Sabtu, 24 Oktober 2020

JULI DAN MUSIM DINGIN BERKEPANJANGAN

Juli merenung. Terakhir ia hadir di tempat ini sudah berlangsug selama tujuh tahun lalu. Hanya itu yang ia ingat, selebihnya hanya sebuah ingatan samar-samar. Tentang bagaimana aroma di udara itu kini telah berubah. Tentang bagaimana perasaan ditemani itu hadir dalam samar-samar sebuah bayang sosok yang kian meredup hari demi hari.

 

Bangku coklat tua dari kayu ek terasa lebih dingin dari seharusnya. Ini bulan April, seharusnya cuaca tidak sedingin ini. Ia kemudian mencoba untuk meraih ke dalam dirinya sendiri, menerka-nerka mungkinkah rasa dingin itu sesungguhnya bersumber dari dirinya sendiri. Digoyangkan badannya ke depan dan belakang, kemudian direngkuhnya tubuhnya dengan kedua lengannya sendiri. Terasa baju wol hangat yang menyelubungi tubuhnya tidak mampu menahan rasa dingin yang ternyata bersumber dari dalam dirinya sendiri itu.

 

Pegunungan bersalju terasa tampak jauh di depan dan sekelilingnya, namun juga terasa dekat seolah mengepung tubuhnya yang mungil. Di kejauhan dilihatnya Philip, si kuda hitam besar, berlarian mendekati kawanannya, menggangu mereka yang sedang merumput. Kendati padang rumput itu begitu luas, dengan jumputan bunga-bunga Erica cinerea di sekitarnya, Philip tidak peduli. Ia mendekati kawanannya yang merasa terganggu karena didesak terus-terusan. Philip tidak mau sendirian.

 

Juli melihat Philip seperti melihat dirinya sendiri.

 

Langit seharusnya lebih cerah. Biru bersinar dengan gumpalan kapas lembut bergerak berarakan. Tetapi yang dilihat Juli kosong.

 

Ia kemudian mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri. Mungkinkah yang kosong sesungguhnya adalah hatinya sendiri? Sedangkan langit itu, tetap seperti biasa, terbentang biru cerah di bulan April dan mulai keabuan menjelang akhir tahun.

 

Rambut Juli bergerak lembut, sesekali diterpa angin sedikit kuat. Juli membiarkan helaian gelombang rambutnya menyapu kening, pipi, dan setiap sudut wajahnya. Berharap bisa turut pula menyapu sisa-sisa dimana bagian wajahnya pernah disentuh dengan lembut oleh sepasang tangan yang kokoh.

 

Angin itu terasa dingin. Terasa ganjil di bulan April yang seharusnya hangat. Atau mungkin, itu hanya perasaan Juli saja karena telah begitu lama ia hidup dalam musim dingin.

 

Setiap waktu adalah ujung tahun bagi Juli. Cukup dingin dan membekukan. Bahkan tidak bisa dihangatkan cukup dengan segelas coklat atau perapian tua di rumah peninggalan kakek dan neneknya.

 

Sepatu boots Juli terasa ada yang menyenggol. Awalnya ia mengira disenggol kenyataan, bahwa semua hal di dunia ini berkawan. Baik Philip, tangkai-tangkai rumput, jumputan bunga Erica cinerea yang berkelompok, bahkan kawanan awan itu, kecuali Juli. Tetapi ketika Juli menunduk, dilihatnya Poppy menggoyangkan ekornya dengan menggigit sebuah bola baseball.

 

Mata Poppy hitam bulat bersinar-sinar. Terakhir Juli melihat sepasang mata itu juga telah berlalu selama tujuh tahun lalu. Sepasang mata hitam yang bisa menghangatkan akhir tahunnya yang berkepanjangan. Mata itu kini hanya bisa didapatkannya dari seekor anjing pudel berwarna putih.

Dipungutnya bola baseball itu dari mulut Poppy. Dilemparkannya jauh-jauh, berharap dirinya ikut terlempar dari tempat itu. Tempat itu, sama seperti tempat-tempat sebelumnya, tidak bisa menyembuhkan luka hatinya.

Minggu, 06 September 2020

Mimpi Berjuta Tahun (Sebuah catatan lama)

Bismillahirrahmanirrahim,

Hari ini, 27 Mei 2014, tepat pukul 12.35 adalah ujung ekor harapanku. Buah dari sedikit usaha, do'a, dan terlalu banyak harapan. Sekitar satu jam setelahnya aku baru menyadari bahwa harus mengubur dalam-dalam mimpiku.

Mimpi berjuta tahun. Menjadi mahasiswi Arkeologi di Universitas Gadjah Mada tepat setelah lulus SMA. Enam tahun sudah mimpi itu kusimpan rapat-rapat dalam anganku. Tiga tahun sudah aku berusaha meraihnya. Bertahun-tahun aku membayangkan mimpi itu jadi kenyataan. Aku meyakinkan diri bahwa menjadi Arkeolog adalah panggilan jiwa. Kedua orang tuaku bangga dengan pilihanku. Mereka mendukung. Bahkan mereka mengatakan pada beberapa orang bahwa aku ingin menjadi Arkeolog. Doa mereka tak pernah putus. Mereka bahkan meminta pada orang lain untuk mendoakanku agar mimpiku menjadi kenyataan. Aku begitu bangga pada mimpiku dan yakin bahwa mimpi itu akan segera menjadi kenyataan di waktu yang kuinginkan, yaitu setelah lulus SMA. Setiap kali orang bertanya "Mau kuliah di mana? Ambil jurusan apa?" dengan bangga kujawab "Di UGM jurusan Arkeologi" kemudian mengamini dalam hati sambil menerka-nerka apakah orang yang bertanya tersebut mengerti apa itu Arkeologi. Aku juga akan dengan sabar dan senang hati menjelaskan apa itu Arkeologi dan bagaimana karir masa depannya. Selain itu yang lebih ekstrim lagi, aku menulis di bio FB bahwa aku sedang belajar Arkeologi di UGM. Di twitter aku juga menuliskan "Arkeologi-FIB-UGM" di sebelah tulisan "Institute of Archaeology-UCL".

Awalnya kupikir apa yang kulakukan adalah sebuah keoptimisan yang akan mengantarku meraih mimpi. Aku berpikir setiap kali aku menjawab dengan lantang bahwa aku akan mendaftar Arkeologi di UGM itu adalah sebuah doa. Aku sama sekali tidak merasa sedang menyombongkan diri apalagi takabur. Aku melihatnya sebagai doa tanpa tau apakah orang yang mendengar jawabanku tersebut mengira aku sedang menyombong atau bagaimana.

Menjelang kelulusan SMA aku semakin mantab dengan pilihanku. Dengan mimpiku. Aku mendaftarkan diri pada SNMPTN dengan mengambil jurusan Arkeologi di UGM tentunya. Pilihan kedua kuisi Antropologi UGM. Setelahnya aku sama sekali tidak berminat untuk mengikuti tes tulis. Aku tidak mengambil intensif untuk persiapan SBMPTN. Karena aku yakin bahwa Tuhan akan menjadikanku mahasiswi Arkeologi di UGM. Meski aku tau bahwa UGM adalah universitas ternama dengan persaingan yang begitu ketat. Tapi jika membayangkan mimpiku dan keyakinanku akan menjadi mahasiswi Arkeologi di UGM, rasanya kenyataan bahwa sulit sekali perjuangan menjadi mahasiswi UGM itu sirna sudah. Yang aku tau adalah bahwa peminat Arkeologi sedikit, padahal tenaga yang dibutuhkan banyak, selain itu persaingannya tidak terlalu ketat. Apalagi aku sudah mengantongi nilai yang bagus dan sertifikat olimpiade geografi juara tiga. Sepanjang pengetahuanku tidak ada teman atau orang lain di sekitarku yang berminat dengan jurusan itu. Hal itu membuatku semakin optimis. Optimis dalam artian ambisius.

Kemudian saat itu datang. Saat dimana Tuhan menyadarkanku. Seminggu kuhabiskan waktuku untuk berdoa. Aku bangun tengah malam untuk solat Tahajud, aku usahakan untuk solat tepat waktu, aku solat Hajat dan Dhuha' beberapa kali, aku zikir sampai ribuan kali di siang dan malam hari, aku membaca kitab suci dan yaasin, dan aku puasa sampe 10 hari. Tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain. Aku gugur dalam seleksi SNMPTN. Aku berhenti di tengah-tengah harapan besarku, aku terapung-apung hampir tenggelam di lautan mimpiku, mimpi jutaan tahun yang begitu besar. Aku merasa sesuatu menyambarku, mengambil usaha (kecil)ku selama ini. Mimpi jutaan tahunku lumer seperti mentega yang dipanaskan. Mimpi jutaan tahunku pecah seperti telur yang dilempar. Berhamburan ke mana-mana. Aku menangisi mimpiku seperti aku menangisi mayat seseorang yang kusayangi. Aku sempat merasa tidak terima dan tidak yakin. Aku merasa panitia SNMPTN melakukan kesalahan. Seharusnya kolom merah itu tidak ada di sana. Seharusnya hanya ada kolom hijau.

Aku menangis di pelukan ibu dan ayah. Mereka membelai kepalaku. Ayah memintaku untuk bersabar. Ibu menangis bersamaku. Lalu ayah memeriksa ulang keterangan di website. Sama tidak percayanya denganku. Tapi semuanya benar-benar jelas. Ada namaku, nomer pesertaku, asal sekolahku, dan kolom merah yang menyatakan bahwa aku tidak lolos seleksi SNMPTN.

Dengan sisa-sisa harapan yang kupunya, aku memutuskan untuk mengikuti tes tulis yang sebenarnya kuhindari. Lagi-lagi aku memilih arkeologi dan antropologi budaya UGM. Namun ada sebersit niat untuk memilih antropologi sosial UNAIR.

Tapi kemudian seseorang datang dan menyadarkanku bahwa masih banyak pilihan lain yang bisa kuambil. Aku tidak harus terjebak pada satu pilihan. Masa depanku masih panjang dan belum tentu jurusan apa yang kuambil saat kuliah adalah bidang yang sama dengan pekerjaanku. Akhirnya aku mulai tersadarkan bahwa aku harus mencoba pilihan lain. Pilihan yang masih sesuai dengan minat dan harapanku. Aku merasa bahwa Tuhan telah menyadarkanku. Aku bertanya-tanya bagaimana jika Tuhan telat menyadarkanku? Akankah masa depanku lebih baik? Mungkin Tuhan bisa mengabulkan keinginanku untuk lolos SNMPTN dan menjadi mahasiswi Arkeologi UGM. Tapi rencana Tuhan untuk masa depanku yang masih panjang tidak seindah yang kuharapkan. Memang benar kata seseorang yang menasehatiku bahwa lebih baik aku menerima apa yang Tuhan berikan padaku karena Tuhan tau mana yang baik buatku.

Akupun akhirnya menyadari bahwa aku harus lepas dari keegoisanku pada Tuhan. Aku harus menurunkan ambisiku. Aku harus berani mencoba hal yang lain. Hal yang mungkin disiapkan Tuhan untuk masa depanku yang lebih baik.

Keputusan finalnya adalah aku akan menata ulang mimpiku. Aku tidak akan terlalu ambisi melukis mimpi. Aku hanya akan melakukan sesuatu di bidang kucintai. Aku cinta sejarah, tapi mungkin menjadi Arkeolog bukanlah pilihan terbaik. Maka untuk sementara kusimpan dulu rapat-rapat mimpiku menjadi Arkeolog. Aku susun lagi mimpiku untuk kuliah di Ilmu Sejarah. Atau mungkin di Pendidikan Sejarah. Tapi tak pernah sedikitpun minatku pada Arkeologi luntur. Mungkin aku akan lebih berminat pada Ilmu Sejarah, tapi tidak menutup kemungkinan aku akan mempelajari Arkeologi juga. Bagiku yang penting sekarang adalah berusaha semampuku, berdoa terus, dan berharap Tuhan memberikan yang terbaik buatku.

Karena aku mulai percaya bahwa rencana Tuhan pasti lebih indah.

Akan ada waktu di mana aku akan mengenang hal ini kelak. Di saat aku sudah sukses nanti. Aamiin.


Minggu, 12 Juli 2020

Tulisan Baru Tanpa Arah

Halo,
Ini aku, yang telah lama menghabiskan sepanjang tahun sejak terakhir aku menulis di sini, dengan hal-hal lama dan hal-hal baru yang berkelebat ... datang dan pergi.

Sore yang cerah untuk memulai menulis lagi, dengan tubuh memunggungi matahari sore, dan tentu saja, memunggungi hal-hal yang tidak ingin kuingat lebih dari sekedar sejenak.

Baru saja kuhela napas karena menyadari bahwa rasanya memang sudah lama sekali tidak menulis. Catatan terakhirku adalah di malam tahun baru 2019. Itu artinya sudah berjalan hampir 2 tahun penuh aku tidak menulis di sini. Bagaimana? Rindu dengan tulisanku? Untuk siapapun di luar sana yang telah sudi mampir untuk membaca catatan-catatan kosong, yang sebenarnya lebih kutujukan pada diriku sendiri.

Ternyata rasanya masih begitu menyenangkan bisa mengetikkan jemariku, dengan mataku melihat ujung-ujungnya meloncat dari satu kotak huruf ke kotak huruf yang lain, dengan teligaku mendengar lagu-lagu baru demi membangkitkan suasana yang baik untuk menulis.

Tentu saja pertanyaan apa yang telah terjadi selama hampir 2 tahun kutinggalkan blog ini, adalah pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak sanggup mengingat-ingat jawabannya. Karena banyak sekali!

Kupikir-pikir, selama ini keinginan menulis itu masih selalu ada. Beberapa waktu yang lalu seorang kawan memintaku melanjutkan cerita di wattpad. Yap, cerita-cerita di wattpad-ku bahkan jauh lebih lama kuanggurkan. Maafkan kemalasan yang tidak tahu diri ini.

Oke, jadi apa yang akan kutulis di sini? Selain kenyataan bahwa suasana hati sedang tidak cukup baik. Seperti biasa the introvert thinker ini sedang berada di dalam pikirannya sendiri.

Mungkin akan kuawali dengan flashback ke sepanjang 2019. Apa yang terjadi di sepanjang 2019 kurasa telah membentukku menjadi sosok yang ... sedikit lebih baru. Sedikit lebih ter-upgrade dari the old me. Kurasa itu karena karirku sedang cukup baik. Jika menurut kalian menjadi seorang guru honorer dengan seabrek pekerjaan dan pengalaman baru sudah masuk kategori karir yang baik. Karir yang baik tidak semata-mata diukur dari seberapa besar gaji, bukan? Hehe.

Tapi serius. Bisa dikata, 2019 adalah tahun penuh pengalaman untukku. Aku belajar banyak hal baru yang membuat diriku sendiri bahkan sempat terheran-heran dengan apa yang telah kulakukan. Aku menikmati pengalaman-pengalaman menjadi seorang guru dengan berbagai pekerjaan tambahannya dan terlibat dalam beberapa kegiatan. Dimana dalam kegiatan itu aku bisa berkontribusi, bisa menyalurkan sedikit kemampuan dan pengetahuan yang kumiliki, dan hal yang paling bisa kusyukuri adalah ... aku menikmatinya. Bahkan mungkin sangat menikmatinya. Karena menurutku, jika aku tidak bisa menikmatinya, kurasa kesibukan itu tidak bisa dengan benar disebut sebuah pencapaian.

Apa yang telah membuatku terheran dengan diriku sendiri adalah, ketika aku melihat sudah sampai mana aku berjalan. Seorang diriku, yang cenderung tertutup dengan orang baru dan sangat menikmati berada di zona nyaman, telah berhasil setidaknya mengeluarkan selangkah kakiku dari ambang pintu yang selama ini membuatku nyaman berada di baliknya.

Mungkin memang tidak sehebat pencapaian orang lain yang tentu saja masih ada yang lebih di atasku. Tapi, aku berhak memuji pencapaianku sendiri bukan? Jika tidak diri sendiri yang bangga dengan apa yang diri ini miliki, lalu siapa yang bisa lebih tulus mengungkapkannya?

Salah satu hal yang bisa kusyukuri pencapaiannya adalah, ketika aku mendapat pengalaman baru sebagai penulis soal USBN 2019, bersama beberapa perwakilan lainnya dari Jawa Timur. Hal lain yang tidak kusangka aku bisa mencapainya. Padahal awalnya hanya berupa iseng-iseng berhadiah.

Beberapa hal yang kusyukuri juga masih banyak. Meski, yah, ada beberapa titik dimana aku merasa kenapa rasanya begini banget? Tahu, kan? Hal-hal yang masih bisa dikeluhkan oleh manusia: rasa lelah, kecewa, sedih, marah, apapun itu. Tapi kemudian kucoba untuk kuingat-ingat lagi bahwa tidak ada gunanya mengeluh terlalu lama.

Tahun 2020 juga kuawali dengan hal yang biasa-biasa saja, meski perjalanannya hingga setengah jalan ini tidak bisa disebut biasa juga. Kurasa dari awal tahun 2020, aku dan mungkin kita semua dihadapkan pada kejutan-kejutan baru. Kejutan yang tidak hanya membuat terkejut, tapi juga kekhawatiran baru. Kurasa, kondisi dunia ini sedang tidak baik-baik saja, Kawan.

Rasanya seperti sedang ditampar oleh Tuhan, bahwa apa yang telah kita lakukan selama ini adalah hal-hal yang sepatutnya kita tilik kembali. Sudah pantas kah? Sudah bijak kah? Sudah baik kah? Dan kurasa, kita telah diingatkan beberapa kali dengan cara yang lebih halus, tetapi kita cukup arogan untuk sekedar sadar dengan cara seperti itu. Untuk itu Tuhan menampar kita pada kenyataan baru, kenyataan bahwa kita dipaksa untuk berubah lebih baik lagi.

Bencana alam, wabah, tingkat kriminalitas, rasa sakit, kekhawatiran, kekecewaan, kesedihan, kehilangan, dan segala hal yang sedang ditamparkan Tuhan ke muka kita berkali-kali kurasa bukan hanya sekedar pengingat. Tapi, barangkali Ia memang sedang marah.

Tuhan, jika kau membaca tulisanku yang sedang kacau ke mana arahnya ini, kurasa Kau pasti tahu apa yang sedang aku dan kami semua harapkan. Bantu kami untuk berbenah, untuk bangkit lagi setelah Kau hadapkan pada kenyataan yang menyulitkan kami. Beri kami, orang-orang kecil ini kekuatan dan kesabaran.

Dan untuk kalian yang sedang membaca ini, ujung tulisan yang arahnya berubah arah ini, kuharap kalian selalu berbahagia ...