Sabtu, 02 Juli 2016

Sebuah Kotak dan Perasaan Lama

Malam hari. Waktu yang tepat untuk menulis dan mencurahkan semua isi hati.

Sebenarnya, aku tak pernah berniat untuk menuliskan hal-hal yang menyedihkan di sini. Atau setidaknya hal-hal yang berisi curahan hati yang terlalu mengharu biru. Tapi, kupastikan bahwa tulisan ini tidak akan berisi hal-hal yang cengeng dimana kalian akan menghabiskan waktu kalian untuk membacanya di dalam kamar dengan berbagai buntalan tisu bekas pakai. Tulisan ini tidak akan menjadi seperti ‘itu’.

Sejak awal kuputuskan bahwa blog ini untuk sementara akan berisi tulisan-tulisan semacam diary. Beberapa hal yang kurasakan dan kupikirkan kutuliskan di sini. Aku sempat berpikir seperti who am I sampai aku menuliskan berbagai hal yang agak sedikit pribadi di blog untuk dibaca banyak orang. I’m not a superstar with a lot of fans. But, I think sebagai seseorang yang mengabdikan diri untuk menulis di waktu-waktu senggangnya aku bebas menulis apapun dan dimanapun.

Jadi, untuk kalian yang—barangkali—entah bagaimana menemukan blog-ku ini kemudian sempat membaca beberapa catatanku, kuucapkan banyak terima kasih atas waktu yang kalian luangkan. Aku juga sedang berusaha untuk mendapatkan banyak pengalaman yang menyenangkan untuk kutulis dan kubagikan di catatan ini. Doakan aku untuk terus konsisten menulis.

Aku akan mulai tulisan ini dengan sebuah keluhan yang sempat kuungkapkan beberapa kali pada diriku sendiri. Tahun ini adalah tahun yang berat untukku. Dan juga untuk orang-orang di sekitarku. Aku tak akan mengulasnya lebih jauh karena inti dari catatanku ini bukanlah tentang hal tersebut. Ada banyak hal yang perlu kami korbankan. Khususnya waktu, tenaga, dan mungkin uang.

Itu tadi keluhanku.

Teriring doa untuk nenekku yang sedang sakit, semoga lekas sembuh. Mungkin memang tidak bisa lagi sesehat dulu, tapi harapanku dan semua anggota keluarga yang menyayanginya adalah agar nenek bisa lebih sehat dan bisa berkumpul lagi dengan kami. Kami rindu senyum beliau, kelembutan dan kesabaran beliau, dan bagaimana beliau selalu hadir di tengah-tengah kami.

Aamiin.

Seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa catatan ini tidak akan membahas tentang keluhanku lebih jauh. Aku ingin bercerita tentang bagaimana aku tadi mengikuti buka bersama dengan satu angkatan SMA. Salah satu acara di SMA yang jarang kuikuti karena ada beberapa alasan.

Pernahkah kalian merasakan berada di sebuah lingkungan dimana kalian sebenarnya ingin membaur ke dalamnya, berada dalam suasana yang menyenangkan bagi kalian, tetapi entah mengapa ada sebuah jurang yang menghalangi kalian untuk melakukannya? Jurang itu bisa berupa suatu lingkungan yang ternyata berisi orang-orang yang terkotak-kotak. Atau bisa sebuah ketidakcocokan yang menjadikan kalian tidak bisa menemukan sebuah hal yang ‘klik’ untuk menjadi modal kalian membaur dengan orang-orang yang terkotak-kotak itu.

Mengenang sekilas kehidupanku di SMA memang tidak begitu benar-benar berkesan. Tapi tidak juga begitu membosankan. Semuanya terasa seimbang. Hanya saja aku memang tidak begitu membaur dengan teman-temanku yang lain di SMA. Faktornya ya karena dua jurnag yang kusebutkan tadi.

Namun, bukan berarti aku tak memiliki teman dekat di SMA. Setidaknya ada empat teman dekatku di SMA dimana aku lebih sering menghabiskan waktu dengan mereka. Sebuah kondisi yang terkotak-kotak itu mau tak mau akhirnya mendorongku untuk membuat kotak sendiri dan menempatinya bersama keempat teman dekatku yang memutuskan untuk berada di kotak yang sama denganku. Barangkali lebih karena faktor kecocokan. Tapi, hingga saat ini aku tak menyangka bahwa ketidakcocokan kotakku dengan kotak mereka bisa begitu besar. Hingga kami tak memiliki kesempatan untuk mencoba kotak-kotak mereka. Kotak mereka diset dengan sedemikian rupa hingga hanya muat dihuni oleh anggota-anggota mereka sendiri. Dan akhirnya, begitu pula dengan kotak yang kutempati.

Kondisi itu tak berubah hingga kami lulus dan akhirnya mengadakan acara buka bersama hari ini.

Setidaknya, kotak yang mereka dan aku tempati bukanlah sebuah kotak padat. Kubayangkan kotak-kotak itu adalah sebuah kotak dengan rongga-rongga di setiap sisinya. Rongga yang cukup bagi kami untuk mengulurkan tangan bersalaman dan tersenyum dan sedikit berbasa-basi. Kotak kami dan mereka hanya muat sebatas itu. Dan itu yang kami lakukan tadi.

Awalnya, aku memutuskan untuk tidak jadi ikut acara ini karena kupikir tidak akan ada perubahan dengan zamanku SMA dulu. Dan memang benar. Rongga kotak itu tak sedikitpun melebar. Tak cukup lebar untuk membuat penghuninya menyambangi orang lain di kotak yang lain.

Ketika aku mengetahui kedua teman dekatku memutuskan untuk datang, aku pun menyanggupi. Kupikir tidak enak juga dengan orang-orang di lain kotak yang sering membuat acara dan mengundang semua orang, termasuk aku, tetapi aku tak pernah datang. Akhirnya kuputuskan untuk datang dengan berbagai spekulasi memenuhi kepalaku. Spekulasi tentang orang-orang yang sama, suasana yang sama, dan bagaimana kotak itu masih ada di sana.

Begitu aku dan kedua teman dekatku memasuki gerbang menuju ke tempat acara, melihat bagaimana situasi sekitar, secara spontan kami memutuskan untuk tetap bertiga dan tidak terpencar terlalu jauh. Karena masing-masing dari kami tidak akan nyaman berada dalam kotak lain yang penuh dan tidak bisa menampung orang lain. Kami bergandengan tangan dan menyatakan sebuah tekad “Don’t let us be separated” di mana kami bagaimanapun jangan sampai berpencar terlalu jauh. Well, kami lebih nyaman tetap bertiga karena ketidakcocokan kami dengan yang lain terlalu besar.

Bukan berarti kami hanya berdiri di sudut ruangan dan berbincang bertiga saja. Kami tetap bersama dan berbincang dengan lainnya. Bersalaman, saling bertukar sapa, dan tersenyum. Tapi, apa yang kurasakan adalah hal itu hanyalah sebuah formalitas karena memang sudah lama tak jumpa. Padahal dulu ketika masih sama-sama di sekolah yang sama, kami dan mereka tak betul-betul dekat.

Seperti biasa kami menciptakan zona nyaman kami sendiri. Sejauh mungkin dari keramaian dengan suasana gerah menjadi dalih. Kami selalu menunggu giliran belakang untuk bergerak dengan rasa nyaman kami sendiri. Dan ketika salah satu temanku menghilang dengan sekotak makanan, tinggal aku dan satu temanku yang lain. Kami berdua memutuskan untuk menempati sebuah ruangan kosong di belakang yang cukup luas untuk kami berdua.

Suasana yang seperti ini yang menggangguku. Sebenarnya aku tidak ingin suasana semacam ini tercipta. Tetapi, adalah sebuah hal yang wajar dimana setiap orang akan berteman dengan orang yang sesuai dengan minat dan dengan orang yang menciptakan suasana nyaman dengan alasan yang sama. Aku hanya berusaha untuk bergabung dengan mereka. Dan aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, atau karena pengalaman buruk di masa lalu, setiap gerakanku terasa diawasi dan dinilai. Barangkali memang perasaanku saja.

Perasaan tidak nyaman sempat menyergapku. Hingga aku merasa tak enak makan. Rasa mual yang aneh sesekali menggelitik perutku. Dan rasa itu bertambah hebat ketika aku dan kedua temanku berjalan ke masjid untuk menunaikan ibadah, aku melihat seseorang yang saat ini masih membuat perasaanku tak menentu sedang berbincang dengan teman-temannya di beranda masjid.

