Malam hari. Waktu yang tepat
untuk menulis dan mencurahkan semua isi hati.
Sebenarnya, aku tak pernah
berniat untuk menuliskan hal-hal yang menyedihkan di sini. Atau setidaknya
hal-hal yang berisi curahan hati yang terlalu mengharu biru. Tapi, kupastikan
bahwa tulisan ini tidak akan berisi hal-hal yang cengeng dimana kalian akan
menghabiskan waktu kalian untuk membacanya di dalam kamar dengan berbagai
buntalan tisu bekas pakai. Tulisan ini tidak akan menjadi seperti ‘itu’.
Sejak awal kuputuskan bahwa
blog ini untuk sementara akan berisi tulisan-tulisan semacam diary. Beberapa hal
yang kurasakan dan kupikirkan kutuliskan di sini. Aku sempat berpikir seperti who am I sampai aku menuliskan berbagai
hal yang agak sedikit pribadi di blog untuk dibaca banyak orang. I’m not a superstar with a lot of fans. But, I think sebagai seseorang yang
mengabdikan diri untuk menulis di waktu-waktu senggangnya aku bebas menulis
apapun dan dimanapun.
Jadi, untuk kalian yang—barangkali—entah
bagaimana menemukan blog-ku ini kemudian sempat membaca beberapa catatanku,
kuucapkan banyak terima kasih atas waktu yang kalian luangkan. Aku juga sedang
berusaha untuk mendapatkan banyak pengalaman yang menyenangkan untuk kutulis
dan kubagikan di catatan ini. Doakan aku untuk terus konsisten menulis.
Aku akan mulai tulisan ini
dengan sebuah keluhan yang sempat kuungkapkan beberapa kali pada diriku
sendiri. Tahun ini adalah tahun yang berat untukku. Dan juga untuk orang-orang
di sekitarku. Aku tak akan mengulasnya lebih jauh karena inti dari catatanku
ini bukanlah tentang hal tersebut. Ada banyak hal yang perlu kami korbankan.
Khususnya waktu, tenaga, dan mungkin uang.
Itu tadi keluhanku.
Teriring doa untuk nenekku yang
sedang sakit, semoga lekas sembuh. Mungkin memang tidak bisa lagi sesehat dulu,
tapi harapanku dan semua anggota keluarga yang menyayanginya adalah agar nenek
bisa lebih sehat dan bisa berkumpul lagi dengan kami. Kami rindu senyum beliau,
kelembutan dan kesabaran beliau, dan bagaimana beliau selalu hadir di
tengah-tengah kami.
Aamiin.
Seperti yang kukatakan
sebelumnya bahwa catatan ini tidak akan membahas tentang keluhanku lebih jauh.
Aku ingin bercerita tentang bagaimana aku tadi mengikuti buka bersama dengan
satu angkatan SMA. Salah satu acara di SMA yang jarang kuikuti karena ada
beberapa alasan.
Pernahkah kalian merasakan
berada di sebuah lingkungan dimana kalian sebenarnya ingin membaur ke dalamnya,
berada dalam suasana yang menyenangkan bagi kalian, tetapi entah mengapa ada
sebuah jurang yang menghalangi kalian untuk melakukannya? Jurang itu bisa
berupa suatu lingkungan yang ternyata berisi orang-orang yang terkotak-kotak.
Atau bisa sebuah ketidakcocokan yang menjadikan kalian tidak bisa menemukan
sebuah hal yang ‘klik’ untuk menjadi modal kalian membaur dengan orang-orang
yang terkotak-kotak itu.
Mengenang sekilas kehidupanku
di SMA memang tidak begitu benar-benar berkesan. Tapi tidak juga begitu
membosankan. Semuanya terasa seimbang. Hanya saja aku memang tidak begitu
membaur dengan teman-temanku yang lain di SMA. Faktornya ya karena dua jurnag
yang kusebutkan tadi.
Namun, bukan berarti aku tak
memiliki teman dekat di SMA. Setidaknya ada empat teman dekatku di SMA dimana
aku lebih sering menghabiskan waktu dengan mereka. Sebuah kondisi yang
terkotak-kotak itu mau tak mau akhirnya mendorongku untuk membuat kotak sendiri
dan menempatinya bersama keempat teman dekatku yang memutuskan untuk berada di
kotak yang sama denganku. Barangkali lebih karena faktor kecocokan. Tapi,
hingga saat ini aku tak menyangka bahwa ketidakcocokan kotakku dengan kotak
mereka bisa begitu besar. Hingga kami tak memiliki kesempatan untuk mencoba
kotak-kotak mereka. Kotak mereka diset dengan sedemikian rupa hingga hanya muat
dihuni oleh anggota-anggota mereka sendiri. Dan akhirnya, begitu pula dengan
kotak yang kutempati.
Kondisi itu tak berubah hingga
kami lulus dan akhirnya mengadakan acara buka bersama hari ini.
Setidaknya, kotak yang mereka
dan aku tempati bukanlah sebuah kotak padat. Kubayangkan kotak-kotak itu adalah
sebuah kotak dengan rongga-rongga di setiap sisinya. Rongga yang cukup bagi
kami untuk mengulurkan tangan bersalaman dan tersenyum dan sedikit
berbasa-basi. Kotak kami dan mereka hanya muat sebatas itu. Dan itu yang kami
lakukan tadi.
Awalnya, aku memutuskan untuk
tidak jadi ikut acara ini karena kupikir tidak akan ada perubahan dengan
zamanku SMA dulu. Dan memang benar. Rongga kotak itu tak sedikitpun melebar.
Tak cukup lebar untuk membuat penghuninya menyambangi orang lain di kotak yang
lain.
Ketika aku mengetahui kedua
teman dekatku memutuskan untuk datang, aku pun menyanggupi. Kupikir tidak enak
juga dengan orang-orang di lain kotak yang sering membuat acara dan mengundang
semua orang, termasuk aku, tetapi aku tak pernah datang. Akhirnya kuputuskan
untuk datang dengan berbagai spekulasi memenuhi kepalaku. Spekulasi tentang
orang-orang yang sama, suasana yang sama, dan bagaimana kotak itu masih ada di
sana.
Begitu aku dan kedua teman
dekatku memasuki gerbang menuju ke tempat acara, melihat bagaimana situasi
sekitar, secara spontan kami memutuskan untuk tetap bertiga dan tidak terpencar
terlalu jauh. Karena masing-masing dari kami tidak akan nyaman berada dalam
kotak lain yang penuh dan tidak bisa menampung orang lain. Kami bergandengan
tangan dan menyatakan sebuah tekad “Don’t
let us be separated” di mana kami bagaimanapun jangan sampai berpencar
terlalu jauh. Well, kami lebih nyaman
tetap bertiga karena ketidakcocokan kami dengan yang lain terlalu besar.
Bukan berarti kami hanya
berdiri di sudut ruangan dan berbincang bertiga saja. Kami tetap bersama dan
berbincang dengan lainnya. Bersalaman, saling bertukar sapa, dan tersenyum.
Tapi, apa yang kurasakan adalah hal itu hanyalah sebuah formalitas karena
memang sudah lama tak jumpa. Padahal dulu ketika masih sama-sama di sekolah
yang sama, kami dan mereka tak betul-betul dekat.
Seperti biasa kami menciptakan
zona nyaman kami sendiri. Sejauh mungkin dari keramaian dengan suasana gerah
menjadi dalih. Kami selalu menunggu giliran belakang untuk bergerak dengan rasa
nyaman kami sendiri. Dan ketika salah satu temanku menghilang dengan sekotak
makanan, tinggal aku dan satu temanku yang lain. Kami berdua memutuskan untuk
menempati sebuah ruangan kosong di belakang yang cukup luas untuk kami berdua.
Suasana yang seperti ini yang
menggangguku. Sebenarnya aku tidak ingin suasana semacam ini tercipta. Tetapi,
adalah sebuah hal yang wajar dimana setiap orang akan berteman dengan orang
yang sesuai dengan minat dan dengan orang yang menciptakan suasana nyaman
dengan alasan yang sama. Aku hanya berusaha untuk bergabung dengan mereka. Dan
aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, atau karena pengalaman buruk di
masa lalu, setiap gerakanku terasa diawasi dan dinilai. Barangkali memang
perasaanku saja.
Perasaan tidak nyaman sempat
menyergapku. Hingga aku merasa tak enak makan. Rasa mual yang aneh sesekali
menggelitik perutku. Dan rasa itu bertambah hebat ketika aku dan kedua temanku
berjalan ke masjid untuk menunaikan ibadah, aku melihat seseorang yang saat ini
masih membuat perasaanku tak menentu sedang berbincang dengan teman-temannya di
beranda masjid.
Aku berhenti sejenak bersama
kedua temanku. Kukatakan pada mereka perutku terasa mual dan aneh hanya karena
melihat sosoknya dari belakang. Aku masih mengingat betul bagaimana rasanya
bahkan hingga aku mengetik saat ini. Sesekali hidungku terasa pengar. Aku heran
kenapa sensasinya bisa separah ini.
Aku berusaha untuk menghindari
sosok itu. Karena hanya melihatnya dari belakang saja aku serasa kebas. Rasanya
tak menentu. Ini benar-benar aneh dan aku sedang tidak mengarang-arang atau
melebih-lebihkan.
Usai beribadah, aku berjalan
keluar dari masjid, berbincang sebentar dengan teman lamaku yang lain, kemudian
berpamitan. Aku menoleh sejenak untuk mencari sosok itu (Ya. Aku mencari sosok
yang telah membuatku merasa tak menentu hanya dengan melihat punggungnya dari
kejauhan). Aku bermaksud menghindarinya. Namun, ketika aku berjalan melewati lapangan
basket, aku menemukannya sedang sibuk berfoto dengan teman-temannya.
Saat itulah aku merasa
bersyukur memiliki tubuh yang pendek. Setidaknya, temanku yang tinggi yang
berjalan di sebelahku bisa menutupiku. Meski aku tak yakin mengapa aku harus bersembunyi
dari sosok itu seolah ia akan sengaja mencariku atau tak sengaja melihatku.
Perasaan semacam ini muncul
karena aku dan sosok itu sudah tak pernah menjalin komunikasi selama beberapa
bulan. Kami juga tak pernah bertemu sejak hampir satu tahun. Dan karena
perasaan lama yang susah kutinggalkan di masa lalu, rasa mual dan aneh di
perutku itu muncul.
Aku benar-benar berhadapan
dengannya ketika aku dan kedua temanku mau tak mau harus ikut ajakan teman
sekelas untuk berfoto bersama di dalam lapangan basket. Kami berjalan melewati
pintu dari kawat dan besi di sisi lapangan. Sosok itu berdiri di sana dan
mengobrol dengan teman-temannya. Ia melihat kami datang dan langsung menyerukan
sebuah undangan untuk hadir ke rumahnya besok. Ia mengadakan acara buka bersama
dan mungkin semacam perpisahan karena ia akan berangkat ke pulau lain untuk
bekerja setelah hari raya Idul Fitri. Dengan cepat kukatakan, “Aku tidak bisa
datang”, kemudian menyalaminya. Dan ketika ia menampilkan wajah pura-pura
cemberutnya kepada kami (Tentu saja bukan hanya kepadaku) aku buru-buru masuk
ke dalam lapangan hanya untuk membelakanginya. Aku tak bisa melihatnya terlalu
lama tanpa menimbulkan rasa melankolis yang sebenarnya tak kusukai karena
membuatku terkesan cengeng.
Aku esok tak bisa datang dengan
sebuah alasan yang hanya bisa tersangkut di kepalaku sendiri tanpa bisa
kuungkapkan. Tidak ada tenaga dan keberanian untuk mengungkapkan banyak hal
selain penolakan untuk hadir. Esok aku ada acara sendiri yang sudah kurancang
sejak lama. Sama sekali tidak mungkin kubatalkan. Lagi pula jika esok aku tak
ada halangan pun aku barangkali memilih unuk tidak datang juga. Perasaan ini
rumit. Dan aku hanya ingin menghindarinya selama mungkin hingga aku terbiasa.
Aku harus menghela napas
sejenak. Catatan ini cukup mengurangi kadar oksigen yang masuk ke paru-paruku.
Aku akan mengakhiri catatan ini
dengan banyak harapan. Harapan untuk kesehatan nenekku. Harapan untuk diriku
sendiri agar menjadi lebih baik. Harapan untuk dunia yang lebih baik. Harapan
untuk perasaan lama yang juga membaik. Dan harapan untuk sosok itu agar bisa
berhasil dalam karirnya.
Ya, ampun. Bahkan hingga saat
ini aku sama sekali tak bisa berhenti untuk mengharapkan dan mendoakan kebaikan
bagi sosok itu.
Penunjuk halaman di Microsoft
Word-ku sudah mencapai angka 5. Dan inilah akhir untuk catatanku malam ini.
Semoga semua harapan yang kutuliskan terkabul. Aamiin.
Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar