Juli merenung. Terakhir ia hadir di tempat ini sudah berlangsug selama tujuh tahun lalu. Hanya itu yang ia ingat, selebihnya hanya sebuah ingatan samar-samar. Tentang bagaimana aroma di udara itu kini telah berubah. Tentang bagaimana perasaan ditemani itu hadir dalam samar-samar sebuah bayang sosok yang kian meredup hari demi hari.
Bangku coklat tua dari kayu ek terasa lebih dingin dari
seharusnya. Ini bulan April, seharusnya cuaca tidak sedingin ini. Ia kemudian
mencoba untuk meraih ke dalam dirinya sendiri, menerka-nerka mungkinkah rasa
dingin itu sesungguhnya bersumber dari dirinya sendiri. Digoyangkan badannya ke
depan dan belakang, kemudian direngkuhnya tubuhnya dengan kedua lengannya
sendiri. Terasa baju wol hangat yang menyelubungi tubuhnya tidak mampu menahan
rasa dingin yang ternyata bersumber dari dalam dirinya sendiri itu.
Pegunungan bersalju terasa tampak jauh di depan dan
sekelilingnya, namun juga terasa dekat seolah mengepung tubuhnya yang mungil.
Di kejauhan dilihatnya Philip, si kuda hitam besar, berlarian mendekati
kawanannya, menggangu mereka yang sedang merumput. Kendati padang rumput itu
begitu luas, dengan jumputan bunga-bunga Erica
cinerea di sekitarnya, Philip tidak peduli. Ia mendekati kawanannya yang
merasa terganggu karena didesak terus-terusan. Philip tidak mau sendirian.
Juli melihat Philip seperti melihat dirinya sendiri.
Langit seharusnya lebih cerah. Biru bersinar dengan
gumpalan kapas lembut bergerak berarakan. Tetapi yang dilihat Juli kosong.
Ia kemudian mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri.
Mungkinkah yang kosong sesungguhnya adalah hatinya sendiri? Sedangkan langit itu,
tetap seperti biasa, terbentang biru cerah di bulan April dan mulai keabuan
menjelang akhir tahun.
Rambut Juli bergerak lembut, sesekali diterpa angin sedikit
kuat. Juli membiarkan helaian gelombang rambutnya menyapu kening, pipi, dan
setiap sudut wajahnya. Berharap bisa turut pula menyapu sisa-sisa dimana bagian
wajahnya pernah disentuh dengan lembut oleh sepasang tangan yang kokoh.
Angin itu terasa dingin. Terasa ganjil di bulan April yang
seharusnya hangat. Atau mungkin, itu hanya perasaan Juli saja karena telah
begitu lama ia hidup dalam musim dingin.
Setiap waktu adalah ujung tahun bagi Juli. Cukup dingin dan
membekukan. Bahkan tidak bisa dihangatkan cukup dengan segelas coklat atau
perapian tua di rumah peninggalan kakek dan neneknya.
Sepatu boots Juli terasa ada yang menyenggol. Awalnya ia
mengira disenggol kenyataan, bahwa semua hal di dunia ini berkawan. Baik
Philip, tangkai-tangkai rumput, jumputan bunga Erica cinerea yang berkelompok, bahkan kawanan awan itu, kecuali
Juli. Tetapi ketika Juli menunduk, dilihatnya Poppy menggoyangkan ekornya
dengan menggigit sebuah bola baseball.
Mata Poppy hitam bulat bersinar-sinar. Terakhir Juli
melihat sepasang mata itu juga telah berlalu selama tujuh tahun lalu. Sepasang
mata hitam yang bisa menghangatkan akhir tahunnya yang berkepanjangan. Mata itu
kini hanya bisa didapatkannya dari seekor anjing pudel berwarna putih.
Dipungutnya bola baseball itu dari mulut Poppy.
Dilemparkannya jauh-jauh, berharap dirinya ikut terlempar dari tempat itu.
Tempat itu, sama seperti tempat-tempat sebelumnya, tidak bisa menyembuhkan luka
hatinya.