Selasa, 21 November 2017

The Introvert Thinker: Si Unicorn dan Dunianya Sendiri

Pernah merasa seolah kau punya dunia sendiri? Dimana hanya ada kamu dan duniamu sendiri yang mampu mengerti kamu. Merasa terasing hanya ketika berada di suatu tempat dan bertemu orang-orang baru. Tidak pernah memahami apa yang sedang dibicarakan orang lain hanya karena kebetulan mereka tidak sedang membicarakan sesuatu yang mungkin tidak menarik bagimu atau tidak bisa kamu pahami.

Pernah merasa dirimu berbeda? Hanya karena mungkin kamu tidak bisa mengerti apa yang orang lain pikirkan, dan kamu tahu mereka pun juga tidak akan pernah bisa memahami apa yang kamu pikirkan. Perasaan yang seperti terasing hanya karena kamu tidak bisa menjadi seperti mereka atau setidaknya menjadi bagian dari mereka. Perasaan-perasaan semacam itu.

Kamu lebih banyak diam. Karena mungkin apa yang kamu ingin bicarakan tidak akan disambut orang lain dengan antusias, atau karena kamu tidak tahu apa yang harus kamu katakan hanya untuk bisa menjadi bagian dari mereka. Kamu senang untuk menghabiskan waktu dengan dirimu sendiri karena kamu tidak perlu mencemaskan apa yang mungkin orang lain akan pikirkan tentangmu. Dan kamu bisa bebas menjadi apapun yang kamu inginkan. Menjadi unicorn misalnya? Alien? Atau apapun hal konyol tentang dirimu yang tak pernah kamu tunjukan pada orang lain karena mungkin mereka tidak mau menerima dirimu yang apa adanya itu. Atau kamu memilih diam karena cemas orang lain akan merasa terganggu dengan dirimu yang sesungguhnya. The originally you.

Sering merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan karena mereka tahu kamu mungkin tidak berada pada porsi atau posisi untuk tahu, sedangkan kamu di situ, di tengah-tengah pembicaraan itu. Well, kamu diam karena memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, kemudian kamu pun memilih untuk melipir pergi. Kembali lagi ke dunia mu sendiri.

Tidak pernah bercerita banyak pada orang lain, kecuali satu--hanya SATU--yang paling tahu semua rahasiamu, yang kamu anggap sebagai belahan dari dirimu sendiri. Entah itu teman atau orang tuamu sendiri, meski ironisnya, posisi sebagai belahan dari dirimu sendiri cenderung ada pada diri teman dibandingkan orang tuamu.

Kamu diam karena orang lain mungkin sering salah memahamimu. Orang lain mengira kamu diam karena marah, padahal sebenarnya you just want to observe and keep your voice untuk menghindari kesalahpahaman dari orang lain ketika mengungkapkan apa yang sedang kamu rasakan. Tetapi sekalipun kamu diam, orang lain pun tetap salah memahamimu.

Orang lain mencoba menebak-nebak tentangmu, dan ketika mereka menebak mereka bertindak seolah mereka TAHU kamu. Mereka MEMAHAMIMU. Padahal sejatinya tidak. Tebakan mereka salah dan mereka belum cukup memahami atau setidaknya MENGENALMU. Itulah kenapa kamu memilih diam. Sekali lagi, mungkin karena sekalipun kamu berbicara ataupun diam, itu tidak pernah cukup membuat orang lain memahamimu.

Jangankan berbicara. Melalui tulisan pun, mungkin mereka juga akan salah memahamimu.

Kemudian suatu hari, ada keinginan dari dalam dirimu untuk mencoba keluar dari sangkarmu sendiri. Mencoba membaur dengan mereka--meskipun cukup sulit bagimu--tapi pada akhirnya kamu menjadi bagian dari diri mereka (hooray!) meski tidak pernah terlibat dalam percakapan apapun.

Kamu mencoba membaur dengan memasangkan telinga, karena kamu tahu jika bicara tak pernah bisa membuatmu menjadi bagian dari diri mereka, setidaknya kamu bisa mendengarkan segala keluh kesah mereka dan membuat mereka merasa kamu akan selalu ada untuk mereka, and that's enough for you.

Aku mengalaminya di tahun-tahun terakhir. Dimana aku tidak pernah merasa dekat dengan teman sekelasku sendiri, aku selalu menarik diri dari mereka hanya karena aku dan mereka tidak pernah sepaham seiya sekata. Kemudian ketika aku menjadi mahasiswa, memiliki teman-teman baru, aku mencoba untuk membuka diriku. Awalnya hanya sedikit, kemudian kubuka semakin lebar. Hasilnya adalah, sekalipun aku tak pernah terlibat pembicaraan dengan mereka aku masih menjadi bagian dari mereka, dari guyonan mereka, hanya dengan memasang telinga.

Aku memutuskan untuk menguji sejauh mana aku bisa keluar dari sangkarku dengan memperluas my social circle. Aku bergabung dalam suatu komunitas yang sesuai dengan hobiku, dan sekalipun aku tak pernah paham apa yang mereka bicarakan (karena jujur saja aku baru pertama kali tergabung dalam suatu organisasi, sedangkan yang lain sudah lebih dulu memiliki banyak pengalaman dalam organisasi), setidaknya aku punya wadah untuk menyalurkan hobiku. And, once again, that's enough for me.

I know, sebagian dari kalian mungkin akan berpikiran bahwa aku tidak seharusnya seperti ini. Aku harus mengikuti lebih banyak organisasi untuk lebih memperluas lingkarang sosial, aku harus terlibat dalam lebih banyak kegiatan, aku harus banyak bergerak/jumpalitan/berlarian ke sana ke mari untuk bertemu banyak orang. But, let me tell you something, saran-saran semacam itu memang baik sekali untukku hanya saja aku memiliki caraku sendiri dan aku yang paling tahu seberapa keras aku perlu mencoba dan seberapa jauh aku akan berlari nantinya.

Well, mungkin tulisan ini cenderung menjadi semacam curhat. But for all of you readers, siapapun yang mungkin sedang membaca ini dan merasa ada di posisi yang sama, you know you are not alone. You have your own world? That's normal. Berusaha untuk membuka diri pada dunia baru pun tidak pernah mudah, tetapi tidak ada salahnya mencoba. Tidak ada yang salah untuk hanya memiliki satu atau dua orang teman karena kamu selektif, dan karena memang tidak semua orang harus dan akan mengenal serta memahamimu sebaik temanmu itu :)

Minggu, 29 Oktober 2017

Malamku Kini Penuh

Menjadi seseorang yang menunggu malam hanya untuk menuliskan untaian kata terkadang amat membosankan. Seolah hidupku bergantung pada malam. Kemudian aku sadar bahwa, kata-kata yang selalu tersendat untuk kutuliskan bukan karena malamku yang tak kunjung datang. Malamku datang tiap hari. Tetapi rasa bosan untuk menyentuhkan jemariku disela-sela huruf ini terasa begitu berat.

Malamku sudah lama menjadi berbeda. Bagiku, malam selalu membawaku ke berbagai suasana yang berbeda. Setahun belakangan ini, malamku bergelora. Ia meliukkan rindu, membagi ruang dan waktuku hanya untuk merenungkan satu hal, meniupkan impian-impian baru akan masa depan. Ia tidak lagi menutup mataku untuk satu hal yang telah lama jauh tertinggal, tetapi aku menolak untuk menerima kenyataan itu. Ia telah lama tidak memakukan harapanku pada banyak hal yang telah lama luruh. Dan ia telah berhenti menahan siang agar lama hadir dan membuyarkan suasana-suasana yang sering menyelinap datang.

Malam selalu membuatku banyak berpikir dan membayangkan berbagai hal. Menatap masa depan rasanya lebih mantab jika kulakukan sambil berbaring mendengar suara-suara malam. Merindukan seseorang rasanya bisa lebih menyenangkan jika kurasakan ketika menatap kegelapan dan hening yang menyelimuti sekitar.

Rasa kehilangan juga sempat menemaniku berbincang dengan malam. Namun kini, malamku tak pernah lagi terasa kosong. Kehilangan itu berganti menjadi rasa yang terisi penuh. Sesekali ia begitu penuh hingga rasanya malam tidak sanggup menampung, dan harus berbagi dengan siang. Siangku pun akhirnya mulai terisi pula.

Terisi oleh kenyataan bahwa Tuhan menggantikan kehilanganku dan aku sangat menyadarinya.

Malamku kini penuh renungan bahwa Tuhan benar-benar tidak pernah mengambil apapun yang dari makhluk-Nya. Ia hanya akan menggantinya dengan hal lain yang lebih tepat dan lebih baik. Misalnya kehadiran orang lain. Aku menyadari beberapa hal yang membuatku sempat mengira bahwa kehadiran orang yang lama sudah tepat, tetapi Tuhan punya keyakinan lain. Aku bertanya pada diriku sendiri, dan bertanya dalam diam pada Tuhan ketika ia tiba-tiba menghilangkannya, kenapa ia cepat sekali menjauh? Kenapa sekarang rasanya berbeda? 

Kemudian Tuhan menjawab dengan memberiku kehadiran akan orang yang lain. Kehadiran yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Dan ketika ia hadir mengisi tempat yang kosong di malamku, aku menyadari kehadirannya ternyata telah mengembalikan harapan-harapan dan impian-impianku akan masa depan.

Malamku berubah. Ia kini liat menghadirkan impian-impian baruku yang lebih hidup. Aku kini menyadari bahwa harapan-harapanku di malam-malam yang lama, bersama seseorang yang lama, hanyalah harapan-harapan kosong. Namun kini, malam-malamku bermandikan harapan yang lebih nyata dan bersamanya kurasa aku akan bisa lebih kuat untuk berjuang meraih harapan itu.

Hal apa yang lebih patut disyukuri ketika Tuhan menghadirkan seseorang yang akan menemani dan membawamu menuju harapan yang lebih nyata?

Dan untukmu yang telah Tuhan hadirkan, a man with everything in his eyes, terima kasih karena sudah mau hadir dan singgah. Kali ini singgahlah lebih lama, dan selamanya :)

Sabtu, 01 Juli 2017

Unspoken Promises: A Man with Everything in His Eyes



Aku menyukai matanya.

Dua bola mata yang menyimpan segalanya. Begitu dalam seolah jika aku menatapnya lama aku akan tenggelam hingga ke dasar-dasarnya. Menemukan segala jawaban yang selama ini hanya berani kutanyakan pada diriku sendiri, dalam hati, tanpa berani kuutarakan. Menemukan semua hal yang selama ini disimpannya rapat tanpa ada orang lain yang tahu.

Pertama kali bertemu, kedua mata itu adalah hal pertama yang menarik perhatianku. Membuatku ingin menatapnya lama. Mengadukan pandanganku cukup dalam hingga menembus retinanya dan mengaduk segala hal yang ingin kutemukan di balik kedua kelopak matanya.

Terkadang kulihat kedua bola mata itu bersinar. Meletupkan semangat yang secara ajaib menular padaku. Ada sesuatu di balik mata itu yang menggelegak ingin keluar: semangat yang berapi-api.

Terkadang kedua bola mata itu berkerling jahil. Menyampaikan serangkaian lelucon yang menyegarkan. Mengundang tawaku yang selalu tanpa sempat kutahan meledak begitu saja. Mata yang begitu jenaka yang selalu saja membuatku merasa begitu baik hingga rasanya aku sanggup melupakan semua kesedihanku sendiri.

Sesekali aku sempat merasa takut. Kedua mata itu pernah kutangkap sedang mengukung kobaran api yang menyala-nyala. Ada kemarahan yang dipenjarakan di sana. Ada dendam akan masa lalu yang seolah ingin segera dilepaskan. Seolah ada kotak Pandora di balik kedua tatapannya yang menuntut untuk segera dibuka. Aku merasa menyusut menjadi begitu kecil dan seluruh dunia menjadi jauh lebih besar dari yang sanggup kuhadapi ketika melihat sorot matanya yang demikian.

Tetapi, dari sekian kesan yang kudapat dari sepasang kedua mata yang menarik itu adalah sebuah kesan yang seolah ingin menarikku ke dalamnya. Berdiam diri di dalam kedua bola matanya, meringkuk senyaman mungkin, dan menghabiskan hari-hariku di sana. Tatapan yang tidak mengintimidasi, yang tidak membuat siapapun ingin menarik diri, tetapi tatapan yang seolah menjanjikan segala kenyamanan.

Pernah suatu ketika aku melihat kedua bola matanya sedang menyalurkan segala janji yang tidak bisa diucapkan. Janji yang barangkali jika aku bisa menyelami tatapannya lebih jauh, adalah janji tentang kenyamanan. Kedua bola mata itu, anehnya, terasa bisa memelukku. Aku nyaman berada di sana. Aku merasa aman dan terlindungi.

Aku tak tahu bahwa hanya dengan kedua bola mata itu aku bisa merasa demikian.

Aku sangat menyukai matanya.

Barangkali memang tidak baik mengimpikan kenyaman yang sederhana hanya dengan melihat kedua matanya. Tetapi, jika aku boleh merindukan sesuatu tentangnya, aku merindukan matanya. Selalu kedua matanya.

Mata yang memiliki segalanya, yang tidak menjanjikan apapun selain kenyamanan yang sederhana, dan itu lebih dari yang kubutuhkan saat ini.

Kedua bola mata yang memberikan candu akan secangkir coklat di genggaman tangan di tengah musim dingin.

Sepasang mata yang membuat anak kecil tak takut akan gelap ketika lilin yang dinyalakannya terbakar habis.

Sepasang mata yang menyediakan tempat berteduh di sela-sela hujan.

Sepasang mata yang seperti bola dunia beserta segala rahasia yang ditanamkan Tuhan di dalamnya.

Sepasang mata yang tidak sanggup kuabaikan, barangkali, selamanya.

Sepasang mata itu, saat ini sedang kurindukan. Teramat sangat.

Jumat, 09 Juni 2017

What A Best Thing that You Should Do at Least Once in a Lifetime?

Good morning, Everyone! This is my first note that I wrote in English and I don't know is it better enough to be posted or not. But I think that by writing my notes in English will help my note to be read by everyone around the world (?) or maybe it could help me to improve my writing skill.

So, Guys, It's still early morning and I've sat down near the window with a laptop in front of me. Ready to write something that I wish for I could do at least once in my lifetime.

Some people talked about what's crazy thing that you should do in your teenage moments. Sometimes the things are some cliche things like have a crush, a first kiss, hit your Daddy's car into the tree, or lie to your Mom to get more pocket money. Well, that's not the best things that you should do at least once in a lifetime. That things maybe you HAVE DONE in many times in your life.

So, today I will make some lists about something that I should do at least once in a lifetime. Those best things are:

1. Have My Own Library
I love books. Well, not all the kind of books but I love to read to escape from my real world. If I read a fantasy book it bursts my imagination into the high level like I could really know what's the author tell into the story. I love to meet a dragon and a warrior and see him fighting for a Princess in the castle. I like to see a fantasy world inside my head with its fantasy creatures. My friend once told me that he really don't understand why I love fantasy books and said that I'm a genius person. So, I asked him back because I'm not sure the reason why he said that I'm genius? I don't read some kind of intelectual book like what he did (He loves philosophy books too much and I think he's the smartest guy in my college department). My friend answered my question by saying "Well, imagination is the highest intelectual like what Albert Einstein ever said." And then he said to me that it's hard for him to read a thick fantasy book. Well, all those opinions about a smart person based on the book that he read is a subjective point of view, I guess.

2. Step My Foot To a Place in Every Islands of Indonesia
I ever wonder how and when I could start to make a trip around Indonesia, my own country. It's the biggest archipelago state in the world and as its citizens is a big dream for me to visit Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Papua, and all! The other reason to visit those Islands is to make a direct-contact with those different cultures, to meet the people, to learn new things, and to be more respect with the difference around me.

3. Enjoy the Sunrise in Merauke and the Sunset in Sabang
For me, sunrise is a magical moment in the morning. It shows me a new hope with a new journey that I should make. I like to spend so much time in the morning to enjoy sunshine everytime I opened my window. It's so warm and remind me about my dreams. I don't know how could a sunshine reminds me about my dreams but it does. Sunset for me is a sign to be thankful about what have I got in a whole day. I thank for healthiness, for laugh, and for surround by people who love me. To be thankful is a sign for me to always believe in God for every mercy that He gave to me.

4. Visit Village and Tulip Garden of Holland
If I have a chance to visit Europe I would choose Holland to be the country that I'll visit first. I don't know how my first chance come but I always tell myself to believe that the chance will come unpredictable. I ever asked myself, "Why Holland?". And as long as I could remember I want to visit Holland because we have a related history. I want to know the history behind a country which ever made a colonization in my own country many years ago. The places that I want to visit the most is Giethoorn and Keukenhof. Giethoorn is a village in Holland with no cars. People only allowed to use bicycle or boat or walking to visit another place. And Keukenhof is the the place where you can find tulips everywhere-So many tulips if you visit that place on April! I can imagine that those places must be the most beautiful place that I will visit oneday.

5. Find A Man who Makes My-Best-Things Come True
I think it won't fun if I do my best things in the best place alone. I need another person to accompany me and there's no special person but a man who will make my-best-things in mylife come true. And to find a man like that should be the once in my lifetime. No other. There's no amazing moment except visit new place, do crazy things, make some road trips with the one you love the most.

Well, there are five best things that I, or maybe you guys, should do at least once in a lifetime. Those lists are more like goals and that my goals which I should fighting for. If I reread my lists I guess the last list should be the first list. But it's okay if I'll do my four lists above by myself. The last one will follow, oneday. I hope so. Hahahaha.

Alright, Guys. This is the end of my note today. Sorry if I haven't writing well because it's my first time to write in English. I'll make another note in English again, someday. Thank you for reading my note and I hope your best things will come soon. See ya!

Sabtu, 06 Mei 2017

Bahasa Petjuk: Bahasa Belanda khas Masyarakat Pribumi Indonesia pada Masa Kolonial


PENDAHULUAN   
Belanda adalah salah satu negara di sebuah benua Eropa yang juga dikenal dengan sebutan Netherland atau Holland. Negara penghasil susu dan keju ini memiliki ibukota di Amsterdam dan uniknya merupakan sebuah negara yang memiliki ketinggian di bawah permukaan air laut, sehingga Belanda perlu melakukan beberapa pengerukan untuk meninggikan tanahnya agar tidak sering terkena banjir. Negara yang juga menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer ini secara geografis berbatasan dengan Belgia di selatan, Laut Utara di utara dan barat, dan juga berbatasan laut dengan Jerman serta Inggris.

Dalam kaidah antropologi, bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari kesenian, religi, mata pencaharian, bahasa, teknologi, ilmu pengetahuan, dan organisasi sosial (Koentjaraningrat, 2009:164). Dikutip dari Republika.co.id (Puspaningtyas dan Nursalikah, 2016), diketahui bahwa di dunia ini terdapat kurang lebih 7.000 bahasa yang digunakan hampir oleh tujuh milyar orang yang berakar dari beberapa rumpun bahasa. Belum ada yang tahu pasti induk bahasa utama dari seluruh bahasa di dunia, namun terdapat beberapa rumpun bahasa yang menurunkan beberapa bahasa-bahasa yang hingga kini masih digunakan. Misalnya saja Austronesia, Indo-Eropa, Dravida, dan sebagainya.

Rumpun bahasa Indo-Eropa merupakan salah satu rumpun bahasa yang tersebar di hampir seluruh belahan dunia khususnya di daratan Eropa. Rumpun bahasa ini kemudian menurunkan beberapa bahasa salah satunya adalah Bahasa Belanda. Kemudian dalam pelayaran-pelayaran yang dilakukan oleh para pedagang Belanda untuk memperoleh rempah-rempah, bahasa ini ikut terbawa hingga ke kepulauan Hindia Belanda.

Pada masa kolonialisme, penggunaan bahasa Belanda mulai meluas bahkan hingga ke kalangan pribumi. Adanya dominasi dari orang-orang Belanda dalam mendirikan kekuasaan di Hindia Belanda mendorong masyarakat pribumi mau tidak mau untuk turut memahami penggunaan Bahasa Belanda. Pada masyarakat pribumi, golongan pertama yang mampu memahami bahkan menggunakan bahasa Belanda adalah golongan para bangsawan. Hal ini dikarenakan golongan bangsawan merupakan golongan yang lebih sering berinteraksi dengan orang-orang Belanda dibandingkan dengan golongan dari kelas menengah ke bawah. Kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa Belanda juga turut didorong dengan adanya pendidikan formal (sekolah) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.