Aku berhenti sejenak bersama kedua temanku. Kukatakan pada mereka perutku terasa mual dan aneh hanya karena melihat sosoknya dari belakang. Aku masih mengingat betul bagaimana rasanya bahkan hingga aku mengetik saat ini. Sesekali hidungku terasa pengar. Aku heran kenapa sensasinya bisa separah ini.

Aku berusaha untuk menghindari sosok itu. Karena hanya melihatnya dari belakang saja aku serasa kebas. Rasanya tak menentu. Ini benar-benar aneh dan aku sedang tidak mengarang-arang atau melebih-lebihkan.

Usai beribadah, aku berjalan keluar dari masjid, berbincang sebentar dengan teman lamaku yang lain, kemudian berpamitan. Aku menoleh sejenak untuk mencari sosok itu (Ya. Aku mencari sosok yang telah membuatku merasa tak menentu hanya dengan melihat punggungnya dari kejauhan). Aku bermaksud menghindarinya. Namun, ketika aku berjalan melewati lapangan basket, aku menemukannya sedang sibuk berfoto dengan teman-temannya.

Saat itulah aku merasa bersyukur memiliki tubuh yang pendek. Setidaknya, temanku yang tinggi yang berjalan di sebelahku bisa menutupiku. Meski aku tak yakin mengapa aku harus bersembunyi dari sosok itu seolah ia akan sengaja mencariku atau tak sengaja melihatku.

Perasaan semacam ini muncul karena aku dan sosok itu sudah tak pernah menjalin komunikasi selama beberapa bulan. Kami juga tak pernah bertemu sejak hampir satu tahun. Dan karena perasaan lama yang susah kutinggalkan di masa lalu, rasa mual dan aneh di perutku itu muncul.

Aku benar-benar berhadapan dengannya ketika aku dan kedua temanku mau tak mau harus ikut ajakan teman sekelas untuk berfoto bersama di dalam lapangan basket. Kami berjalan melewati pintu dari kawat dan besi di sisi lapangan. Sosok itu berdiri di sana dan mengobrol dengan teman-temannya. Ia melihat kami datang dan langsung menyerukan sebuah undangan untuk hadir ke rumahnya besok. Ia mengadakan acara buka bersama dan mungkin semacam perpisahan karena ia akan berangkat ke pulau lain untuk bekerja setelah hari raya Idul Fitri. Dengan cepat kukatakan, “Aku tidak bisa datang”, kemudian menyalaminya. Dan ketika ia menampilkan wajah pura-pura cemberutnya kepada kami (Tentu saja bukan hanya kepadaku) aku buru-buru masuk ke dalam lapangan hanya untuk membelakanginya. Aku tak bisa melihatnya terlalu lama tanpa menimbulkan rasa melankolis yang sebenarnya tak kusukai karena membuatku terkesan cengeng.

Aku esok tak bisa datang dengan sebuah alasan yang hanya bisa tersangkut di kepalaku sendiri tanpa bisa kuungkapkan. Tidak ada tenaga dan keberanian untuk mengungkapkan banyak hal selain penolakan untuk hadir. Esok aku ada acara sendiri yang sudah kurancang sejak lama. Sama sekali tidak mungkin kubatalkan. Lagi pula jika esok aku tak ada halangan pun aku barangkali memilih unuk tidak datang juga. Perasaan ini rumit. Dan aku hanya ingin menghindarinya selama mungkin hingga aku terbiasa.

Aku harus menghela napas sejenak. Catatan ini cukup mengurangi kadar oksigen yang masuk ke paru-paruku.

Aku akan mengakhiri catatan ini dengan banyak harapan. Harapan untuk kesehatan nenekku. Harapan untuk diriku sendiri agar menjadi lebih baik. Harapan untuk dunia yang lebih baik. Harapan untuk perasaan lama yang juga membaik. Dan harapan untuk sosok itu agar bisa berhasil dalam karirnya.

Ya, ampun. Bahkan hingga saat ini aku sama sekali tak bisa berhenti untuk mengharapkan dan mendoakan kebaikan bagi sosok itu.

Penunjuk halaman di Microsoft Word-ku sudah mencapai angka 5. Dan inilah akhir untuk catatanku malam ini. Semoga semua harapan yang kutuliskan terkabul. Aamiin.

Selamat malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar