itu pun bukan kelas yang kuajar. Senang sekali rasanya bisa bertemu mereka di kelas dan ketika mereka bersorak sambil melambaikan tangannya padaku dan meneriakkan namaku, “Miiiisssss ……!” dengan begitu kerasnya.

Sesekali aku masih bertemu salah satu dari mereka. Ada Khusnul yang cantik dan sedikit genit, ada Jessica yang cerewet dan genitnya minta ampun, ada Alif yang bandel tapi cerdas, ada Dino yang badannya mungil dan memiliki gigi seri semacam kelinci, ada Rendra yang sekecil Dino dan bandelnya juga minta ampun, ada Selly yang juga cerewet tapi ceria, ada Tasha yang bandelnya  sebelas dua belas dengan Jessica, ada Mayang yang begitu percaya diri.

Sayangnya, nama-nama lainnya aku sudah lupa. Tapi aku masih ingat betul wajah-wajah mereka dan karakter mereka masing-masing.

Ternyata, apa yang dikatakan ibuku benar. Aku mendapatkan hal yang lebih bernilai dari materi yaitu pengalaman yang berharga. Pengalamanku mengajar anak-anak selama kurang lebih setahun ini membantuku untuk menjadi lebih terbiasa berbicara di depan umum. Selain itu juga membantuku lebih lancar berbahasa Inggris.

Selain itu, aku menemukan satu hal lain. Bahwa aku mulai merasakan sebuah gairah aneh untuk ingin menjadi seorang pendidik. Yap. Aku merasakan bagaimana menjadi seorang guru yang bisa membaur dengan anak-anak didiknya dan betapa bangganya ketika anak-anak yang kudidik bisa berhasil. Sejauh aku merasakannya aku ternyata sangat menikmatinya. Ada perasaan sayang, bangga, dan puas yang bercampur dalam diriku ketika aku bersama anak-anak bandel yang cerdas dan lucu itu. Aku tidak lagi merasa ragu apakah aku mampu atau tidak menjadi seorang pendidik yang baik karena aku percaya bahwa sepanjang aku bahagia, murid-muridku bahagia, dan mereka berhasil aku merasa puas.





Untuk menutup catatan yang panjang ini, aku memiliki satu lagi kisah singkat mengenai pengalamanku mengajar seorang anak yang menderita autisme. Pengalaman ini terjadi sekitar minggu lalu ketika aku mengunjungi tempatku mengajar untuk just say hi ke guru-guruku. Meskipun niat aslinya adalah mengajukan diri untuk menjadi tutor lagi agar aku memiliki kegiatan sepanjang liburan.

Ketika aku sampai, guruku yang kupanggil Mam langsung menyodorkanku sebuah buku dan seorang murid. Ia memintaku untuk menggantikannya mengajar privat sore itu dan aku menyanggupi. Seorang murid itu bernama, sebut saja, Ruben. Nama aslinya aku sudah lupa (Benar. Aku memang payah menghapal nama orang). Pada saat aku mengatakan iya, Mam mewanti-wantiku, “He’s a smart and unique child,” dengan mata berbinar jahil. Awalnya aku tidak paham unique seperti apa yang ia maksud, tetapi tak lama kemudian aku paham.

Ruben menderita autisme. Ia memang cerdas dan berbahasa Inggris lebih baik dibandingkan anak-anak seusianya. Tetapi, ia juga seorang penderita disleksia dimana ia kesulitan menulis dan membaca. Aku memang tidak kerepotan untuk menanyakan beberapa hal dalam bahasa Inggris padanya, tetapi aku harus memberikan waktu ekstra untuk membantunya menulis dan membaca bahasa Inggris. Hingga waktu belajar yang satu jam tak terasa sudah hampir kelebihan 30 menit hanya untuk membahas 25 soal. Waktu sebanyak itu sebenarnya lebih kuhabiskan untuk membimbingnya menulis dan membaca.

Ketika pelajaran berakhir, aku sempat mengobrol dengan guruku yang lain yang kupanggil Sir. Sir bilang, “How was he? He’s smart and unique, isn’t he?” dengan cengirannya yang khas. Aku pun mengiyakan.

Cengiran Sir dengan cepat berubah menjadi binar keheranan. Ia mengatakan padaku bahwa Ruben tidak mudah berdekatan dengan orang lain. Sejauh ini, Ruben hanya mau berinteraksi dengan ibunya, saudaranya, Sir, dan Mam. Dan Sir heran bagaimana Ruben bisa mau kubimbing belajar bahasa Inggris. Aku pun juga tak tahu, sebenarnya.

Sir bercerita bahwa Ruben sangat menyukai segala hal tentang dinosaurus. Dan itu benar karena ia hapal semua jenis dinosaurus, makanannya, nama latinnya, dan beberapa bagian tubuhnya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari informasi tentang dinosaurus atau sekedar bermain dengan figure-figur dinosaurusnya.

Sayangnya, di sekolah, layaknya anak-anak penderita autisme yang kerap kali menarik diri dari lingkungan sosial dan teman-temannya, Ruben beberapa kali kena bully teman-temannya. Dan meskipun ia dibully, ia tidak pernah marah dan menangis. Ia hanya akan menyingkir dan menjauh dari teman-temannya kemudian bermain sendiri. Ia juga tidak suka mendapat tugas dari guru-gurunya. Satu-satunya orang yang bisa menyuruhnya mengerjakan tugas hanyalah Sir. Ia patuh sekali dengan Sir. Ia juga sangat rajin mengikuti kelas ketika waktu mata pelajaran bahasa Inggris. Tetapi untuk pelajaran lain, ia akan keluar kelas dan bermain sendiri.

Aku pun bertanya, “How could he move from first grade to second and the third grade like now if he never did his tasks?”

He helped by curriculum 2013,” jawab Sir.

Memang benar. Satu-satunya hal yang menolongnya hanyalah Kurikulum 2013 yang lebih menekankan karakter peserta didik dibandingkan kemampuan akademisnya.

Pengalamanku bertemu Ruben dan anak-anak cerdas lainnya benar-benar menyenangkan. Hingga saat ini aku selalu mencari kesempatan untuk bisa bersama anak-anak seperti mereka dan akan menguji diriku sendiri. Seberapa mampukah aku bersama mereka? Aku berharap kesempatan itu tidak akan berhenti sampai di sini saja, tetapi juga akan berkelanjutan.

Catatan ini benar-benar terlampau panjang. Terima kasih banyak untuk kalian yang bersedia membacanya sampai akhir. Sampai jumpa di catatan-catatanku selanjutnya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar