Jumat, 14 Mei 2021

When a Little Unicorn Being Afraid of a Rainbow

 Oneday, Tipsy the little unicorn was waking up in a cold misty morning. She opened her little blinking eyes, her heart full of hope. Will I meet another little unicorns outside? This morning is so cold, I think I can’t go far away to find another flowers, She thought.

 

Meanwhile, outside of  her house, there’s no one of her friends, nor another unicorn. She lived alone. She didn’t know where’s her mama or papa. All she knew was someday she opened her eyes and found she left alone.

 

Tipsy pushed all of her legs to stand up and walked into the door. She opened her door and all of she saw was a very wide meadows with some little white flowers. She didn’t meet any friends at all just like usual days.

 

Tipsy walked down into the meadows. This cold and mist just so familiar until the clouds moved into another way and the sun was shine so bright. It just a second, even Tipsy didn’t have a chance to enjoy the sun, the clouds getting dark again. “No, please, don’t rain,” Tipsy whispered.

 

Suddenly, the thunder shocked Tipsy out. It’s still the earlier of morning and thunder was so rumbling. Tipsy run back to her home, but before she reached out the door the light rain came with a little sun shine. Tipsy never met this weather and she stopped. She tried to understand the weather. “Are you try to play with me?” Tipsy asked into the light rain. The wind blows a little like it answered Tipsy’s question.

 

“Okay, let’s play. But don’t scare me,” she said. Tipsy walked around the meadows while light rain wet her out. She played alone without any one, any unicorns. She played with the rain happily just like meet a new friends. Sometimes she shook her little pony to waggle the wet, sometimes her legs nudged the little white flowers softly try to ask them to dance with her. Tipsy just made a friend with the meadows, light rain, and a little sun shine!

 

But, the light rain stopped. Slowly the clouds moved and showed something colourful and curved. Tipsy looked at that and thought, she felt like she knew what was that. Those colors … And those feelings. Something hurt appeared inside of her heart slowly. She knew the feelings! She knew the things! That rainbow … bring her parents go and left her alone. Tipsy so afraid and she cried. She didn’t want to meet the rainbow again because she knew she will left alone again, even no one around her right now.

 

Tipsy run away from the meadows to stay away from the rainbow. She run as fast as her little feet can bring her away from the rainbow, left loneliness behind her. Tipsy didn’t know where to go, the only thing she knew was she didn’t want to meet a rainbow anymore, she didn’t want rainbow brings all of she have … even she didn’t have anything at all.

 

Meanwhile, when Tipsy run away so far … She didn’t know that another unicorns come over the rainbow. They went down through the rainbow and called Tipsy. Turns out, when they went by the rainbow into another meadows, they forgot Tipsy … but now, they came back to pick up Tipsy. But, Tipsy already run away.

Sabtu, 23 Januari 2021

Seperempat Abad

Hai,

Sebuah lembaran putih berdebu yang telah lama merindukan huruf-huruf kecilku. Apa kabar? Apa kabar aku, apa kabar dunia hening dan kecilku?

Aku, seperti biasa, tidak akan memulai tulisan ini dengan diksi yang begitu-begitu saja, karena sesungguhnya ketika kuketikkan kalimat ini bukan jari dan isi kepalaku yang bergerak. Tapi, entah bagaimana, hatiku menuliskan ini semua.

Sesuatu yang seringkali kusimpan sendiri ingin menguar keluar. Tidak tahu apakah karena lagu yang sedang kuputar, atau menyadari kenyataan bahwa langkahku telah membawaku sejauh ini, mataku terasa panas.

Hei, Seperempat abadku.

Setiap tahun rasanya seperti memiliki sebuah hutang pada diriku sendiri, dan duniaku yang hening, tenang, serta kecil ini. Aku tahu ada sesuatu yang menunggu untuk dibuka kembali dan diisi dengan hal-hal baru. Kini, di pagi yang tersorot cahaya matahari seperempat abadku, kutuliskan kembali hal-hal yang selama ini ingin selalu kuingat dan kudengar dari orang lain.

You blessed.

Kamu diberkahi dengan banyak hal. Selalu ingat hal itu. Pekerjaan yang baik, tubuh yang sehat, orang-orang yang menyayangimu. Cukup banyak hal yang bisa mengisi dunia hening dan kecilmu. Kuharap dirimu akan selalu mengingat ini, entah sejauh mana tubuhmu mampu membawamu pergi atau setinggi apa pemikiranmu selama ini tentang hal-hal yang ingin kautuntut dari dirimu sendiri.

Berhentilah menuntut dirimu sendiri terlalu keras, berekspektasi yang terlampau tinggi tentang dirimu, atau mungkin terlalu keras mendorong dirimu memenuhi keinginan orang-orang di luar sana.

Atau, sebenarnya, tidak ada yang menuntutmu apa-apa selama ini?

Tidak ada. Tidak ada yang menuntutmu banyak hal. Kau sendiri yang menuntut dirimu sendiri.

Bahkan setiap pertanyaan dan kecemasanku bisa kujawab sendiri.

Seperempat abad selama ini kau telah cukup. Cukup menjadi dirimu dengan banyak hal yang memberkatimu. Hidup yang memang tidak selalu menyenangkan, tetapi kamu baik-baik saja dengan itu. Menangis di malam hari, mengingatnya sedikit keesokan harinya, dan baik-baik saja di kemudian hari karena lupa.

You loved.

"Segala hal yang ada di dekatmu, sekelilingmu, adalah hal-hal yang kau lihat dengan cinta. Kau orang yang penuh cinta dengan hati yang melihat segalanya dari sisi yang baik."

Sebuah kalimat yang selalu ingin kau dengar dan ingat untuk dirimu sendiri, agar tetap menjadi orang yang baik. Tidak banyak yang akan mengucapkan dan mengingatkan hal seperti ini untuk dirimu, kecuali dirimu sendiri.

Kau pernah berjalan sendiri ketika tak ada yang mau mengikuti langkahmu. Kau pernah menguat-nguatkan hatimu sendiri ketika sesuatu yang pernah menyokongmu mematahkan hatimu. Kau pernah menjadi satu-satunya orang yang percaya dengan dirimu sendiri, ketika orang lain terlalu sibuk mempertanyakanmu.

Kurasa masa-masa itu sudah berlalu. Sesekali mengalaminya kembali pun tak apa, kau akan ingat untuk segera baik-baik saja di kemudian hari.

Hari mungkin akan terasa begitu berat kau jalani, tetapi bahkan di seperempat abadmu kini, kau masih ingat bahwa masih banyak yang menyayangimu, yang mengingatkanmu akan hal-hal yang baik, dan membawamu keluar dari gelapnya ketidaktahuan.

You old.

Di seperempat abadmu ini, menjadi tua bukan satu-satunya hal yang bisa kau lihat dan rasakan. Tetapi duniamu yang hening dan kecil itu, melebar perlahan. Suara-suara baru bermunculan, satu per satu tirai tersingkap, dan kemudian kau sadari bahwa menjadi tua adalah perihal melihat dunia dengan jauh lebih luas dan terang.

Kau tak pernah sendiri atau merasa sendiri, dunia mu kini riuh. Bahkan di siang dan malammu pun kini terasa penuh.

Orang lain mungkin akan berkata, "Jangan menangis diam-diam lagi. Hatimu tidak bisa dipatahkan berkali-kali karena hal yang sama." Dan kurasakan bahwa itu benar. Diriku kini lebih utuh dan liat tak gampang patah.

Menjadi bertambah tua adalah hal yang mutlak bahkan cenderung riskan, bukan? Mengapa mutlak karena semua orang pasti akan menua, tetapi riskan karena tidak semuanya akan berhasil dengan tuntutan menjadi lebih dewasa dan lebih baik. Ingat selalu bahwa, menjadi baik bukan untuk orang lain, tetapi untuk kedamaian dirimu sendiri. 

Menjadi bertambah tua juga merupakan perihal menerima. Menerima bahwa tak semua hal yang telah dan akan kau hadapi akan berjalan sesuai maumu. Menerima bahwa memang tak akan bisa menyenangkan semua orang. Menerima bahwa memang tidak mungkin membuat semua orang mencintaimu seperti layaknya kamu selalu melihat cinta di setiap masing-masing orang yang kau temui.

Seperempat abad adalah segala hal tentang menjadi lebih tua dengan lebih banyak cinta dan rahmat.

Selamat menjadi lebih tua, Aku. 

Terima kasih karena telah bertahan dan bertumbuh sejauh ini. Kau hebat, penuh dengan hal-hal baik yang akan kau bagi dengan orang di luar sana. Langkahmu akan lebih jauh dengan banyak kejutan yang akan diberikan Tuhan padamu.

Ingatlah untuk terus menjadi baik. Ingatlah untuk selalu menciptakan sendiri segala hal yang ingin kau dengar, kau ucap, kau lakukan ketika orang lain tak bisa lakukan untukmu. Ingatlah untuk selalu menjadi cukup dan haus bertumbuh.

Berbahagialah selalu ...


Sabtu, 24 Oktober 2020

JULI DAN MUSIM DINGIN BERKEPANJANGAN

Juli merenung. Terakhir ia hadir di tempat ini sudah berlangsug selama tujuh tahun lalu. Hanya itu yang ia ingat, selebihnya hanya sebuah ingatan samar-samar. Tentang bagaimana aroma di udara itu kini telah berubah. Tentang bagaimana perasaan ditemani itu hadir dalam samar-samar sebuah bayang sosok yang kian meredup hari demi hari.

 

Bangku coklat tua dari kayu ek terasa lebih dingin dari seharusnya. Ini bulan April, seharusnya cuaca tidak sedingin ini. Ia kemudian mencoba untuk meraih ke dalam dirinya sendiri, menerka-nerka mungkinkah rasa dingin itu sesungguhnya bersumber dari dirinya sendiri. Digoyangkan badannya ke depan dan belakang, kemudian direngkuhnya tubuhnya dengan kedua lengannya sendiri. Terasa baju wol hangat yang menyelubungi tubuhnya tidak mampu menahan rasa dingin yang ternyata bersumber dari dalam dirinya sendiri itu.

