Sabtu, 16 Juli 2016

Tentang Musik dan Pelarian

Kebutuhanku untuk menulis sangat mendesak. Seperti biasa ada hal yang ingin kutulis tetapi aku bingung apa yang harus kutulis. Padahal aku memiliki satu tugas  membuat sebuah cerpen untuk  pameran sastra. Deadline-nya akhir bulan ini dan aku belum menyusunnya!

Aku baru saja mau menulis paragraf pertama inti dari catatan ini tapi tiba-tiba listrik mati. Suasana gelap gulita. Dan berbekal kebiasaan mengetik sejak lama aku akhirnya membuat kalimat ini dalam kegelapan tanpa melihat keyboard.

Oh, baru saja listrik menyala lagi.

Astaga. Mati lagi.

Tunggu dulu. Sepertinya tegangan listrik ingin bermain petak umpet denganku karena baru saja listrik menyala lagi.

Dengan ditemani seorang adik laki-laki dimana tinggiku hanya mencapai pundaknya, aku akan memulai tulisan baru ini dengan topik mengenai …

Baiklah. Biar aku pikirkan dulu.

Oh, benar! Topik mengenai musik.

Sebenarnya, aku bukan tipikal yang paham tentang musik. Sejauh yang aku tahu sebagai orang awam aku hanya mengenal ada tujuh tangga nada dan beberapa jenis musik. Istilah-istilah lain mengenai musik? Aku buta sama sekali. Selebihnya aku hanyalah penikmat musik. Musik apa saja asalkan sesuai suasana hatiku dan enak kudengarkan.

Seingatku semenjak aku baru mengetahui bahwa ponsel pertamaku dulu bisa digunakan untuk mendengarkan radio menggunak earphone aku selalu mendengarakan musik kapanpun dan dimanapun. Khususnya ketika akan menjelang tidur. Bahkan sebagai penikmat lagu-lagu mancanegara khususnya western aku masih ingat betul lagu western apa yang pertama kali kudengarkan melalui earphone: The Day You Went Away dari M2m. Jauh sebelum itu ketika aku masih balita seingatku aku mendengar lagu-lagu Westlife pertama kali dan hingga saat ini aku masih menjadi penggemar grup vokal dari Irlandia itu.

Bagiku, musik dan lagu adalah dua hal yang sama dimana dengan mendengarkannya semua moodku bisa membaik, atau bahkan memburuk. Tidak diragukan lagi bahwa musik memang mampu membawa suasana hati pendengarnya ke manapun sesuai dengan musik apa yang didengarkan. Bahkan aku percaya bahwa tidak hanya musik yang mempengaruhi suasana hatimu. Terkadang suasana hatimulah yang mempengaruhi musik atau lagu yang kaudengarkan.

Pernahkah kalian merasa sedang menggalau, kemudian mendengarkan lagu sendirian dengan earphone di kedua telinga kalian, dan tanpa sengaja lagu-lagu yang kalian dengarkan beralih ke judul lain yang sesuai dengan suasana hati kalian? Pengalihan judul ini tidak hanya sekali, tetapi hingga beberapa kali. Padahal kalian sudah men-set pemutar musik kalian untuk secara otomatis memutar lagu secara acak. Tapi entah kenapa ketika kalian berusaha untuk menghindari lagu-lagu galau karena tidak ingin memperburuk suasana hati, justru lagu itu dengan sesuka hatinya beralih dari satu lagu galau ke lagu galau lain. Dan jika sudah seperti itu tak ada hal lain yang bisa kalian lakukan selain menikmati lagu galau itu. Karena … yah, karena kalian memang tidak bisa menyangkal suasana hati kalian sendiri.

Atau mungkin selain sebagai makhluk sosial, manusia juga termasuk makhluk yang gemar melakukan drama? Ketika sedang menggalau dan tanpa sengaja mendengarkan lagu galau, mereka justru akan menumpahkan kegalauan mereka seluas-luasnya hingga puas.

Barangkali memang benar begitu.

Musik bagi seorang introvert sepertiku adalah sebuah alat pelarian dari lingkungan yang tidak kusukai. Ketika aku sedang berada di tengah-tengah suasana yang tidak membuatku nyaman, atau dikelilingi seseorang yang mengganggu privasiku, aku cukup mengeluarkan sebuah ponsel berisi ratusan lagu dan sebuah earphone kemudian mendengarkan musik. Aku pun masuk ke duniaku sendiri.

Aku memang pernah menyatakan di catatanku sebelumnya mengenai  ‘dunia sendiri’ ini. Bahwa ketika planet lain masih sedang diteliti apakah bisa dihuni manusia atau tidak, jangan coba-coba untuk membuat dan hidup di planetmu sendiri. Tapi sebagai seorang introvert kurasa memiliki dunia sendiri terkadang memang tidak bisa dihindari.

Ajaibnya, musik tidak hanya mengirimku ke duniaku sendiri di saat-saat yang paling kubutuhkan, tetapi musik juga membantuku berhubungan dengan orang lain. Terutama orang-orang yang memiliki genre musik yang sama denganku. Dan karena genre musik dan lagu-lagu yang kudengarkan cukup umum hal ini semakin memudahkanku berbagi minat dengan orang lain. Tidak masalah bagiku memutar sebuah lagu di kelas dengan bantuan speaker karena aku dan teman-temanku menikmati musik yang sama.

Untukmu yang mungkin sedang merasa gelisah dan suntuk kusarankan untuk mencari tempat setenang mungkin. Bawa daftar-daftar lagumu yang siap diputar entah itu di ponsel, laptop, i-pod, atau apapun. Jangan lupa earphone. Pergilah ke tempat yang tenang dimana tidak ada seorangpun bisa mengusikmu, pasang earphone ke telinga, dan dengarkan musik. Musik yang bisa mengubah suasana hatimu menjadi lebih baik. Dengarkan dan nikmati. Pejamkan matamu dan biarkan nada demi nada mengalir dari telinga ke otakmu hingga mungkin ke seluruh tubuhmu. Nanti ketika kau membuka mata, kupastikan segala hal akan terasa berbeda.

Musik membantumu menemukan sebuah inspirasi. Sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaanmu sendiri. Sebuah titik terang. Musik juga membantumu barang sejenak melarikan diri dari berbagai persoalan yang bisa membuat otakmu terasa penuh dan ingin meledak.

Ketika kau mendengarkan musik, jangan tahan dirimu. Berdendanglah ketika kau ingin berdendang mengikuti alunan musik. Gerakkan tubuhmu ketika kau ingin semakin terhanyut ke dalam baris demi baris lirik dan dentuman sensasi yang muncul. Tak perlu ditahan. Sepanjang kau tak melakukannya secara berlebihan di tengah-tengah kerumunan jangan takut untuk melakukannya.

Dengarkan musikmu!

Terberkatilah seseorang yang memiliki bakat untuk bermain alat musik atau memiliki suara indah. Mereka dapat menciptakan pelarian masalah mereka sendiri. Dan untukmu yang terberkati dengan bakat lain selain bakat musik tak perlu khawatir karena musik dapat dinikmati dengan berbagai cara. Bahkan cara termustahilpun sekalian. Sepanjang kau menemukan caranya sendiri.
***

Apakah catatanku barusan cukup terlihat sebagai salah satu pelarian juga?

Jujur saja bahwa sebelumnya aku tak memiliki topik apapun untuk kutuliskan selain curahan hati mengenai masalah yang lama yang belum juga kuselesaikan. Tapi kemudian ketika aku membuka Ms.Word dengan beberapa lagu yang kuputar di laptop-ku aku langsung banting setir untuk membuat catatan lain dengan topik yang baru. Akhirnya~ Inilah catatanku.

Aku tahu seharusnya aku jujur dalam menulis. Menulis apapun itu. Tapi seperti yang kukatakan bahwa musik membantu kita untuk menemukan titik terang dari berbagai permasalahan, aku pun mendapatkan titik terangku sendiri untuk tidak membuat tulisan galau yang terlampau banyak. Apalagi tulisan yang kubagikan ke seluruh orang di dunia ini melalui blog. Setidaknya aku harus membuat catatan yang bisa kugunakan untuk berbagi hal-hal yang menggembirakan. Bukan hanya hal-hal galau terus menerus.


Di ujung catatan ini aku akan mengedit beberapa kata yang salah ketik sambil berpikir judul apa yang akan kugunakan. Jadi, sebagai penutup, kuucapkan terima kasih atas waktu yang kalian luangkan untuk membaca catatan ini. Kebutuhkan untuk menuli cukup tersalurkan hari ini. Sampai jumpa di catatan selanjutnya~

Sabtu, 02 Juli 2016

Sebuah Kotak dan Perasaan Lama

Malam hari. Waktu yang tepat untuk menulis dan mencurahkan semua isi hati.

Sebenarnya, aku tak pernah berniat untuk menuliskan hal-hal yang menyedihkan di sini. Atau setidaknya hal-hal yang berisi curahan hati yang terlalu mengharu biru. Tapi, kupastikan bahwa tulisan ini tidak akan berisi hal-hal yang cengeng dimana kalian akan menghabiskan waktu kalian untuk membacanya di dalam kamar dengan berbagai buntalan tisu bekas pakai. Tulisan ini tidak akan menjadi seperti ‘itu’.

Sejak awal kuputuskan bahwa blog ini untuk sementara akan berisi tulisan-tulisan semacam diary. Beberapa hal yang kurasakan dan kupikirkan kutuliskan di sini. Aku sempat berpikir seperti who am I sampai aku menuliskan berbagai hal yang agak sedikit pribadi di blog untuk dibaca banyak orang. I’m not a superstar with a lot of fans. But, I think sebagai seseorang yang mengabdikan diri untuk menulis di waktu-waktu senggangnya aku bebas menulis apapun dan dimanapun.

Jadi, untuk kalian yang—barangkali—entah bagaimana menemukan blog-ku ini kemudian sempat membaca beberapa catatanku, kuucapkan banyak terima kasih atas waktu yang kalian luangkan. Aku juga sedang berusaha untuk mendapatkan banyak pengalaman yang menyenangkan untuk kutulis dan kubagikan di catatan ini. Doakan aku untuk terus konsisten menulis.

Aku akan mulai tulisan ini dengan sebuah keluhan yang sempat kuungkapkan beberapa kali pada diriku sendiri. Tahun ini adalah tahun yang berat untukku. Dan juga untuk orang-orang di sekitarku. Aku tak akan mengulasnya lebih jauh karena inti dari catatanku ini bukanlah tentang hal tersebut. Ada banyak hal yang perlu kami korbankan. Khususnya waktu, tenaga, dan mungkin uang.

Itu tadi keluhanku.

Teriring doa untuk nenekku yang sedang sakit, semoga lekas sembuh. Mungkin memang tidak bisa lagi sesehat dulu, tapi harapanku dan semua anggota keluarga yang menyayanginya adalah agar nenek bisa lebih sehat dan bisa berkumpul lagi dengan kami. Kami rindu senyum beliau, kelembutan dan kesabaran beliau, dan bagaimana beliau selalu hadir di tengah-tengah kami.

Aamiin.

Seperti yang kukatakan sebelumnya bahwa catatan ini tidak akan membahas tentang keluhanku lebih jauh. Aku ingin bercerita tentang bagaimana aku tadi mengikuti buka bersama dengan satu angkatan SMA. Salah satu acara di SMA yang jarang kuikuti karena ada beberapa alasan.

Pernahkah kalian merasakan berada di sebuah lingkungan dimana kalian sebenarnya ingin membaur ke dalamnya, berada dalam suasana yang menyenangkan bagi kalian, tetapi entah mengapa ada sebuah jurang yang menghalangi kalian untuk melakukannya? Jurang itu bisa berupa suatu lingkungan yang ternyata berisi orang-orang yang terkotak-kotak. Atau bisa sebuah ketidakcocokan yang menjadikan kalian tidak bisa menemukan sebuah hal yang ‘klik’ untuk menjadi modal kalian membaur dengan orang-orang yang terkotak-kotak itu.

Mengenang sekilas kehidupanku di SMA memang tidak begitu benar-benar berkesan. Tapi tidak juga begitu membosankan. Semuanya terasa seimbang. Hanya saja aku memang tidak begitu membaur dengan teman-temanku yang lain di SMA. Faktornya ya karena dua jurnag yang kusebutkan tadi.

