Senin, 19 Desember 2016

Resolusi 2017: Menjadi Peri untuk Anak-anak di Daerah Konflik



Sebuah lagu mengalun perlahan di kedua telingaku. Semula aku tak yakin akan menulis lagi setelah vakum beberapa lama. Rasa bosan yang terlalu lama mengendap memang benar-benar menyebalkantapi bagiku, hal tersebut sekaligus memberikan warna baru pada zona nyaman yang maish belum mampu kutinggalkan sepenuhnya.

Jam tidur yang ideal seharusnya sudah lewat sejak hampir satu jam yang lalu. Tetapi, malam yang sepihanya ditemani suara kipas angin, musik, dan dinding kamar dengan coretan-coretan lama seputar negara mana saja yang ingin kukunjungiadalah waktu yang ideal untuk menulis.

Suasana yang tepat untuk menulis bagiku bukanlah di sebuah meja dengan secangkir kopi atau cokelat hangat. Tetapi di atas tempat tidurku sendiri, bersandar, dan dengan beberapa daftar lagu lama yang diputar secara acak. Lagu-lagu lama itu tak jarang memberiku sensasi yang berbeda ketika menulis. Tergantung jenis musik apa yang sedang kudengarkan.

Well, kurasa tiga paragraf pembuka di atas sudah cukup. Aku tidak akan menambahkan beberapa alasan klise seputar mengapa aku baru menulis lagi di sini setelah lewat dua bulan sejak terakhir kali aku memposting catatanku.

Tapi memang dua bulan belakangan ini banyak hal yang terjadi. Mulai dari tugas-tugas kuliah yang mulai rampung satu per satu, terkapar tidak berdaya karena sakit di tengah-tengah deadline dan menjelang ujian akhir semester, bercanda dan membicarakan hal yang biasa dengan teman yang menurutku itu-itu saja, sesekali pulang ke kampung halaman, terkadang dibuat kesal dengan beberapa hal yang terjadi sepanjang masa akhir perkuliahan semester ini, dan yang paling penting aku baru saja menyambut sepupu baru.

Kemudian tahu-tahu sekarang sudah berada di ujung 2016. Bulan Desember akan habis dalam hitungan hari dan aku bahkan sudah lupa resolusi apa yang kucanangkan setahun lalu tetapi sepertinya hanya terealisasi sepertiganya saja.

Bicara mengenai ujung tahun 2016, jika kurenungkan sekali lagi, ada begitu banyak hal yang sudah kulewati. Barangkali tidak akan muat kutuliskan satu per satu di halaman ini. Bukan karena aku gampang melupakan hal yang remeh-temeh ataupun pelupa, hanya saja aku merasa kejadian yang sudah berlangsung tahun ini kurang lebih sama lah dengan tahun sebelumnya. Mungkin hanya ada beberapa perbedaan sedikit yang menurutku tidak banyak membantuku berubah begitu jauh.

Berubah menjadi pribadi yang lebih baik memang benar-benar membutuhkan niat yang tak hanya seujung kuku.

Banyak hal yang kupikirkan malam ini mengenai apa saja yang telah kulakukan setahun ini. Kemajuan besar apakah yang sudah kulakukan. Kesalahan-kesalahan apakah yang sudah kuperbaiki.

Lupakan sejenak resolusi tahun 2017. Mari kita lakukan evaluasi terhadap apa yang telah terjadi selama satu tahun terakhir ini.

Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, tidak banyak yang berubah di tahun ini. Aku, ya, tetap menjadi seseorang yang selalu ingin keluar dari zona nyaman tapi masih saja terjebak dengan rutinitas-rutinitas yang sama. Seperti berjalan di atas treadmill. Kakiku melangkah tetapi … aku masih di situ-situ saja.

Aku tetap orang yang sama yang selalu ingin melihat dunia luar tanpa terhalang layar kaca dan koneksi internet dari wifi gratis. Tapi, barangkali memang bukan di tahun ini rezekiku untuk pergi ke tempat baru akan terlaksana.

Aku juga tetap menjadi seseorang biasa yang terkadang sibuk dengan pemikiranku sendiri, merajut kisah-kisah di dalam kepalaku tanpa kutuangkan dalam sebuah catatan, membuka draft-draft lama dan mengerutkan kening ketika aku membaca tulisanku sendiri sambil membatin ‘mengapa aku menulis seperti ini?’, mengkhayalkan tokoh fikisku sendiri yang kutulis dalam sebuah cerita, dan mengomentari film-film yang kutonton sendiri untuk kemudian mengatai sutradaranya yang menurutku tak becus hanya karena akhir ceritanya tak sesuai dengan harapanku.

Dan aku masih sama saja dengan pribadi setahun lalu yang mulai bosan dengan daftar lagu di ponselku sendiri tapi enggan menghapusnya dan menggantinya dengan lagu-lagu populer yang baru. Mengganti lagu-lagu lamaku semata-mata hanya akan membuatku lebih ingin mendengarkannya lagi dan lagi.

Sebentar. Aku perlu menghela napas karena aku sedang tidak mengerti dengan apa yang kutulis ini.

