Minggu, 14 Februari 2016

Seorang Introvert dan Perbedaan di Luar Sana

Selamat pagi, semuanya! Selamat menyambut 14 Februari sebagai Hari Minggu.

Ya, hari ini banyak orang merayakan kasih sayang. Membeli cokelat yang dibungkus kertas warna pink, membawa bunga mawar, dan membeli boneka teddy bear untuk orang yang menurut mereka sendiri pantas untuk disayangi dan dirayakan bersama.

Perayaan yang semacam ini sedang gencar-gencarnya menuai pro dan kontra. Banyak juga sih yang berpendapat, "Ngapain ngerayaan Valentine's Day? Orang Islam tidak merayakan itu. Itu perayaan orang kafir!" Ada juga yang pendapatnya gini, "Hari kasih sayang kan harusnya dirayakan tiap hari." Tapi banyak juga yang teriak-teriak nggak bakalan mau ngerayain hari kasih sayang tapi dalam hati ngarep dikasih cokelat sama bunga dari gebetan. Uhuk.

Oke, mari coba kita telaah satu demi satu. Pendapat pertama yang kontranya luar biasa dengan perayaan Valentine's Day ada benarnya juga. Sejauh yang saya tau (kalau saya nggak tau atau memang pendapat saya salah tolong dibenarkan, ya. Tulisan ini terbuka untuk kritik dan masukan, kok) Islam memang tidak mengenal Valentine's Day. Islam juga tidak merayakan Hari Kasih Sayang. Tapi saya yakin, para muslim yang menyayangi sesama (sesama teman atau sesama tetangga yang beda agama sekalipun. Bahkan sesama makhluk Tuhan) tidak perlu merayakannya. Cukup melakukan hal-hal yang baik saja untuk menunjukkan bahwa mereka sayang.

Tapi .... pendapat pertama ini mulai bikin saya gemes ketika dikoar-koarkan dengan menuduh semisal "Dia kafir!" karena merayakan Valentine's Day. Katanya "Bagimu agamamu, bagiku agamaku" tapi kok masih sibuk nuduhi orang kafir hanya karena mereka merayakan sesuatu yang berbeda? Hanya karena mereka menyembah Tuhan yang berbeda dengan kalian? Okelah, katakan kalian menganggap seseorang kafir. Tapi dengan mengata-ngatai mereka kafir sama sekali tidak mengubah apapun. Jangan asal men-judge seseorang yang berbeda dengan kita hanya karena kalian menganggap mereka kafir. Sepanjang yang saya tahu, hanya Tuhan yang punya hak men-judge makhluk-Nya. Sesama makhluk Tuha ya cobalah bikin hidup kalian damai-damai saja. Selow~

Pendapat yang kedua tentang 'merayakan' hari kasih sayang sepanjang hari. Agak geli karena bisa saja pendapat seperti ini memunculkan tuduhan "Wah, berarti yang merayakan hari kasih sayang sepanjang hari jauh lebih kafir! Islam tidak merayakan hari-hari semacam itu!" (Trust me. Aku pernah mendengar ada yang berpendapat seperti ini). Seperti yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya bahwa men-judge orang lain itu hak Tuhan. Hidup mah dibikin damai-damai saja. Rukun sama orang lain, saling menghormati, saling membantu. Kalau misalnya orang itu ternyata memberi pengaruh negatif pada diri kita ya silahkan melipir-melipir agak menjauhkan diri macam orang ketahuan selingkuh. Bentengi dirimu dari pengaruh negatif!

By the way, tentang koar-koar yang akhir-akhir ini memenuhi timeline twitter saya mengenai kafir. Jadi begini, saya sempat tertawa geli ketika ada seseorang yang kelihatannya begitu alim memposting beberapa cuitan di twitternya. Dia seorang perempuan dengan tubuh tertutup rapat mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di cuitannya itu dia mempermasalahkan satu hal. Yaitu tentang seseorang yang kafir. Nggak tau lah seseorang yang dia maksud ini orang yang dia kenal atau orang lain yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya. Cuitannya sih nggak ada yang marah-marah dan mengata-ngatai. Halus ... tapi menohok.

Saya tidak tahu kenapa, ya, tapi kalau membaca cuitannya dia cenderung menghakimi orang lain yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengannya itu sebagai orang kafir. Hak-hak dia juga sih sebenarnya mau ngapain. Tapi, kalau dipikir-pikir ada yang mengganjal juga.

Kita hidup di negara yang multikultural. Dengan lebih dari 17.000 pulau, sekitar 1331 suku (Indonesia Industri, 2016), 746 bahasa daerah, dan 6 agama resmi yang diakui, ditambah lagi kepercayaan-kepercayaan lainnya yang pastinya berbeda antara suku yang satu dengan yang lain. Negara kita kaya luar biasa. Multikultural kata orang-orang.

Apa iya dengan perbedaan sebanyak itu akan membuat kita saling men-judge kafir satu sama lain?

Jadi, intinya orang yang saya maksud tadi kebanyakan mengkritik kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaannya. Seolah mengesampingkan bahwa Tuhan juga meminta umatNya untuk selalu menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda dengan kita. Mana ada sih agama yang mengajarkan pemeluknya untuk menghina, mengata-ngatai, bahkan menyakiti orang lain? Tidak ada sama sekali. Sekali lagi, cobalah hidup damai dengan tidak mencampuri urusan orang lain apalagi sampai menimbulkan konflik.

Kembali ke permasalahan para jomblo yaitu Valentine's Day. Well, secara pribadi saya memang tidak merayakannya apalagi sampai beli cokelat berbatang-batang, membungkusnya dengan kertas pink, menuliskan alamat rumah saya, lalu mengirimkannya sendiri via pos agar seolah-olah ada seseorang yang mengirimkan saya cokelat. Maaf-maaf saja. Saya memang jomblo tapi nggak sengenes itu juga.

Bagi saya Valentine's Day sama seperti hari-hari lainnya. Ketika orang yang begitu heboh merayakannya dan merasakan suasana yang sarat warna merah muda, coklat, dan bunga di mana-mana, saya .... ya biasa saja. Tapi bagi saya tidak masalah melihat orang lain merayakannya. Itu adalah perayaan yang mereka yakini dan mereka bahagia bisa merayakannya. Saya tidak mengusik mereka dan mengganggu kebahagiaan mereka. Karena saya berpikir bahwa pasti rasanya jengkel juga kalau saya merayakan ulang tahun, misalnya, kemudian ketika saya tiup lilin ada orang yang mengganggu pesta saya dan mengeluarkan pendapat-pendapat brutal yang menohok hati saya.

Saya melihat banyak sekali perbedaan yang sebenarnya membuat hidup ini apik-apik saja. Coba bayangkan jika kita tinggal di dunia yang isinya adalah hal yang sama. Berinteraksi dengan orang yang itu-itu saja. Semuanya sama. Pacarmu sama. Ibumu sama. Bapakmu sama. Gebetanmu sama. Jenuh juga, kan?

Saya bersyukur tinggal di negara yang sekaya Indonesia. Perbedaan budaya membuat saya ingin sekali mengunjungi banyak tempat, berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda, menggali pengalaman sebanyak mungkin, dan bertukar pikiran. Indah sekali rasanya jika dibayangkan.

Tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Tuhan hanya sedang meminta kita untuk tumbuh sebagai umatNya yang mampu menghargai dan menghormati orang lain. Hidup berdampingan dengan damai dan saling membantu. Tuhan Maha Kreatif, kok. Itu sebabnya Dia mampu membuat seluruh dunia berisi hal-hal yang berbeda. Kalau kita masih menginginkan agar semua sama, berarti kita perlu piknik. Negara ini terlalu indah untuk dikotori hal-hal yang seharusnya tidak perlu.

FYI, saya muslim. Tapi saya sering bertemu dengan orang yang berbeda dengan saya, baik dari segi kepercayaan atau budaya. Rasanya meyenangkan bisa berkumpul dengan orang-orang yang 'berbeda' dengan saya karena saya jadi mendapat banyak hal baru dan pengalaman baru. Saya mampu memahami bahwa ternyata dunia ini tidak hanya sebatas pada diri saya, keluarga dekat saya, kepercayaan saya, dan budaya saya. Dunia ini begitu luas dengan banyak hal-hal baru yang bisa kita eksplor.

Sekian saja ya pendapat saya hari ini. Maaf loh kalau ada pihak-pihak yang tersinggung. Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca tulisan saya. Sampai jumpa di tulisan-tulisan selanjutnya :)

Jumat, 12 Februari 2016

Seorang Introvert Mencoba Keluar dari Zona Nyaman

Apakah yang paling dihindari seorang introvert di dunia ini? Berinteraksi dengan orang lainkah? Mengunjungi tempat-tempat barukah? Atau keluar dari persembunyiannya--tempat yang selalu membuatnya nyaman?

Tidak. Seorang introvert bukanlah anti-sosial. Mereka bukan orang-orang yang malu berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga bukan orang yang takut memulai pembicaraan. Mereka hanyalah para pengamat yang mengamati kalian, orang lain yang gemar sekali berkumpul dan membicarakan banyak hal. Tapi, seorang introvert bukanlah orang yang tidak suka berkumpul dan membicarakan banyak hal. Mereka hanya menjalin pembicaraan dan berkumpul dengan orang-orang yang sudah dikenalnya melalui pengamatan sejak beberapa lama sebelumnya.

Ya, aku memang seperti itu. Aku adalah sosok yang bisa kalian lihat ada dalam kelompok tapi juga tidak menjadi bagian dari kelompok itu. Bukan karena orang lain tidak memedulikanku atau aku menarik diri dari mereka. Tapi aku cenderung sering mendengarkan dan memahami pembicaraan mereka dalam diam. Aku berpikir. Aku mengamati. Aku memahami. Kemudian aku akan berbicara ketika aku memang sedang ingin berbicara.

Seperti itulah pribadi seorang introvert. Mereka, bahkan aku diam bukan karena kami menjaga jarak. Tapi karena kami lebih nyaman mengamati dan mendengar orang lain. Kalian bisa bercerita apapun padaku dan aku akan senang hati mendengarkan.

Butuh waktu sedikit agak lama bagi seorang introvert untuk membentuk pertemanan karena mereka hanya memiliki satu saja seseorang yang mereka percayai sebagai sahabat. Sosok di mana seorang introvert kerap menceritakan banyak hal apapun yang ia rasakan. Dan ketika sosok tersebut menghilang, bisa ditebak bagaimana rasanya ada satu hal yang hilang dalam di seorang introvert. Mereka seolah kehilangan telinga yang sering menjadi tempatnya bercerita. 

Seorang introvert tidak mudah memercayai siapapun, tapi bukan berarti mereka tidak bisa berteman dengan siapapun. Mereka bisa, tetapi butuh waktu untuk membuat diri mereka nyaman.

Dalam tulisan ini aku tidak sedang menceritakan diriku sendiri saja. Tulisan-tulisan di atas hanyalah intermezo. Sekarang mari kita masuk ke catatan yang sebenarnya:

Sebagai seorang introvert, yang cenderung menghindari perkumpulan dan lebih sering berada di luar komunitas sebagai pengamat individu, aku sedang menantang diriku sendiri. Barangkali ini adalah salah satu cara di mana aku perlu keluar dari zona nyamanku. Ya, selama ini aku nyaman dengan kesibukan dan hobiku sendiri. Membatasi diriku hanya untuk diriku dan orang-orang yang sama saja. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah baru. Aku mendorong diriku sendiri untuk masuk dalam sebuah komunitas dengan berjuta-juta keraguan yang mengiri langkahku.

Memang benar aku ragu apakah aku bisa menjadi bagian dari komunitas yang kuikuti secara penuh. Aku ragu apakah aku bisa tekun beraktivitas di dalamnya. Karena komunitas ini memiliki banyak anggota di mana aku besok secara resmi didaulat sebagai anggota tetap.

Komunitas ini adalah komunitas kepenulisan. Sesuai dengan hobiku. Sesuai dengan pasion-ku. Sesuai dengan salah satu cita-citaku: seorang penulis yang sukses. Selain karena aku ingin menantang diriku sendiri dengan keluar dari zona nyaman yang ternyata membuatku bosan, aku juga butuh setidaknya sedikit kegiatan untuk membuat kisahku sebagai seorang mahasiswi menjadi lebih berwarna. Tidak monoton.

Ada banyak hal yang memotivasiku untuk keluar dari zona nyaman. Katakanlah dari teman-temanku yang memiliki banyak kegiatan. Aku ingin seperti mereka yang pasti mendapatkan banyak pengalaman. Atau teman-temanku yang berprestasi dalam hal tertentu karena mereka menekuni pasion mereka. Aku pun ingin seperti mereka. Tentunya dengan menekuni pasion-ku dan tidak membatasi diriku untuk berkembang.

Hari kedua aku mengikuti kumpul komunitas ini adalah hari-hari di mana aku seperti biasa memilih untuk menjadi pendengar setia. Duduk di lingkaran mereka dan tertawa bersama tanpa sedikitpun mengeluarkan guyonan atau pendapat seperti yang lainnya lakukan. Sebenarnya aku berada di dalam komunitas yang memiliki anggota-anggota yang menyenangkan, ramah, dan terbuka. Tapi seperti yang sudah kusebutkan sebelumnya aku tidak begitu mudah menjalin pertemanan. Meski begitu ada harapan dariku aku bisa berteman baik dengan mereka semua.

Pada akhir pertemuan kedua hari ini, salah seorang kawan yang bertindak sebagai penanggungjawab komunitas mengatakan, "Ayo, Wara. Bergabung saja dengan kami. Jangan galau terus." Aku menyalaminya sambil tertawa dan mengatakan, "Tidak, Mas. Aku tidak sedang galau." Kenyataannya memang karena aku tidak galau. Rupanya orang lain melihat aksi diam dan mendengarkanku adalah karena aku sedang galau. Padahal tidak juga.

Esok adalah hari pertama diklat yang diselenggarakan komunitas kepenulisan yang kuikuti. Kegiatannya hanyalah mendengarkan materi dan membuat karya. Pada hari kedua, kami akan turun ke masyarakat dan mencoba bersosialisasi dengan salah satu dari masyarakat itu untuk menggali kehidupannya. Ini adalah tantangan terbesarku.

Berinteraksi dengan orang asing sampai harus meng-kepo-i kehidupan mereka adalah hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Meski aku tahu bagaimanapun juga aku perlu berinteraksi dengan masyarakat dan mencoba peka pada kejadian-kejadian sosial di sekitar mereka. Aku pun meyakinkan diriku sendiri bahwa aku pasti bisa. Motivasiku adalah karena aku ingin suatu saat nanti mengunjungi banyak tempat dan berinteraksi dengan berbagai macam masyarakat dengan budaya yang berbeda-beda, kemudian aku akan menuliskannya di sini. Jadi, kegiatan meng-kepo-i seseorang di hari kedua diklat kuanggap sebagai tantangan besar yang perlu kulewati dengan mulus dan sukses.

Baiklah. Mari kita lihat apakah sebagai seorang introvert aku bisa keluar dari zona nyamanku? Kalian, para pembaca, akan menjadi saksinya. Pantau terus saja blog ini untuk tahu sampai sejauh mana aku berkembang (jika kalian memang ingin tahu).

Akhir kata, terima kasih karena sudah membaca tulisanku ini. Semoga tulisan ini juga akan mendorong kalian untuk berani keluar dari zona nyaman dan lebih berkembang. Ayo, kita keluar dari zona nyaman bersama-sama dan mendobrak pengalaman-pengalaman baru di luar sana. Aku tahu keluar dari zona nyaman bukanlah hal yang mudah dilakukan. Aku juga merasakan bahwa berat sekali rasanya meninggalkan sesuatu yang membuat kita nyaman dan melakukan sesuatu yang awalnya kita tidak sukai. Tapi sebuah paksaan itu perlu. Memang tidak mudah melakukan sesuatu yang tidak kita sukai. Hanya saja aku memercayai satu hal bahwa tidak semua hal yang dipaksakan itu buruk. Terkadang kita memang perlu keras pada diri kita sendiri untuk melihat sejauh apakah kita mampu melangkah, sejauh apakah kita bisa membuat diri kita berkembang ke arah yang lebih baik.

Let's make a new experience to color your life :)

Kamis, 11 Februari 2016

Welcome!

Selamat malam dan selamat datang di blog terbaruku.

Kenapa malam? Karena seorang introvert thinker biasanya lebih sering begadang demi memikirkan banyak hal. Kemudian ide-ide baru bermunculan dan siap ditumpahkan di halaman ini.

Halo, Pembaca. Namaku Wara. Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah di salah satu universitas negeri di Jawa Timur. Jika kalian bertanya apa hobiku maka sudah jelas jawabannya. I'm an introvert thinker. Jadi, hobiku memikirkan banyak hal. Dari hal yang tidak perlu dipikirkan sampai hal-hal yang memang seharusnya dipikirkan. Dan aku suka menulis!

Barangkali blog ini akan menjadi mediaku menumpahkan opini-opini, atau mungkin juga bisa menjadi diary.
Sebagai seorang introvert yang mempublikasikan diary di blog, kurasa tidak ada salahnya juga.

Aku akan berusaha menulis di blog setidaknya seminggu sekali.

Silahkan kunjungi juga laman wattpad-ku dengan username @warapam untuk membaca beberapa cerita bersambung fiksi karyaku. Terima kasih dan selamat membaca :)