Sabtu, 07 Januari 2017

Menjadi Bria Sandoval

Sesuatu baru saja mengenai mataku. Rasanya dingin. Sesuatu itu kemudian meluncur turun dari atas kelopak mataku yang tertutup, terus turun hingga mengenai tulang pipiku. Kemudian samar-samar, kudengar suara sesuatu yang jatuh menyentuh tanah menetes dan terserap ke lapisannya perlahan-lahan.

Aku tak pernah tahu telingaku bisa sebegini pekanya.

Air itu menetes lagi. Kali ini kurasakan sesuatu memayungi kepalaku yang terbaring di atas ransel besar. Kubuka mataku perlahan dan samar-samar kulihat sesosok berkulit coklat sedang memamerkan giginya dengan begitu manis tepat di atas jidatku.

"Hey, bangun. Kau akan ketinggalan sesuatu yang menyenangkan lagi," kata laki-laki itu. Setidaknya aku tahu dia laki-laki dari tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa kecuali sebuah celana surfing. Kulitnya begitu coklat. Tato naga yang lebih mirip Nessie si monster Lochness terlihat jelas di lengan kanannya tepatnya di bagian yang diberkahi otot Latissimus Dorsi yang terbentuk sempurna. Bahkan lebih coklat dariku dengan rambut hitam sebahunya yang dibiarkan tergerai. Ia menenteng sebuah surfing board berwarna biru turquois.

Aku masih terbengong-bengong di tempatku berada ketika satu sosok lagi muncul. Kali ini perempuan. Rambut pirang panjangnya digelung tinggi-tinggi dan basah. Ia mengenakan pakaian renang yang menunjukkan bentuk tubuh rampingnya yang terlalu jelas.

"Kenapa, Rowan? Dia tidur siang lagi?" tanya perempuan itu sambil menumpangkan salah satu tangannya yang penuh gelang manik-manik ke atas kepala laki-laki yang dipanggilnya Rowan.

Tunggu dulu. Aku pernah mendengar nama itu. Tapi dimana?

Perempuan berambut pirang dan berkulit sewarna cappuccino itu ikut-ikutan jongkok di hadapanku. Mata biru gelapnya begitu jelas terlihat sewarna laut Arktik.

"Kau yakin tidak berenang?" tanya perempuan itu lagi.

Aku hanya bisa berkedip-kedip.

Tahu-tahu laki-laki bernama Rowan mengangkat bahunya. "Yah, aku tidak akan memaksanya lagi saja," katanya yang kubalas dengan tatapan kosong. "Terakhir kali aku memaksamu kau hampir saja mutah di atas perahu Devon, ingat?" lanjutnya lagi.

"Susul saja kami jika kau tertarik. Oke?" Perempuan di hadapanku ini kemudian beranjak berdiri dan meraih surfingboard Rowan kemudian berlari pergi dengan disusul suara teriakan jengkel Rowan.

"Starling, kembalikan!"

Nama itu juga. Aku pernah tahu nama itu. Tapi di mana?

Seperginya mereka berdua aku hanya terpaku seperti orang bodoh. Rasanya beberapa menit yang lalu aku tidur di kamarku sendiri. Sekarang tahu-tahu, Tuhan memindahkanku di tempat lain yang sangat asing bagiku. Aku yakin betul kamarku tidak beratap kanopi pepohonan hijau yang rindang dengan daun-daunnya yang lebar. Dindingku juga bukan batang-batang pohon. Dan kasurku! Aku tidak mungkin tidur di atas kasur yang terbuat dari pasir putih yang begitu halus laksana tepung!

Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku tidak lagi berada di dalam kamarku. Tetapi di sebuah pantai. Yang benar saja aku berangkat tidur di kamarku sendiri dan terbangun di sebuah pantai?!

Dan bajuku ... apa pula ini? Kemana perginya baju tidurku? Kenapa bantalku tiba-tiba juga berubah menjadi sebuah ransel besar begini?

Dengan terburu-buru aku berdiri. Kurasakan angin laut menerpa wajahku lebih keras. Helai-helai rambut pendekku terdorong ke belakang kepala dan bergerak-gerak menyentuh leher.

Aku menunduk dan mendapati celana pendekku berubah menjadi celana serut sebawah lutut berwarna coklat muda. Well, setidaknya bajuku masih sama.

TAPI AKU DIMANA?!

Kupicingkan mataku sebentar ke bibir pantai yang berjarak hampir seratus puluh meter dari tempatku berdiri dan kudapati laki-laki bernama Rowan dan perempuan bernama Starling baru saja beranjak dari air laut. Mereka duduk berdua menghadap bibir pantai. Sesekali mereka adu tinju dengan lengan satu sama lain.

Aku mulai berpikir. Mana mungkin aku terjebak di pantai dengan dua orang yang sedang berpacaran?

Aku berjalan perlahan dan sesekali menoleh ke belakang. Beberapa puluh meter di atas hutan kulihat sebuah tebing dengan beberapa rumah yang kutebak sebagai villa. Kemudian aku menoleh lagi ke depan dan tiba-tiba sudah berada di bibir pantai.

Air laut yang hangat menyentuh ujung-ujung jemariku. Aku terpaku lagi. Air laut ini terasa asing. Seolah aku pernah berkeliling ke banyak pantai saja. Tapi sesuatu di dalam kepalaku memberitahuku bahwa aku sedang berada di tempat yang sangat asing. Begitu pula air laut ini.

"Laut Karibia tidak cocok untuk surfing. Seharusnya kita membawa perlengkapan diving tadi," kata Rowan padaku. Ia tersenyum. Perempuan di sampingnya tersenyum.

Dan aku cemberut.

Cara kedua orang itu memandangku seolah kami sudah kenal dekat sejak lama.

"Tapi Devon bilang kita tidak bisa diving hari ini. Semua perlengkapan disewa oleh murid-murid menyelam Jack," kata Starling.

"Aku sedang ada di mana?" Pertanyaan itu meluncur dari mulutku dengan sekehendaknya saja.

Giliran Starling dan Rowan yang menatapku bengong.

"Kau baik-baik saja? Apa kepalamu kejatuhan buah kelapa ketika sedang tidur siang tadi?" tanya Rowan.

"Tidak ada pohon kelapa di tempatnya tidur tadi, Rowan," jawab Starling.

Rowan bangkit diikuti dengan Starling. Ia berjalan mendekatiku dan menempelkan telapak tangannya ke keningku seolah aku tiba-tiba terjangkit demam.

"Kita sedang di Belize, Bria."

Bria? Tanyaku dalam hati.

"Kau ke sini dengan adikku seminggu yang lalu dengan perahu dari Livingston untuk menghadiri Lobsterfest. Ingat?" tanya Starling sambil menunjuk Rowan. Oh, jadi dia adiknya? Pikirku lagi. Tapi, aku sama sekali tidak ingat.

"Livingston? Itu dimana? Dan Bria ... siapa Bria? Aku bukan Bria," jawabku mulai kesal.

"Dan ... Belize? Mana mungkin aku ada di Belize sekarang!" teriakku.

Starling dan Rowan saling pandang. Kemudian, awan hitam berarak begitu dekat ke arah kami. Dan sekonyong-konyong hujan turun dengan lebatnya hingga aku terjungkal.

Aku jatuh terduduk dengan mata terpejam menghindari hantaman butir-butir hujan yang keterlaluan lebatnya. Begitu aku terbuka, hujan itu tiba-tiba berhenti. Aku terdampar kembali di atas tempat tidurku. Tetes-tetes hujan kini berubah menjadi tetes es krim.

Es krim?

Aku mendongak. Dengan kepala masih dihiasi kebingungan, aku melihat sosok lain yang menggantikan Rowan. Adik sepupuku yang paling kecil bertengger di atas bantalku sambil menyodorkan es krim ....

Aku begitu terkejut hingga melompat bangun. Tangan kananku masih menggenggam buku yang kubaca: Wanderlove oleh Kirsten Hubbard.

Aku ternganga lagi. Sisa es krim milik adik sepupuku mengalir melewati jidatku hingga ke ujung hidung. Tapi aku masih terpaku seperti orang bodoh.

Benar juga. Rowan, Starling, dan Bria. Ketiga nama itu hanya ada di buku yang semalam kubaca.

Jadi aku tadi bermimpi?