Selasa, 14 Februari 2017

Cita-cita yang Realistis (?)



Halo! Selamat datang kembali di blog yang semakin ke sini rasanya semakin jarang ku update ini.

Tiba-tiba saja lagu yang sedang kudengarkan mengantarkan mood-ku untuk menulis sesuatu malam ini. Sepertinya, aku akan menuliskan suatu opini yang berkaitan dengan pilihan hidup seseorang. Pilihan hidup yang kumaksud lebih mengarah ke bagaimana kita sebagai manusia dianugerahi sesuatu yang sangat berharga oleh Tuhan, begitu berharganya hingga bisa memengaruhi kita dalam menjalani kehidupan. Barangkali memang agak berlebihan, tapi sesuatu itu, karena satu dan lain hal sebut saja: CITA-CITA.

Aku memang pernah membahas tentang cita-cita, tentang bagaimana cita-cita yang begitu tingginya hingga membuatku gentar, tentang apakah aku tak yakin apakah cita-cita itu benar-benar akan aku realisasikan dengan usahaku sendiri.

Namun dalam tulisan kali ini, dalam deretan-deretan kata di otakku yang kuketikkan dengan cepat ini, aku ingin membahas mengenai cita-cita yang realistis.

Aku pernah beberapa kali mendengar ada orang lain yang mengatakan, “Punya cita-cita itu yang realistis dong!” atau setidaknya mereka mengungkapkan hal yang intinya sama hanya saja dengan kalimat lain. Atau bahkan aku pernah membaca beberapa artikel yang intinya itu sama: Bercita-citalah sesuai kemampuanmu. Intinya ya itu tadi: bercita-citalah yang realistis.

Tapi, cita-cita yang realistis itu seperti apa, sih? Apa benar cita-cita yang realistis itu adalah cita-cita yang sesuai dengan kemampuan kita? Kalau kita tidak mampu, berarti cita-cita itu tidak realistis?

Hey, Guys. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut aku ingin kalian tahu bahwa tidak ada larangan untuk bercita-cita setinggi mungkin, sekalipun itu menurutmu melampaui kemampuanmu. Tidak ada batasan untuk berangan-angan ingin menjadi apakah kalian. Tuhan mengaruniai kita kemampuan untuk berpikir dengan imajinasi-imajinasi yang tidak berbatas. Jadi, yang aku ingin kalian tahu adalah singkirkan dulu pikiran-pikiran kalian apakah kalian mampu atau tidak. Yang perlu kalian garisbawahi adalah tentukan dulu kalian bercita-cita ingin menjadi apa. Tentukan saja cita-cita sesuai dengan keinginanmu tanpa dibatasi oleh keragu-raguan tentang kemampuan kalian itu.

Oke. Jadi, menurut pendapatku sendiri cita-cita yang realistis itu memang cita-cita yang bisa kita raih dengan kemampuan kita sendiri. Cita-cita yang tidak hanya muncul atas dasar imajinasi saja. Cita-cita yang sesuai dengan kapasitas kita. Contoh yang paling menyedihkan adalah misalnya ada seseorang yang bercita-cita untuk menjadi seorang astronot tetapi ia terjebak di suatu keadaan dimana ia ternyata tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Cita-cita jadi astronot-nya apa kabar? Kapasitas kemampuannya untuk menjadi astronot tipis sekali. Bahkan bisa dibilang hampir tidak ada.

Contoh semacam itu, mau tidak mau, memang benar-benar terjadi di sekitar kita. Jangankan astronot. Cita-cita orang lain yang bagi kita saja cukup sederhana, tetapi bagi mereka tidak sesederhana itu. Semuanya ya karena itu tadi: kapasitas.

Jadi, apakah benar kita memang harus bercita-cita secara relistis? Yang sesuai dengan kemampuan kita?

Sebenarnya, tidak ada salahnya kita merenung untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di paragraf sebelumnya, aku sudah menyuruh kalian untuk mencoba bercita-cita di luar batas kapasitas kalian bukan? Sekarang, aku ingin kalian tahu bahwa kalian tidak akan tahu sejauh mana batas kapasitas kalian jika kalian belum mencobanya. Sebelum kenyataan benar-benar menyatakan bahwa kapasitas kalian hanya cukup untuk memiliki cita-cita yang lebih realistis dari cita-citamu sebelumnya, tidak ada salahnya kita menguji batas kita sendiri. Toh, pada akhirnya kita akan tahu.

Lalu bagaimana jika ternyata cita-cita kita tidak realistis? Bagaimana jika cita-cita itu tidak sesuai dengan kapasitas kita?

Guys, aku percaya bahwa tidak ada cita-cita yang berada di luar batas kapasitas kita. Semuanya selalu berada dalam jangkauan kita. Hanya saja, Tuhan juga memiliki andil yang cukup besar perihal ini. Jika kalian sudah mati-matian berjuang untuk menguji batas kalian sendiri dan hasilnya tidak sesuai dengan harapanmu, bukan berarti cita-citamu gagal. Bukan berarti cita-citamu tidak realistis. Cita-citamu cukup realistis, tetapi Tuhan pasti memiliki kehendak lain mengapa kalian harus menerima kenyataan bahwa serealistis apapun cita-citamu, tetapi kehendak Tuhan jauh lebih bermanfaat. Sekalipun kehendak Tuhan mungkin berlawanan dengan cita-citamu.

Bisa jadi cita-citamu realistis. Tetapi, tidak baik untuk kehidupanmu di masa yang akan datang. Sebaliknya, Tuhan selalu mampu mengarahkanmu ke pilihan lain yang lebih baik. Dan arahan Tuhan akan selalu menyertaimu di sela-sela usahamu merealisasikan cita-citamu itu. Tercapai tidaknya cita-citamu, setelah usaha yang begitu panjang, pada akhirnya akan mengantarkanmu pada keputusan Tuhan yang tidak akan pernah menempatkanmu di tempat yang salah.

Jadi, kesimpulannya adalah. Selama belum ada larangan untuk bercita-cita tinggi, cobalah untuk selalu memiliki target yang melampaui kemampuanmu. Setidaknya untuk menguji batasmu sendiri untuk meyakinkan dirimu sendiri bahwa sebenarnya kalian mampu untuk berusaha lebih. Cita-cita yang realistis tidak hanya seputar cita-cita yang sesuai dengan kapasitasmu, tetapi cita-cita yang dipilihkan Tuhan untukmu. Cita-cita terbaik yang akan disematkan Tuhan dalam angan-anganmu, yang kelak dengan usaha keras dan doamu akan menjadi kenyataan.

Tulisan ini mewakili keresahan yang selama ini selalu kurasakan. Aku memang mengalami sedikit masalah dengan pandangan tentang cita-cita yang realistis. Seolah aku merasa bahwa cita-citaku tidak realistis, tidak sesuai dengan kapasitasku. Tapi, aku mencoba untuk memotivasi diriku sendiri dengan membuat tulisan ini. Dan aku harap tulisan ini juga akan memotivasi kalian.

Aku berharap bahwa apapun cita-cita kalian semoga menjadi jalan yang terbaik yang bisa kalian usahakan untuk direalisasikan. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita ke arah yang lebih baik dan merestui pilihan-pilihan yang kita ambil.

Akhir kata untuk catatan malam ini, kuucapkan terima kasih atas waktu kalian. Sampai jumpa di catatan selanjutnya. Byeee~

Tentang Ayah - Ayahku Hebat



Di sinilah aku. Di sudut kamar, dengan sebuah laptop yang batrainya tinggal separuh, dan perasaan cemas yang mendera sejak pagi-pagi buta tadi.

Hari belum cukup malam. Tapi rasanya mataku sudah berat dan aku lelah. Kalau saja bukan karena aku sedang gelisah dan ingin menulis di sini, aku tidak akan menghabiskan sisa-sisa daya batrai laptopku untuk mengetik setidaknya satu atau dua halaman.

Ini tentang Ayahku.

Untuk mengetik tiga kata itu rasanya aku sudah ingin menangis lagi. Padahal bengkak kelopak mataku belum sembuh akibat menangis siang tadi.

