Sudah berlalu dua minggu sejak terakhir aku menulis catatan di sini. Setelah aku melihat lagi beberapa catatanku, ternyata aku sudah membuat catatan yang cukup banyak sejak aku membuat blog ini hampir setengah tahun yang lalu. Bagiku ini adalah sebuah pencapaian besar ketika aku bisa konsisten menulis, kemudian mengunggahnya di internet, dimana kesempatan agar catatanku dibaca banyak orang lebih memotivasiku untuk terus membuat catatan.
Awalnya, aku
cenderung tertarik untuk menulis kisah-kisah fiksi dimana hampir 90%-nya adalah
fiksi bergenre romansa. Kisah-kisah itu kemudian kuunggah dalam akun
wattpad-ku. Namun hingga saat ini catatan-catatan itu tak memiliki kemajuan.
Rupanya suasana hati yang mudah bosan belum sepenuhnya hilang dari dalam diriku.
Itu sebabnya aku berpikir bahwa menulis catatan-catatan random dengan topik
yang berubah-ubah dan sesuai suasana hati semacam ini barangkali lebih cocok
untuk kutekuni.
Tapi tidak
menutup kemungkinan bahwa aku akan menyelesaikan semua kisah-kisah fiksi yang
masih berupa draft yang terabaikan. Aku merasa memiliki tanggung jawab untuk
menuntaskannya. Jadi, untuk kalian yang sempat membaca kisah-kisah fiksi
karangan Warapam di Wattpad barangkali bisa sedikit memaklumiku. Hahaha…
Oke. Kali
ini, sesuai judulnya, aku ingin membahas tentang pengalamanku tinggal dengan
seorang teman yang memiliki banyak perbedaan denganku, khususnya dari segi
etnis dan religi.
Aku pernah
menyebutkan di catatanku yang lama tentang perbedaan di luar sana dimana aku
cukup tertarik dengan budaya-budaya di luar sana yang berbeda dengan budayaku
sendiri. Kali ini, di saat aku memasuki hari-hari menjadi seorang mahasiswa,
rupanya kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang multietnis terbuka
begitu saja.
Secara garis
besar catatan ini akan berisi tentang beberapa hal yang berkaitan
dengan temanku yang berbeda etnis denganku. Bukan bermaksud untuk rasis, tapi
justru sebaliknya, hal ini membuatku senang. Karena aku menemukan hal-hal baru
dan aku merasa bahwa aku tinggal di sebuah dunia yang besar, dengan ragam
penduduk dan etnis yang besar dan unik pula, dan aku terdorong untuk
mengetahuinya satu demi satu.
Tapi mungkin
aku akan menggunakan nama samaran di dalam catatan ini karena aku secara resmi
tidak meminta izin darinya untuk menuliskan beberapa hal tentangnya di sini.
Lagipula … mungkin ia tidak akan setuju karena sebenarnya ia orang yang agak tertutup.
Meski sebenarnya ketika aku sudah mengenalnya dengan begitu baik ia tidak
benar-benar setertutup ‘itu’.
Jadi, temanku
ini bernama (sebut saja) April. Dia berasal dari sebuah daerah di Manggarai
Timur, Flores. Awal aku mengenalnya aku sudah begitu excited karena … siapa
pula yang tidak excited bertemu dengan teman baru dari daerah yang berbeda?
Selain itu, aku seperti biasa selalu dipenuhi rasa ingin tahu tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan budayanya serta kehidupan masyarakat tempatnya
tinggal. Sebenarnya, bukan cuma aku saja yang ingin tahu tentang hal tersebut.
Beberapa temanku juga merasa ingin tahu, dan April akan dengan senang hati
menjelaskan.
Satu hal yang
aku kagumi dari dia adalah meski dia berasal dari daerah yang secara kultur
berbeda dengan aku dan teman-temanku, serta memiliki jarak tempuh yang cukup
jauh, dia begitu bangga dengan daerah dan budayanya. Kami, bisa dibilang hampir
tiap malam, berbicara mengenai beberapa hal mengenai daerahnya. Dan ia dengan
dipenuhi semangat akan dengan senang hati mengisahkan beberapa hal mengenai
daerah tempat tinggalnya. Sesekali kami akan tertawa bersama ketika saling
berbincang.
Secara fisik,
April memang berbeda denganku. Tentu saja karena secara etnis kami berbeda. Dan
baik aku maupun dia cukup nyaman dengan perbedaan ini.
Secara kultur
kami juga memiliki perbedaan dan kisahnya sendiri-sendiri. Banyak hal yang aku
tahu mengenai lingkungan tempatnya berasal dari kisahnya sendiri. Bagaimana
karakter orang-orang di kampungnya, bagaimana hidup masyarakat di sana,
bagaimana mata pencahariannya, dan keunikan-keunikan lain yang belum pernah
kubayangkan.
Semakin ia
sering bercerita mengenai kampungnya, mengenai keluarga, dan masyarakat di
sekitar tempat tinggalnya, semakin aku ingin mengunjungi daerah tempatnya
tinggal. Semakin ia bercerita banyak hal denganku mengenai tradisi, kehidupan
sosial, dan budaya daerahnya membuatku semakin ingin tahu.
April
menunjukkan karakter masyarakat dari daerahnya dengan cara yang unik dan
menyenangkan. Seperti yang kita ketahui bahwa karakter orang-orang dari
Indonesia bagian timur mayoritas adalah orang yang tegas. Hal ini terlihat
tentang bagaimana guru-guru dan orang tua di daerah tempat tinggal April juga
memiliki karakter tegas.
Di sisi lain,
April juga menunjukkan bagaimana kehidupan bermasyarakat di kampungnya terasa
begitu menarik ketika ia bercerita bagaimana ketika ia pulang kampung setelah
satu tahun menghabiskan waktunya sebagai mahasiswa di Jawa. April bercerita
bahwa untuk sampai ke kampungnya ia harus menaiki minibus selama sekitar 8 jam
dari bandara di Labuan Bajo. Itupun minibusnya hanya bisa mengantarnya sampai ke gerbang
kampung. Untuk sampai ke tempat tinggalnya ia masih harus berjalan kaki
beberapa menit. Satu hal yang sangat unik adalah ketika ia bercerita bahwa
ketika ia pulang, tetangga-tetangganya satu kampung akan menjemputnya dan membawakan
beberapa tas dan kopernya. Rasa kekeluargaan dan kehangatan bisa begitu jelas
kubayangkan.
Dari
kisah-kisah April aku selalu membayangkan bahwa lingkungan tempatnya tinggal
pasti menyenangkan. Dengan orang-orang di sekitarnya yang masih memegang teguh
kekeluargaan, orang-orang yang ramah, dan masih saling membantu sama lain.
Tinggal
dengan April selama satu tahun di atap yang sama, tidur di tempat yang sama,
serta berbagi banyak hal membuatku cukup nyaman. Selain perbedaan etnis, kami
juga berbeda secara religi. Aku seorang muslim, dan ia Katolik. Sebagai
sama-sama anak rantau yang jauh dari rumah masing-masing, kami cukup sering
saling mengingatkan untuk melakukan ibadah. Kami juga cukup menghormati satu
sama lain. Dan tiap malam ketika akan beranjak tidur, ketika aku sedang
melakukan sembahyang Sholat Isya’ menghadap ke barat, ia melakukan sembahyang
tepat di sampingku menghadap ke timur. Ia juga cukup sering bertanya, “Kamu
nggak sholat?” dan pertanyaan itu secara tidak langsung telah mengingatkanku
untuk tidak lupa melakukan ibadah.
Barangkali
kesamaan di antara kami adalah rasa ingin tahu antara satu sama lain. Kami
cukup sering membicarakan banyak hal terkait budaya, tradisi, dan mungkin agama
antara satu sama lain. Dan sejauh yang kami tahu kami cukup menikmatinya. Bukan
untuk mencari mana yang lebih baik, tapi untuk merasakan bahwa perbedaan di
dunia ini banyak dan perbedaan itu rupanya membuat kami saling menghargai satu
sama lain. Begitulah pertemanan kami berlangsung hingga saat ini.
Karena kami
sama-sama mengambil jurusan sejarah di kelas yang sama, kami tentunya belajar
banyak hal di lingkup sejarah. Aku merasa bahwa belajar sejarah benar-benar
membuat kita bisa melihat banyak aspek dari dimensi waktu dan tempat yang
berbeda-beda. Belajar sejarah membuat perbedaan kami seolah-olah terdobrak.
Sebagai seorang beretnis Jawa yang belajar sejarah, aku melihat banyak sekali
budaya-budaya dan etnis-etnis yang menarik untuk dipelajari. Aku tertarik untuk
mempelajari segala budaya yang ada di Indonesia dan dunia. Sebagai seorang
Muslim yang belajar sejarah, aku juga paham bagaimana perkembangan agama-agama
lain baik di Indonesia dan dunia, entah itu kepercayaan animisme-dinamisme dan agama-agama
lain.
Barangkali
rasa ingin tahu April mengenai perbedaan di dunia ini bisa sama besarnya
denganku. Ketika aku banyak mendapat informasi darinya, ia tak kalah ingin tahu
juga. Aku dan temanku pernah membantunya belajar Bahasa Jawa dan ia cukup
antusias. Dan beberapa kali ia banyak bertanya tentang tradisi, budaya, dan
agamaku. Sama dengannya yang selalu antusias untuk menjelaskan, akupun juga
selalu antusias. Kami sama-sama antusias untuk mendapat informasi-informasi
baru.
Satu hal yang
membuatku cukup tersentuh adalah ketika ia mengambil Sejarah Islam sebagai mata
kuliah pilihannya semester ini. Aku yakin ia tidak sedang melakukan
perbandingan dengan agamanya sendiri. Semata-mata adalah karena rasa ingin
tahunya dan itu ditunjukkan bagaimana ia dengan gigih memahami mata kuliah ini.
Berteman
dengan April tidak hanya membuatku lebih menghargai perbedaan. Tetapi juga
membuatku terdorong untuk memahami lebih banyak lagi perbedaan. Mendapat
informasi-informasi yang baru. Mengeksplor banyak daerah untuk bertemu
orang-orang baru, memahami tradisi dan budaya baru, serta belajar bahasa baru. Aku
tidak melihat bagaimana perbedaan kami kelak akan menjauhkan kami. Aku justru
melihat bahwa perbedaan kami tidak akan menimbulkan masalah apapun karena kami
cukup menghargai satu sama lain. Dan menghargai satu sama lain adalah kunci
utama untuk tinggal di dunia yang penuh aneka ragam hal dari berbagai aspek. Karena bagaimanapun juga aku sadar bahwa aku tinggal di dunia yang begitu besar dimana aku hanyalah setitik noktah yang tidak sengaja berada di dalamnya.