Tumbuh sebagai seorang anak yang penakut, ia kerap berdiri di sudut seorang diri. Lingkungan di sekitarnya terasa asing. Segala hal yang ia rasakan selalu menjadi bebannya sendiri.
Ia tidak tahu apakah ia berada di lingkungan yang salah. Yang ia tahu, ia hanya bisa menerima segala kesalahan.
Anak kecil itu meringkuk takut ketika ada yang sedang marah. Sekalipun ia tahu bahwa bukan ia yang sedang menjadi sumber permasalahan, ia takut untuk disalahkan. Ia hanya bisa terdiam dengan jantung yang berdegup cepat. Ia takut disalahkan.
Bukan perkara ia dididik menjadi pengecut, tapi kenyataan yang entah bagaimana telah sering menjadikannya sebagai sumber permasalahan.
Anak kecil itu menyadari bahwa semua hal yang ia lakukan salah, dan orang lain akan memarahinya. Ia juga tahu bahwa tidak semua "temannya" adalah teman. Ia tahu betul, sebuah permainan yang begitu asyik dimainkan itu, nantinya akan berakhir. Dan ia akan duduk lagi di pojokan. Sendirian.
Kenyang dengan segala permasalahan di sekitarnya, teriakan kemarahan, larangan akan banyak hal, anak itu tumbuh sebagai seorang remaja yang terbiasa mengantongi perasaan-perasaan ketakutan akan disalahkan. Akhirnya, ia tidak bisa terbuka dengan suasana baru. Ia meringkuk dengan nyamannya di zonanya sendiri.
Ia kemudian berpikir bahwa, jika ia terlibat dalam sebuah masalah, ia harus segera melihat ke dalam dirinya. Ia harus tahu salahnya apa. Kemudian bersiap untuk disalahkan.
Atau ia memilih untuk menghindari masalah dengan diam. Berusaha menyaman-nyamankan diri.
Ia tumbuh menjadi seseorang yang penakut. Ia menutup diri dari orang yang tidak ia kenal sama sekali. Ia lebih nyaman dengan dunianya sendiri dimana tidak ada seorang pun yang akan mengkritiknya, memarahinya.
Ia tak memiliki sesosok teman yang benar-benar bisa ia sebut "teman". Bukannya ia tidak disukai, tetapi ia lebih disegani ... Tapi entah karena apa. Banyak yang tidak bisa menjadi teman baiknya karena ada sesuatu dari dalam dirinya yang membuat orang lain akan berpikir ulang tentang bagaimana harus berperilaku di hadapannya. Suatu hal yang mengganggu pikirannya.
Bukan. Bukannya ia dibenci. Ia hanya sedang dikelilingi sesuatu yang tak terlihat yang membuatnya tidak bisa berbaur begitu dekat dengan orang lain. Selalu ada sekat.
Mungkin karena sifatnya?
Hei, dia adalah seorang anak yang tumbuh dengan ketakutan akan menciptakan masalah. Karena di masa lalunya, ia sudah terlalu sering menjadi sumber masalah. Ia cenderung pendiam dan pendengar. Tidak banyak tingkah. Ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa diterima di lingkungan yang terkadang asing baginya.
Barangkali sekat itu muncul karena ia terlalu membatasi diri?
Awalnya ia berpikir demikian. Tetapi, seberapa kerasnya ia mencoba untuk menghilangkan sekat itu, tetap saja tidak ada perubahan. Kehadirannya memang diterima, tetapi ia merasa suasana tidak benar-benar terasa leluasa. Sekat itu masih ada.
Pada akhirnya, ia sempat menjadi sosok yang tidak ingin disalahkan. Ia sempat lelah disalahkan orang lain, sekalipun ia memang salah. Ia menjadi keras kepala dan terlalu perasa. Curiga akan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa permasalahan, rasa gelisah, kesal, kecewa mungkin berasal dari dalam dirinya sendiri. Tetapi ia juga tidak yakin apakah hal tersebut terjadi karena memang ia masih belum bisa lepas dari pengalaman masa kecilnya yang selalu terbebani rasa bersalah?
Terkadang ia sedih, begitu sedihnya sampai ia menangis, hanya karena dirinya sendiri. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya sendiri. Mengapa ia harus merasa kesal dengan suatu hal yang tidak semestinya ia kesalkan? Apakah ia masih menjadi sesosok anak kecil yang ketakutan akan rasa bersalah dan tidak percaya pada dirinya sendiri?
Lebih seringnya, ia merasa menjadi seseorang yang tidak berguna. Ketika ada beberapa hal yang bisa dibanggakan oleh orang lain, ia masih bingung mencari sesuatu dari dalam dirinya selain perasaan tertekan yang bisa ia banggakan.
Ia adalah seorang anak penakut yang tumbuh dalam mimpi-mimpinya sendiri. Ia kerap bermimpi bisa mencapai segala hal yang bisa ia banggakan, kemudian di lain waktu ia terbangun dari mimpinya dan mendapati dirinya sebagai seseorang yang tak lebih dari pemimpi tanpa apapun yang bisa dibanggakan.
Kemudian, diam-diam sebuah pertanyaan lain muncul dalam benaknya: Apakah selama ini kekesalannya, kerendahan dirinya, dan kegundahannya hanya karena ia kurang mensyukuri dirinya sendiri?
Barangkali iya.