 

Pegunungan bersalju terasa tampak jauh di depan dan sekelilingnya, namun juga terasa dekat seolah mengepung tubuhnya yang mungil. Di kejauhan dilihatnya Philip, si kuda hitam besar, berlarian mendekati kawanannya, menggangu mereka yang sedang merumput. Kendati padang rumput itu begitu luas, dengan jumputan bunga-bunga Erica cinerea di sekitarnya, Philip tidak peduli. Ia mendekati kawanannya yang merasa terganggu karena didesak terus-terusan. Philip tidak mau sendirian.

 

Juli melihat Philip seperti melihat dirinya sendiri.

 

Langit seharusnya lebih cerah. Biru bersinar dengan gumpalan kapas lembut bergerak berarakan. Tetapi yang dilihat Juli kosong.

 

Ia kemudian mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri. Mungkinkah yang kosong sesungguhnya adalah hatinya sendiri? Sedangkan langit itu, tetap seperti biasa, terbentang biru cerah di bulan April dan mulai keabuan menjelang akhir tahun.

 

Rambut Juli bergerak lembut, sesekali diterpa angin sedikit kuat. Juli membiarkan helaian gelombang rambutnya menyapu kening, pipi, dan setiap sudut wajahnya. Berharap bisa turut pula menyapu sisa-sisa dimana bagian wajahnya pernah disentuh dengan lembut oleh sepasang tangan yang kokoh.

 

Angin itu terasa dingin. Terasa ganjil di bulan April yang seharusnya hangat. Atau mungkin, itu hanya perasaan Juli saja karena telah begitu lama ia hidup dalam musim dingin.

 

Setiap waktu adalah ujung tahun bagi Juli. Cukup dingin dan membekukan. Bahkan tidak bisa dihangatkan cukup dengan segelas coklat atau perapian tua di rumah peninggalan kakek dan neneknya.

 

Sepatu boots Juli terasa ada yang menyenggol. Awalnya ia mengira disenggol kenyataan, bahwa semua hal di dunia ini berkawan. Baik Philip, tangkai-tangkai rumput, jumputan bunga Erica cinerea yang berkelompok, bahkan kawanan awan itu, kecuali Juli. Tetapi ketika Juli menunduk, dilihatnya Poppy menggoyangkan ekornya dengan menggigit sebuah bola baseball.

 

Mata Poppy hitam bulat bersinar-sinar. Terakhir Juli melihat sepasang mata itu juga telah berlalu selama tujuh tahun lalu. Sepasang mata hitam yang bisa menghangatkan akhir tahunnya yang berkepanjangan. Mata itu kini hanya bisa didapatkannya dari seekor anjing pudel berwarna putih.

Dipungutnya bola baseball itu dari mulut Poppy. Dilemparkannya jauh-jauh, berharap dirinya ikut terlempar dari tempat itu. Tempat itu, sama seperti tempat-tempat sebelumnya, tidak bisa menyembuhkan luka hatinya.

Minggu, 06 September 2020

Mimpi Berjuta Tahun (Sebuah catatan lama)

Bismillahirrahmanirrahim,

Hari ini, 27 Mei 2014, tepat pukul 12.35 adalah ujung ekor harapanku. Buah dari sedikit usaha, do'a, dan terlalu banyak harapan. Sekitar satu jam setelahnya aku baru menyadari bahwa harus mengubur dalam-dalam mimpiku.

Mimpi berjuta tahun. Menjadi mahasiswi Arkeologi di Universitas Gadjah Mada tepat setelah lulus SMA. Enam tahun sudah mimpi itu kusimpan rapat-rapat dalam anganku. Tiga tahun sudah aku berusaha meraihnya. Bertahun-tahun aku membayangkan mimpi itu jadi kenyataan. Aku meyakinkan diri bahwa menjadi Arkeolog adalah panggilan jiwa. Kedua orang tuaku bangga dengan pilihanku. Mereka mendukung. Bahkan mereka mengatakan pada beberapa orang bahwa aku ingin menjadi Arkeolog. Doa mereka tak pernah putus. Mereka bahkan meminta pada orang lain untuk mendoakanku agar mimpiku menjadi kenyataan. Aku begitu bangga pada mimpiku dan yakin bahwa mimpi itu akan segera menjadi kenyataan di waktu yang kuinginkan, yaitu setelah lulus SMA. Setiap kali orang bertanya "Mau kuliah di mana? Ambil jurusan apa?" dengan bangga kujawab "Di UGM jurusan Arkeologi" kemudian mengamini dalam hati sambil menerka-nerka apakah orang yang bertanya tersebut mengerti apa itu Arkeologi. Aku juga akan dengan sabar dan senang hati menjelaskan apa itu Arkeologi dan bagaimana karir masa depannya. Selain itu yang lebih ekstrim lagi, aku menulis di bio FB bahwa aku sedang belajar Arkeologi di UGM. Di twitter aku juga menuliskan "Arkeologi-FIB-UGM" di sebelah tulisan "Institute of Archaeology-UCL".

Awalnya kupikir apa yang kulakukan adalah sebuah keoptimisan yang akan mengantarku meraih mimpi. Aku berpikir setiap kali aku menjawab dengan lantang bahwa aku akan mendaftar Arkeologi di UGM itu adalah sebuah doa. Aku sama sekali tidak merasa sedang menyombongkan diri apalagi takabur. Aku melihatnya sebagai doa tanpa tau apakah orang yang mendengar jawabanku tersebut mengira aku sedang menyombong atau bagaimana.

Menjelang kelulusan SMA aku semakin mantab dengan pilihanku. Dengan mimpiku. Aku mendaftarkan diri pada SNMPTN dengan mengambil jurusan Arkeologi di UGM tentunya. Pilihan kedua kuisi Antropologi UGM. Setelahnya aku sama sekali tidak berminat untuk mengikuti tes tulis. Aku tidak mengambil intensif untuk persiapan SBMPTN. Karena aku yakin bahwa Tuhan akan menjadikanku mahasiswi Arkeologi di UGM. Meski aku tau bahwa UGM adalah universitas ternama dengan persaingan yang begitu ketat. Tapi jika membayangkan mimpiku dan keyakinanku akan menjadi mahasiswi Arkeologi di UGM, rasanya kenyataan bahwa sulit sekali perjuangan menjadi mahasiswi UGM itu sirna sudah. Yang aku tau adalah bahwa peminat Arkeologi sedikit, padahal tenaga yang dibutuhkan banyak, selain itu persaingannya tidak terlalu ketat. Apalagi aku sudah mengantongi nilai yang bagus dan sertifikat olimpiade geografi juara tiga. Sepanjang pengetahuanku tidak ada teman atau orang lain di sekitarku yang berminat dengan jurusan itu. Hal itu membuatku semakin optimis. Optimis dalam artian ambisius.

Kemudian saat itu datang. Saat dimana Tuhan menyadarkanku. Seminggu kuhabiskan waktuku untuk berdoa. Aku bangun tengah malam untuk solat Tahajud, aku usahakan untuk solat tepat waktu, aku solat Hajat dan Dhuha' beberapa kali, aku zikir sampai ribuan kali di siang dan malam hari, aku membaca kitab suci dan yaasin, dan aku puasa sampe 10 hari. Tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain. Aku gugur dalam seleksi SNMPTN. Aku berhenti di tengah-tengah harapan besarku, aku terapung-apung hampir tenggelam di lautan mimpiku, mimpi jutaan tahun yang begitu besar. Aku merasa sesuatu menyambarku, mengambil usaha (kecil)ku selama ini. Mimpi jutaan tahunku lumer seperti mentega yang dipanaskan. Mimpi jutaan tahunku pecah seperti telur yang dilempar. Berhamburan ke mana-mana. Aku menangisi mimpiku seperti aku menangisi mayat seseorang yang kusayangi. Aku sempat merasa tidak terima dan tidak yakin. Aku merasa panitia SNMPTN melakukan kesalahan. Seharusnya kolom merah itu tidak ada di sana. Seharusnya hanya ada kolom hijau.

Aku menangis di pelukan ibu dan ayah. Mereka membelai kepalaku. Ayah memintaku untuk bersabar. Ibu menangis bersamaku. Lalu ayah memeriksa ulang keterangan di website. Sama tidak percayanya denganku. Tapi semuanya benar-benar jelas. Ada namaku, nomer pesertaku, asal sekolahku, dan kolom merah yang menyatakan bahwa aku tidak lolos seleksi SNMPTN.

Dengan sisa-sisa harapan yang kupunya, aku memutuskan untuk mengikuti tes tulis yang sebenarnya kuhindari. Lagi-lagi aku memilih arkeologi dan antropologi budaya UGM. Namun ada sebersit niat untuk memilih antropologi sosial UNAIR.

Tapi kemudian seseorang datang dan menyadarkanku bahwa masih banyak pilihan lain yang bisa kuambil. Aku tidak harus terjebak pada satu pilihan. Masa depanku masih panjang dan belum tentu jurusan apa yang kuambil saat kuliah adalah bidang yang sama dengan pekerjaanku. Akhirnya aku mulai tersadarkan bahwa aku harus mencoba pilihan lain. Pilihan yang masih sesuai dengan minat dan harapanku. Aku merasa bahwa Tuhan telah menyadarkanku. Aku bertanya-tanya bagaimana jika Tuhan telat menyadarkanku? Akankah masa depanku lebih baik? Mungkin Tuhan bisa mengabulkan keinginanku untuk lolos SNMPTN dan menjadi mahasiswi Arkeologi UGM. Tapi rencana Tuhan untuk masa depanku yang masih panjang tidak seindah yang kuharapkan. Memang benar kata seseorang yang menasehatiku bahwa lebih baik aku menerima apa yang Tuhan berikan padaku karena Tuhan tau mana yang baik buatku.

Akupun akhirnya menyadari bahwa aku harus lepas dari keegoisanku pada Tuhan. Aku harus menurunkan ambisiku. Aku harus berani mencoba hal yang lain. Hal yang mungkin disiapkan Tuhan untuk masa depanku yang lebih baik.

Keputusan finalnya adalah aku akan menata ulang mimpiku. Aku tidak akan terlalu ambisi melukis mimpi. Aku hanya akan melakukan sesuatu di bidang kucintai. Aku cinta sejarah, tapi mungkin menjadi Arkeolog bukanlah pilihan terbaik. Maka untuk sementara kusimpan dulu rapat-rapat mimpiku menjadi Arkeolog. Aku susun lagi mimpiku untuk kuliah di Ilmu Sejarah. Atau mungkin di Pendidikan Sejarah. Tapi tak pernah sedikitpun minatku pada Arkeologi luntur. Mungkin aku akan lebih berminat pada Ilmu Sejarah, tapi tidak menutup kemungkinan aku akan mempelajari Arkeologi juga. Bagiku yang penting sekarang adalah berusaha semampuku, berdoa terus, dan berharap Tuhan memberikan yang terbaik buatku.

Karena aku mulai percaya bahwa rencana Tuhan pasti lebih indah.

Akan ada waktu di mana aku akan mengenang hal ini kelak. Di saat aku sudah sukses nanti. Aamiin.


Minggu, 12 Juli 2020

Tulisan Baru Tanpa Arah

Halo,
Ini aku, yang telah lama menghabiskan sepanjang tahun sejak terakhir aku menulis di sini, dengan hal-hal lama dan hal-hal baru yang berkelebat ... datang dan pergi.

Sore yang cerah untuk memulai menulis lagi, dengan tubuh memunggungi matahari sore, dan tentu saja, memunggungi hal-hal yang tidak ingin kuingat lebih dari sekedar sejenak.

Baru saja kuhela napas karena menyadari bahwa rasanya memang sudah lama sekali tidak menulis. Catatan terakhirku adalah di malam tahun baru 2019. Itu artinya sudah berjalan hampir 2 tahun penuh aku tidak menulis di sini. Bagaimana? Rindu dengan tulisanku? Untuk siapapun di luar sana yang telah sudi mampir untuk membaca catatan-catatan kosong, yang sebenarnya lebih kutujukan pada diriku sendiri.

Ternyata rasanya masih begitu menyenangkan bisa mengetikkan jemariku, dengan mataku melihat ujung-ujungnya meloncat dari satu kotak huruf ke kotak huruf yang lain, dengan teligaku mendengar lagu-lagu baru demi membangkitkan suasana yang baik untuk menulis.

Tentu saja pertanyaan apa yang telah terjadi selama hampir 2 tahun kutinggalkan blog ini, adalah pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak sanggup mengingat-ingat jawabannya. Karena banyak sekali!

Kupikir-pikir, selama ini keinginan menulis itu masih selalu ada. Beberapa waktu yang lalu seorang kawan memintaku melanjutkan cerita di wattpad. Yap, cerita-cerita di wattpad-ku bahkan jauh lebih lama kuanggurkan. Maafkan kemalasan yang tidak tahu diri ini.

Oke, jadi apa yang akan kutulis di sini? Selain kenyataan bahwa suasana hati sedang tidak cukup baik. Seperti biasa the introvert thinker ini sedang berada di dalam pikirannya sendiri.

Mungkin akan kuawali dengan flashback ke sepanjang 2019. Apa yang terjadi di sepanjang 2019 kurasa telah membentukku menjadi sosok yang ... sedikit lebih baru. Sedikit lebih ter-upgrade dari the old me. Kurasa itu karena karirku sedang cukup baik. Jika menurut kalian menjadi seorang guru honorer dengan seabrek pekerjaan dan pengalaman baru sudah masuk kategori karir yang baik. Karir yang baik tidak semata-mata diukur dari seberapa besar gaji, bukan? Hehe.

Tapi serius. Bisa dikata, 2019 adalah tahun penuh pengalaman untukku. Aku belajar banyak hal baru yang membuat diriku sendiri bahkan sempat terheran-heran dengan apa yang telah kulakukan. Aku menikmati pengalaman-pengalaman menjadi seorang guru dengan berbagai pekerjaan tambahannya dan terlibat dalam beberapa kegiatan. Dimana dalam kegiatan itu aku bisa berkontribusi, bisa menyalurkan sedikit kemampuan dan pengetahuan yang kumiliki, dan hal yang paling bisa kusyukuri adalah ... aku menikmatinya. Bahkan mungkin sangat menikmatinya. Karena menurutku, jika aku tidak bisa menikmatinya, kurasa kesibukan itu tidak bisa dengan benar disebut sebuah pencapaian.

Apa yang telah membuatku terheran dengan diriku sendiri adalah, ketika aku melihat sudah sampai mana aku berjalan. Seorang diriku, yang cenderung tertutup dengan orang baru dan sangat menikmati berada di zona nyaman, telah berhasil setidaknya mengeluarkan selangkah kakiku dari ambang pintu yang selama ini membuatku nyaman berada di baliknya.

Mungkin memang tidak sehebat pencapaian orang lain yang tentu saja masih ada yang lebih di atasku. Tapi, aku berhak memuji pencapaianku sendiri bukan? Jika tidak diri sendiri yang bangga dengan apa yang diri ini miliki, lalu siapa yang bisa lebih tulus mengungkapkannya?

Salah satu hal yang bisa kusyukuri pencapaiannya adalah, ketika aku mendapat pengalaman baru sebagai penulis soal USBN 2019, bersama beberapa perwakilan lainnya dari Jawa Timur. Hal lain yang tidak kusangka aku bisa mencapainya. Padahal awalnya hanya berupa iseng-iseng berhadiah.

Beberapa hal yang kusyukuri juga masih banyak. Meski, yah, ada beberapa titik dimana aku merasa kenapa rasanya begini banget? Tahu, kan? Hal-hal yang masih bisa dikeluhkan oleh manusia: rasa lelah, kecewa, sedih, marah, apapun itu. Tapi kemudian kucoba untuk kuingat-ingat lagi bahwa tidak ada gunanya mengeluh terlalu lama.

Tahun 2020 juga kuawali dengan hal yang biasa-biasa saja, meski perjalanannya hingga setengah jalan ini tidak bisa disebut biasa juga. Kurasa dari awal tahun 2020, aku dan mungkin kita semua dihadapkan pada kejutan-kejutan baru. Kejutan yang tidak hanya membuat terkejut, tapi juga kekhawatiran baru. Kurasa, kondisi dunia ini sedang tidak baik-baik saja, Kawan.

Rasanya seperti sedang ditampar oleh Tuhan, bahwa apa yang telah kita lakukan selama ini adalah hal-hal yang sepatutnya kita tilik kembali. Sudah pantas kah? Sudah bijak kah? Sudah baik kah? Dan kurasa, kita telah diingatkan beberapa kali dengan cara yang lebih halus, tetapi kita cukup arogan untuk sekedar sadar dengan cara seperti itu. Untuk itu Tuhan menampar kita pada kenyataan baru, kenyataan bahwa kita dipaksa untuk berubah lebih baik lagi.

Bencana alam, wabah, tingkat kriminalitas, rasa sakit, kekhawatiran, kekecewaan, kesedihan, kehilangan, dan segala hal yang sedang ditamparkan Tuhan ke muka kita berkali-kali kurasa bukan hanya sekedar pengingat. Tapi, barangkali Ia memang sedang marah.

Tuhan, jika kau membaca tulisanku yang sedang kacau ke mana arahnya ini, kurasa Kau pasti tahu apa yang sedang aku dan kami semua harapkan. Bantu kami untuk berbenah, untuk bangkit lagi setelah Kau hadapkan pada kenyataan yang menyulitkan kami. Beri kami, orang-orang kecil ini kekuatan dan kesabaran.

Dan untuk kalian yang sedang membaca ini, ujung tulisan yang arahnya berubah arah ini, kuharap kalian selalu berbahagia ...

Senin, 31 Desember 2018

Penghujung 2018 : Pencapaian dan Harapan Baru

Awalnya aku ingin menghabiskan malam tahun baru sama dengan malam-malam biasanya. Berkutat dengan buku bacaan sambil sesekali, maksudku lebih dari sesekali, menyentuhkan ujung ibu jariku dan menggeser-gesernya di layar ponsel. Kemudian keinginan untuk menuliskan sesuatu di ujung tahun ini muncul secara tiba-tiba. Maka di sinilah aku sekarang: di ruang tengah rumah, dengan suara kipas angina dan obrolan talkshow di televisi, sambil mengetikkan tulisan ini.

Keinginan untuk menulis kembali sebenarnya sudah lama muncul. Karena setelah setahun lebih berkutat dnegan tugas-tugas kuliah dan kewajiban menyusun tugas akhir membuat otak dan imajinasiku tersetel secara otomatis untuk menyusun dan mengetikkan kalimat-kalimat ilmiah secara baku. Sesekali aku rindu melanjutkan tulisan-tulisan fiksiku, terutama aku rindu sekali bisa mengisi blog lamaku.

Malam tahun baru 2018 kuhabiskan dengan biasa saja. Tanpa bunyi terompet dan petasan (Oh, belum. Mungkin kegaduhan itu dimulai menjelang tengah malam), tanpa aroma daging maupun jagung panggang, bahkan tanpa ditemani siapapun karena kenyataannya semua orang rumah menghidupkan mesin kendaraan dan berkendara ke tempat mereka menghabiskan malam tahun baru secara sewajarnya seperti yang biasanya dilakukan orang lain yang terbiasa dengan perayaan.

Aku? Aku tidak cukup terbiasa dengan kebisingan, keributan, dan kekacauan yang disuguhkan banyak orang menjelang perayaan. Jadi ya sudah. Aku di rumah saja.

Baiklah. Kurasa aku tahu apa yang ingin kutulis secara tiba-tiba di sini. Aku sedang memantau Instagram seperti biasa ketika ada seseorang yang mem-posting foto dengan caption “Achievment apa yang sudah berhasil kamu raih sepanjang 2018? Di situlah aku merasa bahwa ada beberapa hal yang selalu kuharapkan di tahun-tahun sebelumnya terjadi di tahun ini. Dan tentu saja aku sangat bersyukur karena Tuhan mendengar segala doaku.

Bagiku, 2018 adalah tahun yang penuh perjuangan dan harapan. Tahun ini adalah tahun dimana aku menguji ketahananku sebagai pribadi  yang harus mampu berjuang menyelesaikan tanggungjawab, dimana aku harus berhadapan dengan kesempatan-kesempatan yang sulit yang harus kulewati dengan baik agar bisa menyelesaikan semua tanggungjawabku dengan tepat waktu dan sebaik-baiknya. Ketahananku berujung pada kemampuanku menyelesaikan pendidikan dengan tepat waktu dan cukup membanggakan. Setidaknya membanggakan kedua orang tuaku dan aku bersyukur sekali, bukan hanya karena pencapaian itu, tetapi lebih karena ada kesempatan bagiku untuk membuat bangga kedua orang tuaku. Alhamdulillah.

Tahun 2018, secara mengejutkan seseorang menawariku pekerjaan yang memang sudah kuharapkan. Aku menjadi seorang guru. Sebuah cita-cita yang baru terbentuk di awal-awal aku kuliah yang dimana sebelum itu belum pernah terpikirkan sama sekali aku akan menjadi seorang guru. Tapi, Tuhan memang suka memberi kejutan bukan? Dan kejutannya selalu manis. Aku sangat menikmati hari-hariku sebagai seseorang yang bekerja mulai pagi hingga menjelang sore. Meski sesekali aku bosan dengan rutinitasnya (Aku mudah bosan dengan rutinitas. Hehe) tapi lingkungan tempatku bekerja, terutama ketika aku bertemu dengan anak-anak, membagi apapun yang aku tahu kepada mereka, adalah hal terbaik yang selalu bisa menyelamatkan hari-hariku.

Tentu saja, tidak ada yang lebih bisa aku syukuri ketika akhirnya aku bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Yes! Aku bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri adalah goal yang selalu aku teriakkan pada diriku sendiri ketika aku sedang berada di titik jenuh dengan rutinitas sebagai anak kos.

Di penghujung 2018 ini, aku juga beryukur masih dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Satu hal yang tidak pernah bisa berhenti ku syukuri. Diberi kesehatan pula. Ada orang tua dan saudara yang selalu memberiku semangat untuk terus berpacu menguji kemampuanku agar bisa memperoleh kesempatan lain yang lebih baik dan lebih baik lagi. Mereka mendorongku maju dan percaya aku bisa melakukannya. Ada teman-temanku yang selalu mendengarkan semua ceritaku, menampung tawa-tawa dan kebahagiaanku, dan bersedia menanggapi segala keluhanku. Dan tentu saja, ada dia yang selalu memberiku semangat-semangat baru dan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang meletup-letup hanya karena hal yang sederhana.

Aku merasa, segala hal yang kucapai selalu tidak lepas dari doa ibuku, dari kebaikan yang terus ditanam ayahku pada orang lain. Kurasa memang begitulah cara Tuhan bekerja. Dengan melalui tangan kedua orang tuaku, yang disalurkan ke aku melalui kebaikan yang mereka salurkan kepada orang lain.

Tahun 2018 menuntunku untuk banyak belajar. Aku belajar untuk selalu percaya pada kekuatan doa, pada setiap hal-hal sederhana yang memberikan dampak luar biasa: keikhlasan terhadap hal-hal kecil yang dilakukan. Aku belajar bahwa percaya pada diri sendiri juga adalah salah satu kunci untuk mewujudkan harapan orang-orang terdekatmu. Aku sempat merasa takut tidak bisa memenuhi harapan kedua orang tuaku, aku ragu harapan mereka terhadapku terlampau tinggi, tetapi kemudian aku menyadari. Tidak ada harapan yang terlalu tinggi selama kita percaya dengan diri kita sendiri dan doa-doa yang kita panjatkan. Aku juga belajar, bahwa ketelatenan dan kesabaran selalu membuahkan hasil. Berada di lingkungan sosial selama tahun 2018 (meski bisa dikatakan aku introvert dan tidak cukup banyak berbaur) aku mengamati bahwa berhasahabat dengan diri sendiri terlebih dulu diperlukan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Maksudku, terima dan cintai dirimu sendiri apa adanya dengan perbanyak bersyukur.

Besok adalah awal tahun 2019. Masih banyak harapan yang ingin kucapai di hari esok dan sepanjang tahun 2019. Aku ingin lebih banyak berbagi, lebih baik dalam memenuhi tanggungjawab, lebih memperbaiki hubunganku dengan Tuhan, dan mengunjungi tempat-tempat baru. Aku tahu tidak semuanya bisa kulewati sendiri tanpa dukungan dari orang-orang yang baik dan menyayangiku. Tetapi aku percaya, layaknya 2018, 2019-ku akan penuh kejutan dan satu per satu keinginanku akan terwujud.

Sebagai penutup, kuucapkan selamat menyambut 2019 dengan penuh suka cita dan perbaikan diri ke arah yang lebih baik. Semoga segala cita-cita kita selalu mendapat ridho-Nya. Baik-baik di 2019, ya. Bersiaplah! Karena mungkin Tuhan akan memberi kejutan-kejutan lainnya. Dia selalu suka bermain kejutan. Dan percayalah, kejutannya seringkali berakhir manis. Selamat malam :)

Minggu, 11 Maret 2018

Seorang Anak Kecil dan Dunia Ketakutannya

Tumbuh sebagai seorang anak yang penakut, ia kerap berdiri di sudut seorang diri. Lingkungan di sekitarnya terasa asing. Segala hal yang ia rasakan selalu menjadi bebannya sendiri.

Ia tidak tahu apakah ia berada di lingkungan yang salah. Yang ia tahu, ia hanya bisa menerima segala kesalahan.

Anak kecil itu meringkuk takut ketika ada yang sedang marah. Sekalipun ia tahu bahwa bukan ia yang sedang menjadi sumber permasalahan, ia takut untuk disalahkan. Ia hanya bisa terdiam dengan jantung yang berdegup cepat. Ia takut disalahkan.

Bukan perkara ia dididik menjadi pengecut, tapi kenyataan yang entah bagaimana telah sering menjadikannya sebagai sumber permasalahan.

Anak kecil itu menyadari bahwa semua hal yang ia lakukan salah, dan orang lain akan memarahinya. Ia juga tahu bahwa tidak semua "temannya" adalah teman. Ia tahu betul, sebuah permainan yang begitu asyik dimainkan itu, nantinya akan berakhir. Dan ia akan duduk lagi di pojokan. Sendirian.

Kenyang dengan segala permasalahan di sekitarnya, teriakan kemarahan, larangan akan banyak hal, anak itu tumbuh sebagai seorang remaja yang terbiasa mengantongi perasaan-perasaan ketakutan akan disalahkan. Akhirnya, ia tidak bisa terbuka dengan suasana baru. Ia meringkuk dengan nyamannya di zonanya sendiri.

Ia kemudian berpikir bahwa, jika ia terlibat dalam sebuah masalah, ia harus segera melihat ke dalam dirinya. Ia harus tahu salahnya apa. Kemudian bersiap untuk disalahkan.

Atau ia memilih untuk menghindari masalah dengan diam. Berusaha menyaman-nyamankan diri.

Ia tumbuh menjadi seseorang yang penakut. Ia menutup diri dari orang yang tidak ia kenal sama sekali. Ia lebih nyaman dengan dunianya sendiri dimana tidak ada seorang pun yang akan mengkritiknya, memarahinya.

Ia tak memiliki sesosok teman yang benar-benar bisa ia sebut "teman". Bukannya ia tidak disukai, tetapi ia lebih disegani ... Tapi entah karena apa. Banyak yang tidak bisa menjadi teman baiknya karena ada sesuatu dari dalam dirinya yang membuat orang lain akan berpikir ulang tentang bagaimana harus berperilaku di hadapannya. Suatu hal yang mengganggu pikirannya.

Bukan. Bukannya ia dibenci. Ia hanya sedang dikelilingi sesuatu yang tak terlihat yang membuatnya tidak bisa berbaur begitu dekat dengan orang lain. Selalu ada sekat.

Mungkin karena sifatnya?

Hei, dia adalah seorang anak yang tumbuh dengan ketakutan akan  menciptakan masalah. Karena di masa lalunya, ia sudah terlalu sering menjadi sumber masalah. Ia cenderung pendiam dan pendengar. Tidak banyak tingkah. Ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa diterima di lingkungan yang terkadang asing baginya.

Barangkali sekat itu muncul karena ia terlalu membatasi diri?

Awalnya ia berpikir demikian. Tetapi, seberapa kerasnya ia mencoba untuk menghilangkan sekat itu, tetap saja tidak ada perubahan. Kehadirannya memang diterima, tetapi ia merasa suasana tidak benar-benar terasa leluasa. Sekat itu masih ada.

Pada akhirnya, ia sempat menjadi sosok yang tidak ingin disalahkan. Ia sempat lelah disalahkan orang lain, sekalipun ia memang salah. Ia menjadi keras kepala dan terlalu perasa. Curiga akan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa permasalahan, rasa gelisah, kesal, kecewa mungkin berasal dari dalam dirinya sendiri. Tetapi ia juga tidak yakin apakah hal tersebut terjadi karena memang ia masih belum bisa lepas dari pengalaman masa kecilnya yang selalu terbebani rasa bersalah?

Terkadang ia sedih, begitu sedihnya sampai ia menangis, hanya karena dirinya sendiri. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya sendiri. Mengapa ia harus merasa kesal dengan suatu hal yang tidak semestinya ia kesalkan? Apakah ia masih menjadi sesosok anak kecil yang ketakutan akan rasa bersalah dan tidak percaya pada dirinya sendiri?

Lebih seringnya, ia merasa menjadi seseorang yang tidak berguna. Ketika ada beberapa hal yang bisa dibanggakan oleh orang lain, ia masih bingung mencari sesuatu dari dalam dirinya selain perasaan tertekan yang bisa ia banggakan.

Ia adalah seorang anak penakut yang tumbuh dalam mimpi-mimpinya sendiri. Ia kerap bermimpi bisa mencapai segala hal yang bisa ia banggakan, kemudian di lain waktu ia terbangun dari mimpinya dan mendapati dirinya sebagai seseorang yang tak lebih dari pemimpi tanpa apapun yang bisa dibanggakan.

Kemudian, diam-diam sebuah pertanyaan lain muncul dalam benaknya: Apakah selama ini kekesalannya, kerendahan dirinya, dan kegundahannya hanya karena ia kurang mensyukuri dirinya sendiri?

Barangkali iya.