Oke. Jadi begini. Intinya, tidak banyak hal-hal yang mengejutkan yang kualami di tahun ini meski kuakui aku memang kadang pelupa jadi barangkali hal-hal yang mengejutkan itu memang ada tetapi aku tanpa sengaja melupakannya. Atau mungkin sebenarnya beberapa hal yang kulalui di tahun ini tidak monoton-monoton amat dan aku sedang berada di suasana yang sedang tertekan makanya aku merasa tidak ada yang istimewa di tahun ini, padahal sebenarnya ada?

Sepertinya aku perlu beberapa saat memikirkan hal-hal apakah yang kulupakan itu?


Oh, aku tahu!!

Kuliah Kerja Lapangan di Candi Kidal bersama teman-teman sekelas. Kurasa itu hal yang paling menarik yang kulalui di tahun ini.

Baiklah. Aku akan mulai menuliskannya di sini secara singkat dan jelas.

KKL itu dimulai ketika semester lalu aku mendapat matakuliah yang … yang dosennya sendiri mengatakan bahwa matakuliah ini adalah matakuliah yang susah dan paling ditakuti mahasiswa. Awal yang cukup mengesankan bagi mahasiswa yang baru memulai pertemuan kuliah pertama setelah Lobus Temporalsalah satu bagian otak yang paling bekerja keras ketika pemiliknya dijejali berbagai tugas kuliah dan dikejar deadlinediistirahatkan selama kurang lebih tiga bulan lamanya. Kurang lebih kesan pertama mengenai matakuliah ini adalah jika tidak sungguh-sungguh dan tekun jangan harap akan lulus!

Setelah beberapa kelompok dari matakuliah ini membahas tema makalahnya sendiri-sendiri, agak sedikit kena bantai dosen, revisi sana-sini, pontang-panting mencari buku sumber, dan mata juling karena mengedit peta, KKL dimulai. Bagiku cukup menyenangkan karena setidaknya meski KKL itu dibayang-bayangi laporan berupa analisis (yang meskipun hanya dua lembar) sebagai tugas akhir, kami masih bisa menyebutnya sebagai ‘jalan-jalan terselubung’. Dan memang itulah yang kami lakukan.

Tapi lebih dari itu, aku benar-benar menikmatinya. Karena kegiatan turun ke lapangan, belajar di luar semacam KKL, dan matakuliah yang horror tapi menantang ini bahkan sudah kuimpikan sejak di bangku SD. Kecuali memang secara pribadi tagihan laporan sebagai tugas akhir, yang meskipun hanya dua lembar itu, tidak pernah kuimpikan sejak jauh-jauh hari.

Kurasa, kegiatan turun ke lapangan, mengukur situs, mendengar kisah-kisah sejarah, masuk halaman rumah orang lain, dan diserang lintah semacam itulah yang memberikan kesan positif padaku di tahun ini.

KKL itu berakhir dengan banyak kesan dan kenangan. Begitu pula semester 5 yang baru saja kulewati. Besar harapanku bahwa tahun ini akan berakhir demikian pula.

Meskipun aku belum juga melaksanakan secara maksimal resolusi yang aku sendiri lupa resolusiku di awal tahun ini kemarin apa, banyak hal yang bisa kusyukuri. Walapun menurutku tahun 2016 terlewati dengan begitu-begitu saja, ada sedikit konflik di sana-sini, dan resolusi yang berantakan setidaknya aku bersyukur bahwa sepanjang 2016 ini aku masih bersama dengan orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku: orang tuaku, saudara-saudaraku, teman-temanku, dan barangkali orang lain di luar sana yang mengenalku meski aku sendiri tak kenal dengan mereka (Apa maksudku?).

Tapi, yah … aku memang tidak bisa menyebutkan bahwa 2016-ku 100% monoton. Tidak bisa begitu. Aku yakin setidaknya dari sekian banyak hal yang bisa kusyukuri, ke depannya hal tersebut akan bertambah lagi dan lagi.

Menjelang ahir tahun ini dan akhir catatan ini mari kita menyusun resolusi untuk tahun 2017.

Tunggu dulu biar kupikir resolusi apa yang ingin kurealisasikan untuk tahun 2017?


Aku butuh resolusi yang tidak standar-standar saja. Yang orang lain mungkin belum terpikirkan dan akan memberi kesan mendebarkan jika orang lain tahu apa resolusiku.

Resolusiku adalah … menjadi peri yang menaiki kuda poni dan menyebarkan kebahagiaan ke anak-anak di wilayah konflik dan negeriku sendiri.

Rabu, 19 Oktober 2016

Teman

Deadline!

Setelah berminggu-minggu aku tidak memposting apapun di blog ini, aku berniat untuk menuliskan sesuatu mengenai topik yang lebih menyenangkan dan baru. Tapi, aku tak memiliki topik apapun selain deretan deadline tugas di belakangku yang makin hari terasa makin dekat.

Aku sedang tenggelam dalam tugas-tugas perkuliahan. Dan untuk mengisi blog ini dengan topik yang baru aku akan mengingat-ingat sejenak kejadian yang menarik yang bisa kutuliskan di sini.

Oh, benar. Aku akan bercerita mengenai teman.

Sebelumnya aku ingin menyebutkan tiga orang teman yang akhir-akhir ini cukup dekat denganku dan sering menghabiskan waktu bersama.