Catatan ini kudedikasikan untuk Ayah. Untuk seorang Superman keluarga. Sosok pemimpin yang penuh kasih, penuh rasa ikhlas, dan pejuang yang tak pernah mengenal letih.

Melihat betapa aku sering—secara diam-diam—membanggakan Ayah di belakangnya, kurasa sudah banyak yang tahu bahwa aku begitu dekat dengannya. Ketika aku masih kecil aku begitu dekat dengan Ayah. Bukan berarti sekarang sudah tidak dekat. Kedekatan kami berbeda tergantung usia dan kedewasaan.

Aku ingin mengenalkan sosok seorang Ayah bagiku.

Ayah adalah seorang laki-laki yang penuh kasih. Rasa sayangnya untuk anak-anaknya begitu berlimpah. Ketika aku masih kecil, aku masih ingat betul bahwa Ayah sering membacakan dongeng untukku sebelum tidur. Dan ketika Ayah akan berangkat ke kantor Ayah juga selalu bertanya padaku, “Mau dibelikan apa?”

Saat itu, sebagai seorang anak permintaanku macam-macam. Dan hampir seluruhnya tentang makanan. Kalau bukan es krim, cokelat, atau keju.

Ayah tidak pernah melanggar janjinya. Ketika Ayah pulang dari kantor Ayah selalu membawakan pesananku. Ayah juga sering membawakan aku buku cerita dan malamnya ia akan membacakan dongeng dari buku itu untukku. Sesekali Ayah menggambarkan ilustrasi dongeng padaku. Aku masih ingat betul bagaimana cara Ayah menggambar pohon untukku di selembar kertas.

Terkadang Ayah juga memanjakanku dengan berbagai kaset-kaset VCD tentang Tom & Jerry, Saras 008, atau Winnie The Pooh. Pokoknya, masa kecilku begitu sempurna bukan hanya karena Ibu tetapi juga karena Ayah.

Begitu aku memiliki adik, Ayah juga menyayangi adik-adikku sama sepertiku. Bedanya, Ayah mulai jarang menanyakan pesanan kepada adik-adikku ketika akan berangkat ke kantor. Tapi bukan berarti Ayah pilih kasih. Ayah menyayangi kami dengan caranya sendiri.

Ketika aku beranjak dewasa, aku merasakan mulai jarang bercanda dengan Ayah. Kami jarang mengobrol dalam waktu yang lama seperti saat kami menghabiskan waktu menjelang tidur dengan sepenggal dongeng. Hingga sampai aku terkadang perlu memikirkan topik apa yang ingin kubicarakan dengan Ayah ketika kami sedang duduk berdua. Bahkan meski hanya duduk berdua dalam diam dengan Ayah, rasanya sudah begitu menenangkan.

Ketika aku dewasa, Ayah menghabiskan waktu bercandanya dengan adikku yang laki-laki. Kemudian ketika adik bungsuku yang perempuan lahir Ayah menghabiskan waktu bercanda dengannya. Hingga sekarang di usia Ayah yang sudah tak muda lagi.

Saat-saat Ayah bercanda dengan adik bungsuku adalah saat-saat yang aku dan adik laki-lakiku tunggu. Karena suasana yang hidup, cair, dan menyenangkan tidak hanya Ayah bagi dengan adik bungsuku saja. Tetapi juga dengan kami.

Ayah tidak pernah sedikitpun mengurangi rasa sayangnya pada aku dan adik-adikku. Sebaliknya, Ayah—sering kurasakan—menyayangi kami dengan bermacam cara.

Meskipun aku sudah bukan Daddy’s Little Girl lagi dan sudah beranjak dewasa, aku tahu Ayah selalu mendukung setiap cita-cita dan keinginanku. Meskipun Ayah, secara waktu harus berbagi dengan pekerjaan yang semakin menumpuk, aku tahu Ayah telah mempersiapkan segala hal untukku nanti di masa depan.

Ayah sendiri yang mengatakan, “Kamu tenang saja. Ayah sudah mempersiapkan banyak hal untuk masa depanmu nanti.”

Barangkali secara finansial, Ayah sudah tidak seperti dulu lagi. Karena harus berbagi dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang semakin banyak. Tapi bagiku itu tidak masalah. Ayah tidak pernah menyayangiku dengan memberikan materi yang berlimpah. Tapi rasa sayangnya padaku kurasakan benar-benar luar biasa.