Namun, bukan berarti aku tak memiliki teman dekat di SMA. Setidaknya ada empat teman dekatku di SMA dimana aku lebih sering menghabiskan waktu dengan mereka. Sebuah kondisi yang terkotak-kotak itu mau tak mau akhirnya mendorongku untuk membuat kotak sendiri dan menempatinya bersama keempat teman dekatku yang memutuskan untuk berada di kotak yang sama denganku. Barangkali lebih karena faktor kecocokan. Tapi, hingga saat ini aku tak menyangka bahwa ketidakcocokan kotakku dengan kotak mereka bisa begitu besar. Hingga kami tak memiliki kesempatan untuk mencoba kotak-kotak mereka. Kotak mereka diset dengan sedemikian rupa hingga hanya muat dihuni oleh anggota-anggota mereka sendiri. Dan akhirnya, begitu pula dengan kotak yang kutempati.

Kondisi itu tak berubah hingga kami lulus dan akhirnya mengadakan acara buka bersama hari ini.

Setidaknya, kotak yang mereka dan aku tempati bukanlah sebuah kotak padat. Kubayangkan kotak-kotak itu adalah sebuah kotak dengan rongga-rongga di setiap sisinya. Rongga yang cukup bagi kami untuk mengulurkan tangan bersalaman dan tersenyum dan sedikit berbasa-basi. Kotak kami dan mereka hanya muat sebatas itu. Dan itu yang kami lakukan tadi.

Awalnya, aku memutuskan untuk tidak jadi ikut acara ini karena kupikir tidak akan ada perubahan dengan zamanku SMA dulu. Dan memang benar. Rongga kotak itu tak sedikitpun melebar. Tak cukup lebar untuk membuat penghuninya menyambangi orang lain di kotak yang lain.

Ketika aku mengetahui kedua teman dekatku memutuskan untuk datang, aku pun menyanggupi. Kupikir tidak enak juga dengan orang-orang di lain kotak yang sering membuat acara dan mengundang semua orang, termasuk aku, tetapi aku tak pernah datang. Akhirnya kuputuskan untuk datang dengan berbagai spekulasi memenuhi kepalaku. Spekulasi tentang orang-orang yang sama, suasana yang sama, dan bagaimana kotak itu masih ada di sana.

Begitu aku dan kedua teman dekatku memasuki gerbang menuju ke tempat acara, melihat bagaimana situasi sekitar, secara spontan kami memutuskan untuk tetap bertiga dan tidak terpencar terlalu jauh. Karena masing-masing dari kami tidak akan nyaman berada dalam kotak lain yang penuh dan tidak bisa menampung orang lain. Kami bergandengan tangan dan menyatakan sebuah tekad “Don’t let us be separated” di mana kami bagaimanapun jangan sampai berpencar terlalu jauh. Well, kami lebih nyaman tetap bertiga karena ketidakcocokan kami dengan yang lain terlalu besar.

Bukan berarti kami hanya berdiri di sudut ruangan dan berbincang bertiga saja. Kami tetap bersama dan berbincang dengan lainnya. Bersalaman, saling bertukar sapa, dan tersenyum. Tapi, apa yang kurasakan adalah hal itu hanyalah sebuah formalitas karena memang sudah lama tak jumpa. Padahal dulu ketika masih sama-sama di sekolah yang sama, kami dan mereka tak betul-betul dekat.

Seperti biasa kami menciptakan zona nyaman kami sendiri. Sejauh mungkin dari keramaian dengan suasana gerah menjadi dalih. Kami selalu menunggu giliran belakang untuk bergerak dengan rasa nyaman kami sendiri. Dan ketika salah satu temanku menghilang dengan sekotak makanan, tinggal aku dan satu temanku yang lain. Kami berdua memutuskan untuk menempati sebuah ruangan kosong di belakang yang cukup luas untuk kami berdua.

Suasana yang seperti ini yang menggangguku. Sebenarnya aku tidak ingin suasana semacam ini tercipta. Tetapi, adalah sebuah hal yang wajar dimana setiap orang akan berteman dengan orang yang sesuai dengan minat dan dengan orang yang menciptakan suasana nyaman dengan alasan yang sama. Aku hanya berusaha untuk bergabung dengan mereka. Dan aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja, atau karena pengalaman buruk di masa lalu, setiap gerakanku terasa diawasi dan dinilai. Barangkali memang perasaanku saja.

Perasaan tidak nyaman sempat menyergapku. Hingga aku merasa tak enak makan. Rasa mual yang aneh sesekali menggelitik perutku. Dan rasa itu bertambah hebat ketika aku dan kedua temanku berjalan ke masjid untuk menunaikan ibadah, aku melihat seseorang yang saat ini masih membuat perasaanku tak menentu sedang berbincang dengan teman-temannya di beranda masjid.

Aku berhenti sejenak bersama kedua temanku. Kukatakan pada mereka perutku terasa mual dan aneh hanya karena melihat sosoknya dari belakang. Aku masih mengingat betul bagaimana rasanya bahkan hingga aku mengetik saat ini. Sesekali hidungku terasa pengar. Aku heran kenapa sensasinya bisa separah ini.

Aku berusaha untuk menghindari sosok itu. Karena hanya melihatnya dari belakang saja aku serasa kebas. Rasanya tak menentu. Ini benar-benar aneh dan aku sedang tidak mengarang-arang atau melebih-lebihkan.

Usai beribadah, aku berjalan keluar dari masjid, berbincang sebentar dengan teman lamaku yang lain, kemudian berpamitan. Aku menoleh sejenak untuk mencari sosok itu (Ya. Aku mencari sosok yang telah membuatku merasa tak menentu hanya dengan melihat punggungnya dari kejauhan). Aku bermaksud menghindarinya. Namun, ketika aku berjalan melewati lapangan basket, aku menemukannya sedang sibuk berfoto dengan teman-temannya.

Saat itulah aku merasa bersyukur memiliki tubuh yang pendek. Setidaknya, temanku yang tinggi yang berjalan di sebelahku bisa menutupiku. Meski aku tak yakin mengapa aku harus bersembunyi dari sosok itu seolah ia akan sengaja mencariku atau tak sengaja melihatku.

Perasaan semacam ini muncul karena aku dan sosok itu sudah tak pernah menjalin komunikasi selama beberapa bulan. Kami juga tak pernah bertemu sejak hampir satu tahun. Dan karena perasaan lama yang susah kutinggalkan di masa lalu, rasa mual dan aneh di perutku itu muncul.

Aku benar-benar berhadapan dengannya ketika aku dan kedua temanku mau tak mau harus ikut ajakan teman sekelas untuk berfoto bersama di dalam lapangan basket. Kami berjalan melewati pintu dari kawat dan besi di sisi lapangan. Sosok itu berdiri di sana dan mengobrol dengan teman-temannya. Ia melihat kami datang dan langsung menyerukan sebuah undangan untuk hadir ke rumahnya besok. Ia mengadakan acara buka bersama dan mungkin semacam perpisahan karena ia akan berangkat ke pulau lain untuk bekerja setelah hari raya Idul Fitri. Dengan cepat kukatakan, “Aku tidak bisa datang”, kemudian menyalaminya. Dan ketika ia menampilkan wajah pura-pura cemberutnya kepada kami (Tentu saja bukan hanya kepadaku) aku buru-buru masuk ke dalam lapangan hanya untuk membelakanginya. Aku tak bisa melihatnya terlalu lama tanpa menimbulkan rasa melankolis yang sebenarnya tak kusukai karena membuatku terkesan cengeng.

Aku esok tak bisa datang dengan sebuah alasan yang hanya bisa tersangkut di kepalaku sendiri tanpa bisa kuungkapkan. Tidak ada tenaga dan keberanian untuk mengungkapkan banyak hal selain penolakan untuk hadir. Esok aku ada acara sendiri yang sudah kurancang sejak lama. Sama sekali tidak mungkin kubatalkan. Lagi pula jika esok aku tak ada halangan pun aku barangkali memilih unuk tidak datang juga. Perasaan ini rumit. Dan aku hanya ingin menghindarinya selama mungkin hingga aku terbiasa.

Aku harus menghela napas sejenak. Catatan ini cukup mengurangi kadar oksigen yang masuk ke paru-paruku.

Aku akan mengakhiri catatan ini dengan banyak harapan. Harapan untuk kesehatan nenekku. Harapan untuk diriku sendiri agar menjadi lebih baik. Harapan untuk dunia yang lebih baik. Harapan untuk perasaan lama yang juga membaik. Dan harapan untuk sosok itu agar bisa berhasil dalam karirnya.

Ya, ampun. Bahkan hingga saat ini aku sama sekali tak bisa berhenti untuk mengharapkan dan mendoakan kebaikan bagi sosok itu.

Penunjuk halaman di Microsoft Word-ku sudah mencapai angka 5. Dan inilah akhir untuk catatanku malam ini. Semoga semua harapan yang kutuliskan terkabul. Aamiin.

Selamat malam.