Penggunaan bahasa Belanda pada masa kolonial di Indonesia kemudian turut mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pribumi sekaligus dengan gaya hidup mereka. Dalam kehidupan sosial, bahasa Belanda juga turut digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa pengantar di sekolah, bahkan bahasa ini mulai dipahami oleh kalangan bawah.

Kini jumlah masyarakat Indonesia yang memahami bahasa Belanda dan menggunakannya secara fasih mulai berkurang. Tidak seperti pada masa kolonial atau pergerakan dimana hampir seluruh tokoh intelektual dan beberapa masyarakat pribumi mampu menguasai bahasa ini secara fasih untuk melakukan diplomasi atau berhubungan dengan orang-orang Belanda. 
PEMBAHASAN
Sejarah, Perkembangan, dan Struktur Bahasa Belanda
Telah disebutkan sebelumnya bahwa di dunia ini terdapat beberapa rumpun bahasa yang kemudian menurunkan beberapa cabang bahasa dan dialek yang digunakan oleh seluruh manusia di dunia. Beberapa di antaranya adalah rumpun bahasa terbesar, salah satunya yaitu rumpun bahasa Indo-Eropa yang digunakan di hampir seluruh pelosok dunia, khususnya di benua Eropa. 


Sumber: Wikipedia, 2016.
Gambar 2.1.1. Peta Persebaran Rumpun Bahasa Indo-Eropa (area yang berwarna hijau tosca)

Sama seperti sebuah pohon silsilah dalam suatu keluarga, rumpun bahasa Indo-Eropa kemudian menurunkan beberapa anak bahasa dan dialek, dimana salah satu di antaranya adalah bahasa Belanda (Lihat bagan 2.1.1). Rumpun bahasa Indo-Eropa sendiri menurunkan beberapa cabang bahasa. Berikut ini adalah cabang bahasa dari Indo-Eropa yang tersebar di beberapa wilayah berdasarkan penemuan teks-teks dalam bahasa tersebut menurut Beekes (2011:17-30), Indo-Iranian yang digunakan oleh mayoritas ras Arya; Tocharian (China); Armenian (Yunani); bahasa-bahasa Anatolian seperti Hitite, Palaic, dan Luwic; Greek (Yunani), Illyrian (Kosovo, Makedonia sebelah barat, Italia sebelah selatan); Venetic (Italia); Italic; Celtic (Eropa sebelah tengah); Lucitanian (Portugal dan Spanyol sebelah barat); Germanic (Norwegia dan Swedia sebelah selatan, Denmark, pesisir Jerman).


Bagan 2.1.1. Penurunan Bahasa Belanda dari Rumpun Bahasa Indo-Eropa
 
Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa bahasa Belanda berkerabat dengan bahasa Jerman. Itulah sebabnya pengucapan dan struktur kedua bahasa ini memiliki kemiripan. Biasanya pengucapan kata dalam kedua bahasa ini bisa sama, tetapi penulisannya berbeda, misalnya ‘kursi’ dalam bahasa Belanda disebut stoel dan dalam bahasa Jerman disebut stool, ‘buku’ dalam bahasa Belanda disebut boek dan dalam bahasa Jerman disebut book, atau ‘minum’ dalam bahasa Belanda disebut drinken dan dalam bahasa Jerman disebut trinken. Pada perkembangannya di masa kini, bahasa Belanda kemudian digunakan sebagai kata serapan dalam bahasa Indonesia yang masih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Ada banyak sekali kata serapan dalam bahasa Belanda. Menurut kamus praktis Belanda-Indonesia karya Albert van Honthorst dan Windy Novia beberapa kata serapan di antaranya adalah pilot, ambulance, antenne, kraan, kraag, boontjes, dansen, zadel, schakelaar, soup, doker, oom, strijken, saucijs, netjes, gang, stopfles, gordijn, zuster, tante, dan masih banyak lagi.

Menurut Chapman (1992:14), Indo-Eropa lebih umum disebut dengan Indo-Germanic dalam studi yang dilakukan di Jerman. Teori mengenai Indo-Eropa atau Indo-Germanic juga menyatakan bahwa rumpun bahasa ini adalah nenek moyang dari hampir seluruh bahasa modern saat ini. Hampir sama dengan pendapat Beekse, Champ kemudian membagi rumpun bahasa Indo-Germanic menjadi nenek moyang kelompok bahasa yang lebih modern seperti Common Germanic, Common Slavonic, Common Celtic, Common Italic, Common Hellenic, Common Indo-Iranian, dan sebagainya. Cabang bahasa-bahasa ini kemudian menurunkan bahasa-bahasa yang dikenal saat ini, misalnya cabang bahasa Common Germanic menghasilkan bahasa Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, dan Inggris. Berikut ini adalah bagan penurunan bahasa Belanda dari rumpun bahasa Indo-Eropa menurut Chapman:


Bagan 2.1.2. Cabang-cabang Rumpun Bahasa Indo-Eropa atau Indo-Germanic Menurut Chapman

Sedangkan Willems, Dkk. (2016:8), memiliki versi lain dari percabangan bahasa Proto-Germanic hingga ke bahasa Belanda. Salah satu hasil dalam jurnal penelitiannya disebutan bahwa cabang bahasa Proto-Germanic memiliki dua dialek yaitu West Germanic dan Old Norse. Pada dialek jenis West Germanic muncullah beberapa dialek bahasa salah satunya adalah dialek bahasa Belanda mengikuti dialek bahasa yang lain seperti dialek Inggris, Sranan (di wilayah Suriname), Penn Dutch (Pennsylvanian Deutsch), Jerman, Frisian (di wilayah Belanda, Jerman, Denmark), Flemish (di wilayah Belgia), dan Afrikaans (di wilayah Afrika Selatan, Namibia, Botswana, dan Zimbabwe).

Tentunya bahasa Belanda yang digunakan pada masa kini berbeda dengan masa lampau. Pada abad ke-5, perkembangan bahasa Belanda baru pada tahap Old Dutch (bahasa Belanda lama). Bahasa Belanda lama ini dituturkan oleh penduduk yang menempati daerah di Belanda bagian selatan, Belgia bagian utara, Prancis bagian utara, hulu Sungai Rhine, dan Westphalian di wilayah Jerman. Penduduk Belanda bagian timur seperti Achterhoek, Overijssel, dan Drenthe menggunakan bahasa Saxon Lama yang juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Belanda Lama (Wikipedia, 2016).
 
Pada perkembangannya, di abad ke-9 bahasa Belanda lama (Old Dutch) berubah menjadi bahasa Belanda pertengahan (Middle Dutch) sebelum kemudian menjadi bahasa Belanda yang digunakan hingga kini. Perbedaan tersebut terletak pada penggunaan huruf vokal yang berada di akhir suku kata (Lihat tabel 2.1.1.).

Tabel 2.1.1. Perbedaan Bahasa Belanda Lama dan Bahasa Belanda Pertengahan

Perbedaan lain yang menunjukkan adanya evolusi dalam bahasa Belanda diambil dari kitab Mazmur Wachtendonck 55:18. Dalam ayat ini bahasa Belanda Lama memiliki campuran dengan bahasa Latin (Lihat tabel 2.1.2.).
 

Tabel 2.1.2. Evolusi Bahasa Belanda
Dalam suatu bahasa, biasanya terdapat dialek. Namun perlu dipahami bahwa bahasa dan dialek adalah dua hal yang berbeda tetapi saling memengaruhi. Adanya suatu perbedaan dialek dalam sebuah bahasa ditentukan oleh dua hal, yaitu letak geografis dan wilayah kelompok penuturnya, sehingga ada dua jenis dialek yaitu dialek geografis dan dialek regional.

Tidak menutup kemungkinan bahwa percakapan dengan bahasa yang dituturkan oleh dua orang berdialek berbeda masih bisa saling dimengerti. Hal ini disebabkan karena dialek merupakan bagian dari bahasa kemudian muncul pemahaman bahwa pemakai suatu dialek dapat mengerti dialek lain. Misalnya, penggunaan bahasa yang hampir sama dengan dialek berbeda antara Belanda dan Jerman. Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan Belanda-Jerman terbiasa menjalin hubungan dengan masyarakat yang berbeda suku bangsa. Ketika seorang suku bangsa Jerman menggunakan bahasa Jerman dalam berkomunikasi dengan suku bangsa Belanda, suku bangsa Belanda tersebut dapat mengerti apa yang diucapkan dan membalasnya dengan bahasa ibu mereka. Begitupun sebaliknya (Sumarsono, 2014: 21 dan 23).

Heeringa dan Nerbonne dari Groningen University menggunakan dua puluh tujuh dialek atau perbedaan pengucapan suatu kata di dua puluh tujuh area berbeda di Belanda dalam risetnya. Data yang digunakan kedua tokoh ini untuk membandingkan dialek adalah Reeks Nederlands(ch)e Dialectatlasen (RND) oleh Blancquaert dan Peé (1925-1982). Jika dua puluh tujuh daerah di Belanda dengan dialek yang berbeda disebutkan dari ujung utara hingga ke selatan Belanda, maka dialek-dialek yang berbeda tersebut terletak di Scheema, Veendam, Eext, Beilen, Ruinen, Koekange, Staphorst, Hasselt, Zalk, Oldebroek, Nunspeet, Putten, Amersfoort, Driebergen, Vianen, Hardinxveld, Zevenbergen, Oudenbosch, Roosendaal, Ossendrecht, Clinge, Moerbeke, Lochristi, Nazareth, Waregem, Zwevegem, dan Bellegem (Heeringa dan Nerbonne, 2002:378). Berikut ini adalah peta persebaran dialek di dua puluh tujuh wilayah di Belanda,


Gambar 2.1.2. Titik Persebaran Dialek Bahasa Belanda di Belanda

Bahasa Petjuk sebagai Bahasa Belanda versi Masyarakat Pribumi Indonesia pada Masa Kolonial
Bahasa Belanda awalnya dibawa oleh para pedagang dari Belanda yang berlayar di kepulauan Indonesia untuk melakukan transaksi dengan penduduk pribumi. Para pedagang Belanda sudah mulai melakukan perdagangan sejak tahun 1595 di Banten dan Sunda Kelapa (Poesponegoro, Dkk., 2009:29), maka dapat dipastikan pula bahwa pada tahun tersebut para pedagang Belanda telah melakukan interaksi dengan penduduk pribumi khususnya tokoh masyarakatnya.

Penggunaan bahasa Belanda di kalangan pribumi meluas ketika dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dalam melakukan kegiatan belajar. Pendidikan di Indonesia sudah dibuka sejak abad ke-18 dimana pada abad tersebut kegiatan pendidikan baru bersifat individu atau perseorangan. Pada abad ke-19 sistem pendidikan diubah menjadi klasikal atau berkelompok. Namun, pendidikan menggunakan bahasa Belanda baru dimulai di abad ke-20 setelah ditetapkannya politik etis (Agung dan Suparman, 2012:22).

Politik etis adalah  salah satu upaya untuk menyejahterakan rakyat Indonesia sebagai salah satu bentuk kritik terhadap perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia secara semena-mena dan merugikan rakyat Indonesia baik secara ekonomi maupun sosial. Politik ini bertujuan untuk mengadakan desentralisasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat salah satunya melalui pendidikan (Poesponegoro, Dkk., 2009:22).

Pendidikan yang dikembangkan di Indonesia berjenjang. Namun, hanya anak-anak dari golongan bangsawan saja yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak dari golongan bangsawan memiliki hak istimewa untuk bersekolah di Sekolah Belanda untuk kemudian dapat melanjutkannya ke Sekolah Dokter Java atau Sekolah Pamong Praja. Tentunya, dalam jenis sekolah semacam itu bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda.

Meluasnya penggunaan bahasa Belanda ke kalangan masyarakat yang lebih rendah muncul ketika masyarakat tersebut meminta untuk diberikan kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial menerapkan rencana untuk memasukkan bahasa Belanda dalam pembelajaran di Sekolah Kelas 1 untuk masyarakat dari golongan bawah pada tahun 1907. Pelajaran bahasa Belanda diberikan kepada siswa di kelas III hingga kelas VI oleh seorang guru dari bangsa Belanda (Agung dan Suparman, 2012:24).

Pada interaksi sosial antara kaum-kaum remaja yang mengenyam pendidikan Belanda, mereka lebih terbiasa terbuka dan menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan bahasa daerah dianggap tidak relevan dalam kegiatan-kegiatan formal seperti dalam forum pembelajaran. Bahkan penggunaan bahasa Belanda pun juga dilakukan pada kegiatan-kegiatan informal sebagai lambang intelektualitas mereka (Soekiman, 2011:37).

Pendidikan penggunaan bahasa Belanda kemudian meluas pada kehidupan sosial masyarakat pribumi. Bahkan untuk golongan masyarakat yang bekerja sebagai seorang pelayan atau pesuruh dengan seorang Belanda sebagai majikan mereka, mereka pun pada akhirnya memahami penggunaan bahasa Belanda. Meski secara dialek atau pengucapan, bahasa Belanda yang dituturkan oleh mereka tidak sama persis dengan dialek atau pengucapan orang Belanda asli. Penggunaan bahasa Belanda di kalangan pribumi mencapai 5.000 orang dan 75% di antaranya merupakan orang Jawa. Suratno (2013:29 dan 102) mengatakan,
Orientasi pribumi terhadap bahasa Belanda dapat dibedakan dalam beberapa kategori. Pertama, dilihat dari wujud bahasa Belanda, pribumi (a) meniru dengan menggunakan kosa kata bahasa Belanda secara utuh, termasuk peniruan bahasa yang tidak sempurna, dan (b) melakukan penyesuaian dengan sistem bahasa Jawa. Kedua, dilihat dari corak pemakaian bahasa Belanda oleh pribumi, penggunaan bahasa Belanda pada orang Jawa dapat dibedakan atas (a) pemakaian kosa kata yang bersifat praktis (lazim) oleh pribumi pengajaran atau priyayi modern, (b) pemakaian kata sapaan Belanda, (c) pemakaian bahasa Belanda dalam komunikasi keseharian, dan (d) pemakaian bahasa Belanda dalam komunikasi tidak langsung.

Dalam melakukan percakapan sehari-hari antara masyarakat pribumi pun terkadang juga menggunakan bahasa Belanda yang sudah bercampur dengan bahasa lokal. Soekiman (2011:22-24) menyebutkan bahwa sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-20 sudah ada pembauran antara bahasa Melayu dengan bahasa Belanda. Pembauran bahasa ini dimulai dari bahasa yang digunakan oleh keluarga dari golongan pegawai-pegawai pemerintah Belanda dalam komunikasi sehari-hari kemudian turut digunakan pula oleh golongan masyarakat Indo-Belanda. Awalnya, bahasa ini berkembang di Batavia kemudian menyebar hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses pembauran ini kemudian memunculkan istilah bahasa Pijin atau bahasa campuran yang biasanya digunakan oleh orang-orang Belanda yang memiliki ibu dari suku Jawa, atau orang-orang turunan China, dan Timur Asing.

Percampuran bahasa di  Jawa disebut dengan bahasa Pecuk (Petjoek) yang umum digunakan di daerah Semarang dan sekitarnya sebelum masa Perang Dunia II. Namun, terdapat perbedaan penggunaan bahasa Pecuk di daerah-daerah di pulau Jawa. Misalnya, di Batavia penggunaan bahasa Pecuk mengandung unsur bahasa Melayu dan Cina, di Bandung mengandung unsur bahasa Sunda, di Surabaya mengandung unsur bahasa Jawa dan Madura.

Bahasa Pecuk umumnya digunakan oleh golongan dari kelas bawah atau golongan masyarakat berdarah campuran Indo-Belanda atau bahkan oleh masyarakat Belanda yang terbuang dari golongannya. Meski bahasa ini terkenal sebagai bahasa untuk kaum kelas bawah, bahasa ini juga populer di kalangan kaum kelas atas. Namun, ada larangan keras bagi golongan kelas atas untuk menggunakan bahasa Pecuk dalam komunikasi di dalam rumah karena dianggap tidak sopan atau hina. Ketidaksesuaian penggunaan bahasa Pecuk di lingkungan keluarga golongan atas didasarkan pada sebuah anggapan bahwa bahasa Pecuk adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat dari kulit berwarna dimana masyarakat tersebut dalam stratifikasi sosialnya berada di kalangan lebih rendah dari golongan masyarakat kulit putih (Eropa). Berikut ini adalah contoh percakapan dalam bahasa Pecuk yang dikutip dari Het Javindo, De Verboden Taal karya De Gruiter (dalam Soekiman, 2011:25).


KESIMPULAN
            Bahasa Belanda adalah salah satu anak bahasa yang berasal dari salah satu induk bahasa yang terbesar di dunia yaitu Indo-Eropa yang tersebar di hampir seluruh benua Eropa. Sebagai anak bahasa yang serumpun dengan bahasa yang lain seperti bahasa Jerman dan bahasa Inggris, bahasa Belanda memiliki kemiripan karakter dengan keduanya khususnya bahasa Jerman. Di beberapa daerah di Belanda, bahasa Belanda pun memiliki dialek-dialek yang berbeda. Tidak hanya itu, dalam sejarahnya bahasa Belanda mengalami beberapa perkembangan antara lain Old Dutch, Middle Dutch, dan Dutch yang digunakan pada masa kini. Perkembangan selanjutnya di Indonesia adalah penggunaan kata serapan bahasa Belanda yang begitu banyak dan masih digunakan dalam percakapan sehari-hari di Indonesia. Pada masa penjelajahan samudera untuk mendapatkan rempah-rempah, bangsa-bangsa Belanda kemudian berlayar hingga ke kepulauan Nusantara. Mereka membawa serta pengaruh bahasa mereka yang kemudian diajarkan secara luas kepada golongan bangsawan di bangku pendidika. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa kaum pribumi dari kalangan bawah pun dapat berbahasa Belanda, hanya saja diucapkan sesuai pelafalan bahasa daerah. Percampuran bahasa Belanda dan bahasa daerah, khususnya Jawa, kemudian disebut sebagai Bahasa Petjuk. Pengaruh bahasa Belanda dalam kehidupan sosial masyarakat pribumi pada masa kolonial pun cukup besar.

DAFTAR RUJUKAN
Agung, Leo. Suparman. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Beekes, Robert, S. P. 2011. Comparative Indo-European Lingusitic An Introduction. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.
Chapman, Malcolm. 1992. The Celts: The Construction of a Myth. Great Brittain: The Macmillan Press LTD. Dari LinkSpringer, (Online) http://link.springer.com/chapter/10.1057/9780230378650_2#page-1, diakses pada 20 September 2016.
Heeringa, Wilbert. Nerbonne, John. 2002. Dialect Areas and Dialect Continua. Cambridge University Press, (Online), 13(2001): 375-400 (http://search.proquest.com/results/588F53A04BD74ADFPQ/1?accountid=38628) diakses pada 25 September 2016.
Honthorst, Albert van. Novia, Windy. 2010. Kamus Praktis Belanda-Indonesia Indonesia-Belanda. Surabaya: Kashiko Publisher.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Dkk., 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
___________. 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Puspaningtyas, Lida. Nursalikah, Ani. 2015. Terpetakan! Jumlah Populasi Bahasa di Seluruh Dunia, Dimana Posisi Indonesia? (Online) http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/12/29/o02mbk366-terpetakan-jumlah-bahasa-di-seluruh-dunia-dimana-posisi-indonesia diakses pada 20 September 2016.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suratno, Pardi. 2013. Masyarakat Jawa & Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Penerbit Adi Wacana.
Wikipedia. 2016. Rumpun Bahasa, (Online) https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:IndoEuropeanTree.svg diakses pada 20 September 2016.
_________. 2016. Old Dutch, (Online) https://en.wikipedia.org/wiki/Old_Dutch#Relation_to_Middle_Dutch diakses pada 20 September 2016.
Willems, Matthieu., Dkk., 2016. Using Hybridization Networks to Refrace the Evolution of Indo-European Languages. BMC Evolutionary Biology. Dari Bookmetrix, (Online) http://www.bookmetrix.com/detail/chapter/3e5226bc-686e-4b0e-81c9-1ff165e49ada#citations, diakses pada 20 September 2016.