Sabtu, 01 Juli 2017

Unspoken Promises: A Man with Everything in His Eyes



Aku menyukai matanya.

Dua bola mata yang menyimpan segalanya. Begitu dalam seolah jika aku menatapnya lama aku akan tenggelam hingga ke dasar-dasarnya. Menemukan segala jawaban yang selama ini hanya berani kutanyakan pada diriku sendiri, dalam hati, tanpa berani kuutarakan. Menemukan semua hal yang selama ini disimpannya rapat tanpa ada orang lain yang tahu.

Pertama kali bertemu, kedua mata itu adalah hal pertama yang menarik perhatianku. Membuatku ingin menatapnya lama. Mengadukan pandanganku cukup dalam hingga menembus retinanya dan mengaduk segala hal yang ingin kutemukan di balik kedua kelopak matanya.

Terkadang kulihat kedua bola mata itu bersinar. Meletupkan semangat yang secara ajaib menular padaku. Ada sesuatu di balik mata itu yang menggelegak ingin keluar: semangat yang berapi-api.

Terkadang kedua bola mata itu berkerling jahil. Menyampaikan serangkaian lelucon yang menyegarkan. Mengundang tawaku yang selalu tanpa sempat kutahan meledak begitu saja. Mata yang begitu jenaka yang selalu saja membuatku merasa begitu baik hingga rasanya aku sanggup melupakan semua kesedihanku sendiri.

Sesekali aku sempat merasa takut. Kedua mata itu pernah kutangkap sedang mengukung kobaran api yang menyala-nyala. Ada kemarahan yang dipenjarakan di sana. Ada dendam akan masa lalu yang seolah ingin segera dilepaskan. Seolah ada kotak Pandora di balik kedua tatapannya yang menuntut untuk segera dibuka. Aku merasa menyusut menjadi begitu kecil dan seluruh dunia menjadi jauh lebih besar dari yang sanggup kuhadapi ketika melihat sorot matanya yang demikian.

Tetapi, dari sekian kesan yang kudapat dari sepasang kedua mata yang menarik itu adalah sebuah kesan yang seolah ingin menarikku ke dalamnya. Berdiam diri di dalam kedua bola matanya, meringkuk senyaman mungkin, dan menghabiskan hari-hariku di sana. Tatapan yang tidak mengintimidasi, yang tidak membuat siapapun ingin menarik diri, tetapi tatapan yang seolah menjanjikan segala kenyamanan.

Pernah suatu ketika aku melihat kedua bola matanya sedang menyalurkan segala janji yang tidak bisa diucapkan. Janji yang barangkali jika aku bisa menyelami tatapannya lebih jauh, adalah janji tentang kenyamanan. Kedua bola mata itu, anehnya, terasa bisa memelukku. Aku nyaman berada di sana. Aku merasa aman dan terlindungi.

Aku tak tahu bahwa hanya dengan kedua bola mata itu aku bisa merasa demikian.

Aku sangat menyukai matanya.

Barangkali memang tidak baik mengimpikan kenyaman yang sederhana hanya dengan melihat kedua matanya. Tetapi, jika aku boleh merindukan sesuatu tentangnya, aku merindukan matanya. Selalu kedua matanya.

Mata yang memiliki segalanya, yang tidak menjanjikan apapun selain kenyamanan yang sederhana, dan itu lebih dari yang kubutuhkan saat ini.

Kedua bola mata yang memberikan candu akan secangkir coklat di genggaman tangan di tengah musim dingin.

Sepasang mata yang membuat anak kecil tak takut akan gelap ketika lilin yang dinyalakannya terbakar habis.

Sepasang mata yang menyediakan tempat berteduh di sela-sela hujan.

Sepasang mata yang seperti bola dunia beserta segala rahasia yang ditanamkan Tuhan di dalamnya.

Sepasang mata yang tidak sanggup kuabaikan, barangkali, selamanya.

Sepasang mata itu, saat ini sedang kurindukan. Teramat sangat.