Jadi, sebenarnya aku sudah bertemu dengan mereka sejak awal masuk kelas ketika masih mahasiswa baru dulu di tahun 2014. Itu adalah saat-saat dimana aku dan semua orang di kelas masih bertampang polos, masih sering ribut hanya karena ada tambahan satu tugas (sekarang masih sering ribut juga, sih, perkara tugas), masih pada takut bolos dan datang terlambat ke kelas, dan masih ... pokoknya masih jadi mahasiswa yang lebih tertib dan takut deadline, lah.

Sekarang? Nggak begitu juga, sih. Sudah mahasiswa tua juga soalnya. Dikejar deadline sudah jadi makanan sehari-hari.

Aku masih ingat betul di hari pertama aku masuk kelas, waktu itu hari Senin dan mata kuliah pertama dalah Dasar-dasar Arkeologi, dan aku duduk di baris pertama paling pinggir. Di belakangku, duduk di sebuah kursi di dekat tembok, ada seorang perempuan yang pendiam. Dia diam saja di situ. Sibuk dengan ponselnya. Rambut panjangnya tergerai. Aku menoleh-noleh sejenak ke arah lain dan mendapati rata-rata orang di dalam kelas ini memang saling diam karena, well, we're new students in there without knowing each other before.

Awalnya aku ragu, tetapi kemudian aku mengulurkan tangan untuk mengajak perempuan di belakangku bersalaman. Kusebutkan namaku dan ia menyebutkan namanya. "Putri," katanya perlahan. Dan barangkali karena malu ia melanjutkan kesibukannya lagi. Aku dicuekin.

Wait a secon. Ini kenapa ceritanya seperti aku yang sedang melakukan PDKT?

Whatever-lah. Lanjut.

Nah, itu awalnya aku kenal dengan Putri. Salah satu teman dekatku saat ini.

Ada dua orang lagi yang aku bahkan tidak ingat kapan  dan bagaimana aku pertama kali kenal dengan mereka. Namanya Dhita dan Tita. Dan mereka tidak kembar. Terlalu jauh kemiripan antara keduanya untuk disebut kembar.

Ketiga orang ini, seingatku menjadi teman dekat sejak .......

Tunggu dulu biar kuingat-ingat.

(Ya, Tuhan. Cuaca di sini panas sekali!)

Oh, kalau tidak salah sejak semester tiga atau semester empat awal yang lalu. Awalnya aku tidak tahu apa yang menyebabkan aku menjadi akrab dengan mereka. Karena sebenarnya aku juga akrab dengan semua teman di kelasku. Meski aku cenderung menutup diri di awal-awal semester yang lalu karena aku memang butuh waktu lebih lama untuk membuka diri. Kemudian aku menyadari bahwa faktor yang mendorong kami bisa lebih akrab adalah adanya kesediaan dari masing-masing kami semua untuk memahami satu sama lain, mendengarkan keluh kesah masing-masing, memberikan solusi atau nasehat yang dibutuhkan, dan saling membantu satu sama lain.

Kurasa, memang seperti itulah seharusnya teman itu.

Sebenarnya tidak hanya dengan mereka bertiga saja. Tetapi juga dengan semua orang di kelas, aku mencoba akrab dan berteman dengan semuanya. Namun, memang keakraban dengan seseorang itu didorong oleh beberapa hal. Beberapa di antaranya yang paling jelas adalah faktor kenyamanan dan persamaan prinsip. Bukan berarti aku tidak nyaman dengan teman-temanku yang lain. Aku nyaman dengan mereka semua dan mereka semua juga menerimaku apa adanya. Tapi, untuk membagi hal-hal tertentu bukankah kita cenderung melakukannya pada orang-orang yang paling kita percaya dan yang paling nyaman?

Aku tidak pernah menceritakan beberapa hal mengenai diriku dan mengenai apa yang membuatku terkadang galau berlarut-larut dengan sembarang orang. Bagiku tidak semua orang harus tahu. Tapi, ketika aku sudah nyaman dan percaya dengan seseorang aku akan membicarakan banyak hal yang ingin kubicarakan dan kuungkapkan.

Kembali ke perkara 'teman' tadi. Sejauh ini, mereka adalah teman-teman yang baik. Aku tidak bisa membaca bagaimana perasaan setiap orang dan penilaian mereka terhadapku yang sebenarnya. Aku tidak tahu bagaimana mereka selama ini menerimaku atau bagaimana perasaan mereka ketika berteman denganku. Bagiku, sejauh mereka bersikap baik padaku dan memberikan pengaruh positif aku akan menerima mereka. Lagipula untuk apa kita berteman dengan seseorang yang hanya memberikan pengaruh negatif kepada diri sendiri? Tidak baik untuk moral sendiri, bukan?

Aku cukup sering tahu bagaimana dalam satu kelompok yang terlihat begitu dekat, menyebut diri mereka sendiri adalah teman bagi yang lain, tetapi kemudian pertemanan mereka goyah hanya karena masalah sepele atau karena suatu hal yang menurutku cukup kekanakan. Aku juga cukup sering melihat seseorang yang mendaulat dirinya sebagai teman dari orang lain tetapi rupanya ia berteman hanya untuk memanfaatkan orang lain itu. Aku juga sering mendengar ada seseorang yang membicarakan keburukan temannya di belakang temannya sendiri. Aku juga cukup sering tahu ada seseorang yang meninggalkan teman lamanya hanya karena lebih nyaman atau lebih beruntung jika berteman dengan orang baru.

Hal-hal seperti itu sering terjadi di lingkungan sosial kita. Dan terkadang kita bisa melihatanya sendiri secara jelas. Sementara orang yang dirugikan oleh seseorang yang mengatakan pada orang tersebut bahwa ia temannya, tidak merasa terugikan sama sekali.

Aku juga pernah bertemu seseorang yang mau-maunya saja bertahan untuk dimanfaatkan hanya karena takut kehilangan seseorang sebagai temannya.

Padahal orang-orang semacam itu tidak bisa disebut teman. Mereka bukan golongan orang-orang yang bisa kalian akrabi, bukan golongan orang-orang yang menjadi tempat kalian berkeluh kesah, bukan pula golongan orang-orang yang menerima kebaikanmu secara berlebihan. Mereka hanyalah seseorang yang kehadirannya cukup kau sadari dan seseorang yang sebaiknya cukup kau kenal saja. Tapi untuk menjadi teman? Menurutku, seorang teman bukanlah orang yang mau memanfaatkan orang lain demi kepentingannya apalagi sampai membicarakan keburukanmu di belakangmu.

Aku sudah beberapa kali mengatakan rasa syukur karena telah dipertemukan dengan orang-orang yang tulus menerimaku. Orang-orang yang layak kusebut sebagai teman. Aku pernah berteman dengan seseorang yang ternyata hanya memanfaatkanku saja, dengan seseorang yang memusuhiku hanya karena hal sepele, atau dengan seseorang yang membicarakan keburukanku di belakangku. Aku mengambil pelajaran dari itu semua. Dan hal tersebut membuatku cukup selektif dalam memilih manakah orang yang bisa kupercayai dan kusebut teman dan manakah yang tidak.

Well, kurasa itulah catatanku mengenai teman. Lain kali aku ingin membahas beberapa hal mengenai semua temanku di kelas dimana aku menghabiskan waktu hampir tiga tahun bersama mereka. Apa saja kelakukan gila, pengalaman menyenangkan, perilaku aneh orang-orang yang memang freak, atau hal-hal lainnya.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca catatanku ini. Akan kuusahakan untuk membuat catatan baru tanpa jeda yang cukup lama.

I love you all!

Senin, 29 Agustus 2016

Seorang Introvert dan Perbedaan di Luar Sana Bagian 2


Sudah berlalu dua minggu sejak terakhir aku menulis catatan di sini. Setelah aku melihat lagi beberapa catatanku, ternyata aku sudah membuat catatan yang cukup banyak sejak aku membuat blog ini hampir setengah tahun yang lalu. Bagiku ini adalah sebuah pencapaian besar ketika aku bisa konsisten menulis, kemudian mengunggahnya di internet, dimana kesempatan agar catatanku dibaca banyak orang lebih memotivasiku untuk terus membuat catatan.

Awalnya, aku cenderung tertarik untuk menulis kisah-kisah fiksi dimana hampir 90%-nya adalah fiksi bergenre romansa. Kisah-kisah itu kemudian kuunggah dalam akun wattpad-ku. Namun hingga saat ini catatan-catatan itu tak memiliki kemajuan. Rupanya suasana hati yang mudah bosan belum sepenuhnya hilang dari dalam diriku. Itu sebabnya aku berpikir bahwa menulis catatan-catatan random dengan topik yang berubah-ubah dan sesuai suasana hati semacam ini barangkali lebih cocok untuk kutekuni.

Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan menyelesaikan semua kisah-kisah fiksi yang masih berupa draft yang terabaikan. Aku merasa memiliki tanggung jawab untuk menuntaskannya. Jadi, untuk kalian yang sempat membaca kisah-kisah fiksi karangan Warapam di Wattpad barangkali bisa sedikit memaklumiku. Hahaha…

Oke. Kali ini, sesuai judulnya, aku ingin membahas tentang pengalamanku tinggal dengan seorang teman yang memiliki banyak perbedaan denganku, khususnya dari segi etnis dan religi.

Aku pernah menyebutkan di catatanku yang lama tentang perbedaan di luar sana dimana aku cukup tertarik dengan budaya-budaya di luar sana yang berbeda dengan budayaku sendiri. Kali ini, di saat aku memasuki hari-hari menjadi seorang mahasiswa, rupanya kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang multietnis terbuka begitu saja.

Secara garis besar catatan ini akan berisi tentang beberapa hal yang berkaitan dengan temanku yang berbeda etnis denganku. Bukan bermaksud untuk rasis, tapi justru sebaliknya, hal ini membuatku senang. Karena aku menemukan hal-hal baru dan aku merasa bahwa aku tinggal di sebuah dunia yang besar, dengan ragam penduduk dan etnis yang besar dan unik pula, dan aku terdorong untuk mengetahuinya satu demi satu.

Tapi mungkin aku akan menggunakan nama samaran di dalam catatan ini karena aku secara resmi tidak meminta izin darinya untuk menuliskan beberapa hal tentangnya di sini. Lagipula … mungkin ia tidak akan setuju karena sebenarnya ia orang yang agak tertutup. Meski sebenarnya ketika aku sudah mengenalnya dengan begitu baik ia tidak benar-benar setertutup ‘itu’.

Jadi, temanku ini bernama (sebut saja) April. Dia berasal dari sebuah daerah di Manggarai Timur, Flores. Awal aku mengenalnya aku sudah begitu excited karena … siapa pula yang tidak excited bertemu dengan teman baru dari daerah yang berbeda? Selain itu, aku seperti biasa selalu dipenuhi rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan budayanya serta kehidupan masyarakat tempatnya tinggal. Sebenarnya, bukan cuma aku saja yang ingin tahu tentang hal tersebut. Beberapa temanku juga merasa ingin tahu, dan April akan dengan senang hati menjelaskan.

Satu hal yang aku kagumi dari dia adalah meski dia berasal dari daerah yang secara kultur berbeda dengan aku dan teman-temanku, serta memiliki jarak tempuh yang cukup jauh, dia begitu bangga dengan daerah dan budayanya. Kami, bisa dibilang hampir tiap malam, berbicara mengenai beberapa hal mengenai daerahnya. Dan ia dengan dipenuhi semangat akan dengan senang hati mengisahkan beberapa hal mengenai daerah tempat tinggalnya. Sesekali kami akan tertawa bersama ketika saling berbincang.

Secara fisik, April memang berbeda denganku. Tentu saja karena secara etnis kami berbeda. Dan baik aku maupun dia cukup nyaman dengan perbedaan ini.

Secara kultur kami juga memiliki perbedaan dan kisahnya sendiri-sendiri. Banyak hal yang aku tahu mengenai lingkungan tempatnya berasal dari kisahnya sendiri. Bagaimana karakter orang-orang di kampungnya, bagaimana hidup masyarakat di sana, bagaimana mata pencahariannya, dan keunikan-keunikan lain yang belum pernah kubayangkan.

Semakin ia sering bercerita mengenai kampungnya, mengenai keluarga, dan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, semakin aku ingin mengunjungi daerah tempatnya tinggal. Semakin ia bercerita banyak hal denganku mengenai tradisi, kehidupan sosial, dan budaya daerahnya membuatku semakin ingin tahu.

April menunjukkan karakter masyarakat dari daerahnya dengan cara yang unik dan menyenangkan. Seperti yang kita ketahui bahwa karakter orang-orang dari Indonesia bagian timur mayoritas adalah orang yang tegas. Hal ini terlihat tentang bagaimana guru-guru dan orang tua di daerah tempat tinggal April juga memiliki karakter tegas.

Di sisi lain, April juga menunjukkan bagaimana kehidupan bermasyarakat di kampungnya terasa begitu menarik ketika ia bercerita bagaimana ketika ia pulang kampung setelah satu tahun menghabiskan waktunya sebagai mahasiswa di Jawa. April bercerita bahwa untuk sampai ke kampungnya ia harus menaiki minibus selama sekitar 8 jam dari bandara di Labuan Bajo. Itupun minibusnya hanya bisa mengantarnya sampai ke gerbang kampung. Untuk sampai ke tempat tinggalnya ia masih harus berjalan kaki beberapa menit. Satu hal yang sangat unik adalah ketika ia bercerita bahwa ketika ia pulang, tetangga-tetangganya satu kampung akan menjemputnya dan membawakan beberapa tas dan kopernya. Rasa kekeluargaan dan kehangatan bisa begitu jelas kubayangkan.

Dari kisah-kisah April aku selalu membayangkan bahwa lingkungan tempatnya tinggal pasti menyenangkan. Dengan orang-orang di sekitarnya yang masih memegang teguh kekeluargaan, orang-orang yang ramah, dan masih saling membantu sama lain.

Tinggal dengan April selama satu tahun di atap yang sama, tidur di tempat yang sama, serta berbagi banyak hal membuatku cukup nyaman. Selain perbedaan etnis, kami juga berbeda secara religi. Aku seorang muslim, dan ia Katolik. Sebagai sama-sama anak rantau yang jauh dari rumah masing-masing, kami cukup sering saling mengingatkan untuk melakukan ibadah. Kami juga cukup menghormati satu sama lain. Dan tiap malam ketika akan beranjak tidur, ketika aku sedang melakukan sembahyang Sholat Isya’ menghadap ke barat, ia melakukan sembahyang tepat di sampingku menghadap ke timur. Ia juga cukup sering bertanya, “Kamu nggak sholat?” dan pertanyaan itu secara tidak langsung telah mengingatkanku untuk tidak lupa melakukan ibadah.

Barangkali kesamaan di antara kami adalah rasa ingin tahu antara satu sama lain. Kami cukup sering membicarakan banyak hal terkait budaya, tradisi, dan mungkin agama antara satu sama lain. Dan sejauh yang kami tahu kami cukup menikmatinya. Bukan untuk mencari mana yang lebih baik, tapi untuk merasakan bahwa perbedaan di dunia ini banyak dan perbedaan itu rupanya membuat kami saling menghargai satu sama lain. Begitulah pertemanan kami berlangsung hingga saat ini.

Karena kami sama-sama mengambil jurusan sejarah di kelas yang sama, kami tentunya belajar banyak hal di lingkup sejarah. Aku merasa bahwa belajar sejarah benar-benar membuat kita bisa melihat banyak aspek dari dimensi waktu dan tempat yang berbeda-beda. Belajar sejarah membuat perbedaan kami seolah-olah terdobrak. Sebagai seorang beretnis Jawa yang belajar sejarah, aku melihat banyak sekali budaya-budaya dan etnis-etnis yang menarik untuk dipelajari. Aku tertarik untuk mempelajari segala budaya yang ada di Indonesia dan dunia. Sebagai seorang Muslim yang belajar sejarah, aku juga paham bagaimana perkembangan agama-agama lain baik di Indonesia dan dunia, entah itu kepercayaan animisme-dinamisme dan agama-agama lain.

Barangkali rasa ingin tahu April mengenai perbedaan di dunia ini bisa sama besarnya denganku. Ketika aku banyak mendapat informasi darinya, ia tak kalah ingin tahu juga. Aku dan temanku pernah membantunya belajar Bahasa Jawa dan ia cukup antusias. Dan beberapa kali ia banyak bertanya tentang tradisi, budaya, dan agamaku. Sama dengannya yang selalu antusias untuk menjelaskan, akupun juga selalu antusias. Kami sama-sama antusias untuk mendapat informasi-informasi baru.

Satu hal yang membuatku cukup tersentuh adalah ketika ia mengambil Sejarah Islam sebagai mata kuliah pilihannya semester ini. Aku yakin ia tidak sedang melakukan perbandingan dengan agamanya sendiri. Semata-mata adalah karena rasa ingin tahunya dan itu ditunjukkan bagaimana ia dengan gigih memahami mata kuliah ini.

Berteman dengan April tidak hanya membuatku lebih menghargai perbedaan. Tetapi juga membuatku terdorong untuk memahami lebih banyak lagi perbedaan. Mendapat informasi-informasi yang baru. Mengeksplor banyak daerah untuk bertemu orang-orang baru, memahami tradisi dan budaya baru, serta belajar bahasa baru. Aku tidak melihat bagaimana perbedaan kami kelak akan menjauhkan kami. Aku justru melihat bahwa perbedaan kami tidak akan menimbulkan masalah apapun karena kami cukup menghargai satu sama lain. Dan menghargai satu sama lain adalah kunci utama untuk tinggal di dunia yang penuh aneka ragam hal dari berbagai aspek. Karena bagaimanapun juga aku sadar bahwa aku tinggal di dunia yang begitu besar dimana aku hanyalah setitik noktah yang tidak sengaja berada di dalamnya.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Disney's Princess?



Menjadi seorang putri barangkali adalah cita-cita seluruh anak perempuan di dunia. Dengan gaun-gaun yang indah, rambut panjang, keinginan yang selalu terpenuhi, dan dicintai. Tapi setelah beberapa hal yang kusebut tadi, sepertinya menjadi seorang Princess bukan hanya cita-cita seorang anak perempuan. Hampir semua perempuan ingin menjadi Princess.

Dan mungkin salah satunya adalah aku.

Ini konyol, memang. Aku tahu. Makanya ketika aku memahami dari segi manapun aku tidak cocok hidup sebagai Princess, obsesiku kubantingsetirkan menjadi seorang penggemar Princess.

Usiaku 20 tahun dan dalam beberapa bulan yang tidak akan lama akan bertambah satu tahun lagi. Tetapi menjadi dewasa rupanya tidak menghalangiku untuk menyukai beberapa hal yang sebenarnya dibuat untuk anak-anak.

Di usiaku yang sedewasa ini aku baru menyadari bahwa rupanya aku begitu tertarik dengan Disney’s Princess. Hanya saja jika kurasakan lebih dalam lagi barangkali alasanku tertarik akan jauh berbeda dengan alasan anak-anak menyukai Disney’s Princess.

Sebelum membahas mengenai Disney’s Princess, aku ingin mengatakan bahwa catatan ini sebagai wujud tidak sabarku menanti film Disney terbaru yang memunculkan tokoh Princess yang baru! Hooray!

Jadi begini, teman-teman. Aku memang tidak tumbuh menjadi perempuan yang sejak kecil dicekoki mainan-mainan perempuan apalagi kisah tentang Disney’s Princess. Sama sekali tidak begitu. Justru sebaliknya, masa kecilku lebih diisi dengan kisah-kisah Kancil, film Tom & Jerry, Power Rangers, Saras 008, dan Winnie the Pooh. Tidak ada unsur ‘princess’ nya sama sekali.

Tetapi ketika aku sudah cukup remaja untuk menonton film apapun yang kusukai, entah kenapa justru aku tertarik dengan kisah-kisah Princess ini. Ketertarikanku pertama kali kutujukan pada film Tinkerbell khususnya sosok SilvermistPeri air bergaun biru dan berambut panjang berwarna biru gelap seperti perairan dalam. Dan aku menyukai Silvermist semata-mata karena karakternya yang terlihat lebih anggun dan tidak begitu kekanak-kanakan.

Kemudian satu per satu film Disney mencuri minatku. Aku masih ingat betul beberapa cerita Disney’s Princess. Mulai dari Disney’s Princess yang lebih tua seperti Cinderella (seingatku setting tokoh ini berasal dari Jerman), Snow White, Ariel, Belle (dilihat dari gaya berdandannya mungkin Princess ini berasal dari Prancis), Jasmine (Arabian Princess), Aurora (Sleeping Beauty), Megara (Greece Princess), Jane, Esmeralda (aku tidak paham dengan kisah putri Gypsi yang satu ini karena memang belum menontonnya), dan Pocahontas (Princess Indian yang menjadi salah satu favoritku). Beberapa yang lain adalah Mulan (Princess Tiongkok), Alice in Wonderland (Fantasy Princess), Rapunzel, Tiana (African-American Princess), Thumbelina, Merida (Scotland Princess), dan Anna serta Elsa dari film Frozen.



Aku rasa film-film Disney’s Princess secara garis besar tidak hanya berkisah tentang cinta seorang Putri dan Pangeran. Tetapi ada juga kisah mengenai kesabaran dan keyakinan. Semua Disney’s Princess aku yakin memiliki pesan mengenai bagaimana harus memiliki keyakinan dan kesabaran dalam memiliki sebuah harapan maupun keinginan.

Seiring berkembangnya waktu, aku melihat bahwa Disney memunculkan tokoh-tokoh Princess yang memiliki karakter baru di mana karakter-karakter ini semakin kuat. Jalan cerita yang dibuat pun menurutku tidak klise dan tidak begitu melodrama. Tidak hanya mengenai kesabaran dan keyakinan tetapi juga keteguhan hati, keberanian, kepercayaan diri, kasih sayang, dan pengorbanan. Barangkali, menurutku, karakter yang mulai ditonjolkan di film-film Disney’s Princess belakangan ini adalah keberanian dan keteguhan hati.

Coba bandingkan film Cinderella dari tahun 1970-an dengan film Rapunzel (2010). Kedua kisahnya barangkali memiliki kisah yang sama antara seorang putri yang jatuh cinta dengan pangeran. Tetapi kisah Rapunzel jauh berbeda dengan Cinderella. Bukan hanya karakter pemeran utama prianya yang bukan dari kalangan bangsawan seperti di film Cinderella, tetapi aku merasakan jalan cerita Rapunzel, meskipun tidak semellow Cinderella, rupanya lebih menantang dan lebih menghibur.

Selain itu, seiring berkembangnya waktu, Disney’s Princess tidak lagi digambarkan sebagai seorang Princess yang seolah begitu rapuh, anggun berlebihan, dan terlalu ‘penurut’ dalam artian begitu mudah disakiti tokoh antagonis. Disney’s Princess yang baru seperti Merida, Anna, dan Rapunzel lebih berani dan menyukai tantangan. Tingkah lakunya jelas tidak seanggun Cinderella, Snow White, Aurora, Ariel, atau Belle, tetapi justru ini yang menurutku begitu menarik. Meski beberapa Disney’s Princess yang lebih tua semacam Pocahontas dan Mulan juga sudah menunjukkan bahwa seorang putri tidak cukup hanya berbekal keanggunan bahkan tidak perlu begitu rapuh.

Barangkali anak-anak akan lebih menyukai sosok Disney’s Princess yang sangat cantik, anggun, dan memiliki kisah romansa yang menyentuh dengan seorang Pangeran. Tetapi dalam pandangan perempuan dewasa usia 20 tahun sepertiku, aku memiliki Princess-princess favorit sendiri. Aku akan mengurutkannya sesuai yang paling tua:

POCAHONTAS

Aku tidak ingat kapan film tentang Pocahontas ini dibuat, yang jelas dilihat dari grafisnya film ini sudah terbilang cukup tua. Pocahontas merupakan putri seorang kepala suku Indian bernama Powhattan. Di mana dalam filmnya dikisahkan bahwa ia jatuh cinta dengan seorang tentara kulit putih bernama John Smith. John Smith dan pasukannya berlayar ke tanah Indian untuk menaklukan tanah tersebut, tetapi ia jatuh cinta dengan Pocahontas. Konflik yang terjadi adalah ketika kehadiran John Smith ditentang oleh anggota-anggota suku Pocahontas, dan kisah cinta segitiga antara John Smith-Pocahontas-dan tunangan Pocahontas sendiri. Namun di akhir ceritanya, Pocahontas berhasil meredam konflik antara dua belah pihak sehingga peperangan berhasil dihindari.

Alasanku menyukai Pocahontas mungkin karena secara etnis, dia adalah Princess yang unik karena berasal dari lingkungan yang bisa disebut masih tradisional, dibandingkan Princess-princess yang lain. Karakternya yang terlihat kekar dan kuat juga begitu menarik. Rambut hitam panjangnya yang indah selalu terlihat tertiup angin dan memberi kesan bahwa ia adalah perempuan suku Indian yang tangguh.

Tetapi sebenarnya lebih dari itu semua, aku tertarik dengan kisah Pocahontas karena rupanya kisah ini berasal dari kisah nyata. Hanya saja kisahnya tidak semenarik dalam film. Suku Pocahontas pada akhirnya kalah berperang dengan pasukan John Smith. Ayah Pocahontas, Powhattan, dan tunangannya terbunuh. Sedangkan Pocahontas sendiri dibawa ke Inggris oleh John Smith sebagai seorang tawanan dalam kondisi depresi berat. Hidup Pocahontas tak seindah dalam film. Pada kenyataannya, ia disiksa dan memiliki seorang anak hasil hubungan yang dipaksakan. Di ahir hidupnya, ia meninggal karena suatu penyakit.

MULAN

Princess dari daratan China ini kisah hidupnya lebih menantang dari Princess-princess yang lain. Kisahnya dimulai pada masa Dinasti Han, dimana pada saat itu muncul sebuah perintah bahwa setiap keluarga diwajibkan mengirimkan satu anggota keluarga laki-laki untuk ikut berperang. Sayangnya di keluarga Fa, yaitu keluarga Mulan, satu-satunya laki-laki adalah ayah Mulan yang sudah tua dan sakit-sakitan. Demi menyelamatkan ayahnya, Mulan menyamar menjadi seorang laki-laki dan bergabung dengan pasukan Jendral Zhang menggantikan ayahnya. Ia turut bergabung dalam peperangan dan memiliki sebuah kisah yang cukup heroik.

Mulan membuatku tertarik karena pengorbanan dan keberaniannya. Barangkali ia satu-satunya Princess yang menyamar sebagai seorang laki-laki dan terjun ke medan perang dengan mempertaruhkan nyawanya. Aku berpikir bahwa gelar Princess-nya didapat karena keberaniannya, karena bagaimanapun juga ia tidak berasal dari golongan bangsawan, dibandingkan dengan Princess-princess yang lain. Sebagai sosok perempuan tomboy yang pemberani dan tangguh, karakter Mulan cukup menginspirasiku.

MERIDA

Aku melihat sosok Merida sebagai karakter yang lebih muda dari Pocahontas dan Mulan. Bukan hanya dilihat dari tahun produksinya (2012), tetapi jika dilihat dari sosoknya yang digambarkan secara usia ia memang terlihat lebih muda. Apalagi rambut keriting panjang merahnya yang khas benar-benar mencuri perhatian.

Merida merupakan seorang putri dari Scotland tepatnya dari keluarga Danbroch. Sejak kecil ia tertarik dengan busur dan panah, dan ketika remaja ia begitu ahli menggunakan keduanya. Ia biasa menunggangi kudanya yang bersurai indah bernama Angus ke dalam hutan untuk berlatih memanah. Kemampuannya dalam memanah cukup tinggi karena selain ia bisa memanah sambil menunggang kuda, ia bisa memanah dengan tepat. Dalam kisahnya, ia dipaksa menikah oleh ibunya, Ratu Eleanor, tetapi Merida menolak. Ia jelas belum tertarik untuk menikah dan begitu bosan ketika ibunya mengajarkan segala hal tentang bagaimana menjadi seorang putri yang anggun dan lemah lembut. Sesuatu yang sangat bertentangan dengan karakternya. Pada akhirnya, Merida berhasil meyakinkan ibunya bahwa apa yang menjadi keinginan ibunya belum tentu apa yang menjadi keinginan Merida. Dan itu sebabnya mereka perlu lebih memahami satu sama lain. Menurutku, kisah Merida dalam film Brave begitu menarik dan ada beberapa adegan yang menegangkan.

Selain karena sifat Merida yang membuatku tertarik: pemberani, berkeyakinan teguh, dan percaya diri, aku juga tertarik ketika Merida menunggangi kudanya dan bagaimana ia terlihat begitu mengagumkan ketika sedang memanah. Adegan favoritku dalam film Brave ini adalah ketika Merida memanjat tebing seorang diri untuk mencapai air terjun. Soundtrack film ini juga terdengar khas dan menarik. Barangkali memang ‘begitu’ lagu khas dari Scotland.

Itulah beberapa karakter Disney’s Princess favoritku. Dan sepertinya akan bertambah satu lagi dengan hadirnya Disney’s Princess yang baru dari Kepulauan Hawaii: MOANA.


Film yang memiliki tajuk yang sama dengan pemeran utamanya ini baru akan tayang pada bulan September tahun ini (Seingatku begitu). Kisahnya adalah tentang seorang perempuan Hawaii bernama Moana yang ingin berlayar mengarungi samudra. Baginya, mengapa hanya laki-laki saja yang diperbolehkan dan berani mengarungi samudra dengan perahu? Sebagai seorang perempuan ia juga ingin membuktikan bahwa ia pun bisa melakukan hal yang sama. Ia ditemani dengan seorang pemimpin suku yang bertubuh kekar dan besar. Sepanjang perjalanan diceritakan ia akan bertemu dengan hal-hal baru yang mengejutkan.

Aku penasaran sekali dengan ceritanya. Secara karakter, Moana jelas menarik dan tidak jauh berbeda dengan karakter Merida, Mulan, Pocahontas, dan Rapunzel. Bukan hanya karena pengisi suara salah satu tokohnya adalah Dwayne Johnson, tetapi aku yakin cerita Moana pasti akan ada banyak kejutan dan tak kalah menarik dengan cerita Disney’s Princess yang lain.

Sebagai penutup dari catatan ini aku memiliki sebuah opini. Menurutku, tidak ada salahnya anak-anak menggemari karakter-karakter tersebut dan filmnya. Keduanya memiliki pesan dan pelajaran positif yang bisa ditarik. Disney’s Princess tidak semata-mata mengajak anak-anak untuk bermimpi menjadi seorang putri cantik yang anggun dan bertemu dengan seorang Pangeran, tetapi lebih dari itu. Kisahnya yang menginspirasi bisa mengajarkan anak-anak untuk lebih berani bercita-cita, tangguh, percaya diri, rela berkorban, dan senantiasa menyebarkan kasih sayang. Selain itu, kisah Disney’s Princess selalu memberi harapan baru bahwa segala hal itu mungkin. Segala hal itu penuh keajaiban, dan jika kita yakin, apapun keinginan kita pasti terjadi.

Sekian catatan tentang Disney’s Princess kali ini. Terima kasih sudah menyempatkan membaca blog-ku. Sampai jumpa di catatan-catatan selanjutnya~~