Dengan adik laki-lakiku, Ayah juga sangat menyayanginya. Aku tahu ayah selalu membanggakan adik laki-lakiku yang setangguh Ayahku. Ayah membawanya bertemu dengan teman-temannya, mengenalkan adik laki-lakiku pada mereka, dan mengajak adikku melakukan hobi yang sama.

Dengan adik perempuanku, Ayah lebih sering menghabiskan waktu untuk menggodanya sampai adikku jengkel. Terkadang Ayah juga masih menemaninya tidur ketika adik perempuanku tak bisa tidur. Sering kulihat Ayah dan adik perempuanku bercanda dengan saling menggoda satu sama lain. Melihat itu rasanya Ayahku tak pernah menua.

Ayah adalah orang yang baik, Sangat baik. Ia tidak akan segan-segan membantu orang lain yang membutuhkan. Ayah bisa mengusahakan banyak hal hanya untuk meringankan beban orang lain. Dan karena itu pula banyak orang yang sangat menyegani dan menyayangi Ayah.

Ayah juga sosok pekerja keras. Darinya aku benar-benar tahu apa itu arti ‘maju terus pantang mundur’. Jika Ayah menghendaki sesuatu, ia akan berusaha dan mengejarnya sampai dapat. Selelah apapun Ayah, sesibuk apapun ia, Ayah selalu berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannnya sebaik mungkin. Dan tak jarang pula kerja kerasnya selalu membuahkan hasil yang membanggakan.

Tetapi, semakin tinggi pohon semakin kuat angin menggoyangkan dahannya.

Sebagai seseorang yang telah mendapatkan kesuksesan satu per satu, tak sedikit juga yang iri pada Ayah. Aku memang tidak pernah tahu atau mendengar secara langsung dari Ayah. Tapi aku jelas melihat bahwa Ayah kerap gelisah karena ada beberapa masalah yang menderanya. Aku tahu betul bahwa Ayah lelah, Ayah ingin sejenak beristirahat, tapi Ayah belum ingin memulainya. Ayah masih ingin berjuang. Meski perjuangannya kerap kali tak berjalan mulus.

Ada saja kendalanya. Ada saja orang yang berusaha menghalangi upaya baiknya.

Sempat aku berpikir, kurang menderita bagaimana Ayahku ini. Perjuangannya selalu kurasakan berdarah-darah, meski hasilnya tak pernah mengecewakan, tapi rintangan yang Ayah hadapi terlihat begitu besar. Begitu memberatkan langkahnya. Tiap langkah Ayah sepertinya terdapat halangan.

Tapi Ayahku hebat. Ayahku mampu bertahan dan berusaha melewati rintangan itu.

Aku bersyukur mempunyai ayah seperti Ayah. Aku bersyukur, seberapa banyak orang yang tidak menyukai Ayah, masih ada banyak orang yang menyayangi dan mendukungnya. Aku selalu menyayangi Ayah meski aku tahu sebesar apapun rasa sayangku aku tak pernah mengucapkannya secara langsung di depan Ayah. Aku memang pengecut. Hanya berani mengungkapkan permintaan maaf, terima kasih, dan rasa sayang melalui tulisan secara diam-diam.

Ayah, maaf jika aku masih belum bisa membuat Ayah bangga. Maaf belum bisa menjadi orang yang sukses untuk Ayah. Jaga kesehatan terus, ya, Ayah. Biar Ayah bisa memantau kerja keras anak-anak Ayah menjadi orang yang sukses untuk Ayah.

Terima kasih atas rasa sayang yang tak pernah luntur sedikitpun pada kami. Terima kasih atas kerja keras Ayah demi kami. Terima kasih atas nasihat dan dukungan Ayah. Ayah adalah seorang ayah yang berhasil di mata kami.

Tetap kuat, ya, Ayah. Jangan pernah menyerah. Ada kami yang selalu mendukung ayah. Kami siap menjaga Ayah karena kami semua sayang Ayah.

Tulungagung, 7 Juni 2016.